Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Madrasah Tafsir Bashrah

Madrasah Tafsir Bashrah
Ilustrasi Madrasah Tafsir Bashrah

Sebagai salah satu madrasah terkemuka, Madrasah Tafsir Bashrah memiliki beberapa kekhasan dalam aktivitas kajiannya terhadap al-Qur’an. Muhammad ibn Abdullah ibn ‘Ali al-Khudhairi dalam karyanya Tafsir al-Tabi’in menyebutkan empat poin pembeda antara Madrasah Tafsir Bashrah dengan madrasah lainnya.

Keempat poin pembeda tersebut ialah 1) Memiliki uslub lughawy (gaya bahasa) yang khas; 2) Menyisipkan pesan-pesan hikmah dalam penafsirannya; 3) Menjauhi penggunaan israilliyah; 4) Menonjolkan al-tafsir bis sunnah (tafsir dengan riwayat hadis).

Memiliki Uslub Lughawy yang Khas

Uslub atau gaya bahasa memang tidak bisa dilepaskan dari faktor geografis dan demografis. Pemilihan kata yang diekspresikan dalam bentuk lisan maupun tulisan, tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan serta interaksi sosial yang terjadi di suatu daerah.

Setidaknya dapat dijelaskan secara lebih detail alasan di balik gaya bahasa khas yang dimiliki oleh Madrasah Tafsir Bashrah. Pertama, Bashrah memang terkenal sebagai salah satu pionir peletakan kaidah-kaidah Nahwu. Maka hingga hari ini, tidak heran jika penikmat keilmuan ini mengenal madzhab Nahwu Bashrah sebagai salah satu rujukan dalam mengambil kaidah-kaidah Nahwiyah.

Baca Juga: Ijtihad Tabiin dan Kontribusinya terhadap Tafsir bi al-Ma’tsur

Keunikan madzhab Nahwu Bashrah terletak pada komposisi stilistika bahasanya yang bercampur dengan kebudayaan-kebudayaan yang ada di lingkup geografisnya. Fenomena tersebut terjadi secara alamiah sebab Bashrah merupakan salah satu pusat perdagangan. Hasilnya, dalam stilistika bahasanya ditemukan pengaruh kebudayaan Hindi maupun daerah Timur lainnya yang pada akhirnya menyebabkan keunikan dan kekhasan pada gaya bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Bashrah.

Kedua, Bashrah juga merupakan kota yang menjadi saksi banyaknya kaum Mawali (masyarakat non-Arab) yang masuk Islam. Kaum Mawali itupun mulai mempelajari bahasa Arab agar dapat memahami al-Qur’an. Implikasinya terjadi percampuran stilistika bahasa antara bahasa Ibu dengan bahasa Arab yang mereka pelajari. Sampai kemudian banyak dari kaum Mawali yang berhasil menguasai keilmuan Nahwu serta Sastra dan sampai menjadi sosok yang begitu populer hingga saat ini. Sebut saja Imam Sibawaih dan Hasan al-Bashri serta Abul Aswad al-Du’ali yang langsung teringat jika membicarakan dua keilmuan tersebut.

Menyisipkan Pesan-Pesan Hikmah Dalam Penafsiran

Kekhasan atau keistimewaan lainnya dari tafsir-tafsir yang lahir dari para cendekiawan Bashrah ialah kelihaian mereka dalam menyisipkan pesan-pesan hikmah dalam setiap penafsirannya. Para cendekiawan Bashrah terlihat enggan untuk menghadirkan penafsiran yang kering dan tidak berbekas bagi pembacanya. Mereka seakan ingin agar setiap produk penafsirannya selalu memberi impact bagi sisi ruhaniyah pembacanya.

Peran guru-guru mereka dari kalangan Sahabat juga turut memberikan andil besar dalam nuansa penafsiran khas yang mereka miliki. Guru mereka seperti Abu Musa al-Asy’ari telah mengajarkan mereka pengalaman hidup yang penuh kezuhudan dan suluk. Pengalaman hidup yang diajarkan oleh guru-guru mereka terbawa hingga karya-karya penafsiran yang mereka hasilkan.

Selain itu, kompetensi mumpuni mereka dalam ilmu Bahasa juga turut mendukung terciptanya penafsiran yang mampu menggubah perasaaan dan memberikan kesan mendalam pada setiap pembacanya. Tentu tidak mungkin jika kata-kata biasa tanpa ditambahkan bumbu sastra akan mampu menembus hingga hati yang terdalam.

Maka mereka para cendekiawan Bashrah terkenal dengan julukan qashshash (pemberi kisah) sebab menggunakan gaya bahasa kisah dalam menyampaikan penafsirannya. Meskipun gaya penyampaian ini dahulu ditentang karena dikhawatirkan banyak memuat riwayat-riwayat yang tidak jelas asal-usulnya, namun Hasan al-Bashri menilai bahwa gaya penyampaian ini sangat efektif dalam menekankan dzikrullah (mengingat Allah).

Menjauhi Penggunaan Israilliyah

Mayoritas jumhur Ulama menilai kebolehan penggunaan riwayat israilliyah selama tidak terdapat pertentangan dengan syariat Islam di dalamnya. Sebagaimana Madrasah Tafsir Mekkah yang banyak mempergunakan riwayat israilliyah sebagai alat bantu dalam metodologi penafsirannya.

Namun berbeda halnya dengan Madrasah Tafsir Bashrah yang terkenal cukup anti dalam penggunaan riwayat israilliyah. Ada beberapa alasan yang melatarbelakanginya, di antaranya: 1) sedikitnya riwayat yang sampai ke Bashrah sehingga mereka lebih dominan pada penggunaan akal seperti ijtihad dan istinbath dalam memahami maksud ayat; 2) Guru-guru utama madrasah ini terkenal sebagai sahabat yang menjauhi riwayat-riwayat israilliyah seperti Ibn Mas’ud dan Anas ibn Malik; 3) tidak adanya Muslim Ahli Kitab yang hidup di Irak. Faktor ini sekaligus menjawab mengapa begitu jarang ditemui riwayat israilliyah yang sampai ke Bashrah.

Menonjolkan Al-Tafsir Bis Sunnah

Madrasah Tafsir Bashrah juga dikenal dengan penafsirannya yang menonjolkan aplikasi penggunaan riwayat tafsir Nabi yang cukup banyak. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya riwayat tafsir Nabi yang mereka miliki antara lain: pertama, bergurunya para pemuka Tabi’in semisal Hasan al-Bashri kepada para Sahabat yang berdomisili di Madinah seperti Anas ibn Malik yang terkenal banyak memiliki riwayat tafsir Nabi.

Kedua, para Tabi’in utama di lingkup Madrasah Tafsir Bashrah kerapkali melakukan tasahul al-riwayah (mudah menerima dan mempergunakan suatu riwayat selama secara kandungan makna benar adanya). Jadi semisal ada riwayat yang lengkap secara matan, namun kurang dalam rentetan sanadnya maupun sebaliknya, maka akan tetap dicantumkan dan ditambahkan sebagai pelengkap penafsiran. Akibatnya hadis-hadis yang diriwayatkan banyak yang dinilai sebagai hadis Mursal sebab terjadi loncatan langsung ke Nabi Muhammad tanpa penyebutan sahabat yang diambil hadisnya.

Baca Juga: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin

Mungkin sikap tasahul al-riwayah ini bisa menjadi alasan mengapa mereka dijuluki al-qashshash sebab banyak memasukkan riwayat yang belum jelas secara sanad dan matan namun memiliki tema yang sesuai dengan pembahasan. Namun bagaimanapun perdebatan dalam sikap tasahul ini, tetap saja telah menjadi salah satu kekhasan yang mewarnai metodologi penafsiran mereka.

Adapun jika para pembaca mengamati gaya penyampaian tafsir di Indonesia khususnya dalam acara-acara majelis pengajian yang memperingati momentum tertentu, maka akan didapati adanya kemiripan dengan gaya penyampaian Tabi’in Bashrah. Mereka menyampaikan esensi-esensi ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an  dengan menggunakan gaya penyampaian kisah dan banyak memasukkan riwayat-riwayat fadha’ilul a’mal yang biasanya banyak dipertentangkan keshahihannya. Wallahu a’lam.