Asghar Ali Engineer merupakan aktivis sekaligus pemikir yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif. Salah satu karya besar yang ia hadirkan adalah pemikirannya tentang “Islam dan Teologi Pembebasan”. Ia meninggalkan begitu banyak buah pemikiran yang membahas pelbagai topik: sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, dan lain sebagainya.
Melihat begitu besarnya kontribusi Engineer bagi dunia Islam dan gerakan Islam progresif pada umumnya, maka saya tertarik untuk memperbincangkan kembali buah pemikirannya yang brilian ini. Namun dikarenakan banyaknya jumlah dan luasnya cakupan pemikiran Engineer, adalah mustahil untuk membahasnya secara mendetail di sini. Oleh karena itu, saya akan fokus pada tema bagaimana penafsiran Asghar Ali Engineer terhadap makna jihad.
Jihad Menurut Asghar Ali Engineer
Dalam pandangan Asghar Ali Engineer, jihad haruslah dimaknai sebagai suatu gerakan perjuangan untuk menghapus segala bentuk eksploitasi, diskriminasi, korupsi, dan kezaliman dalam pelbagai bentuknya. Pun, perjuangan ini senantiasa digalakkan hingga pengaruh destruktif hilang secara permanen di muka bumi.
Pemaknaan Engineer semacam ini berlandaskan kepada semangat pembebasan dalam Al-Quran. Di mana Al-Quran diturunkan dengan tujuan untuk membebaskan umat manusia dari pelbagai belenggu yang mengitarinya, baik persoalan ekonomi maupun sosial. Bahkan, pada praktiknya jihad tidak bisa dipisahkan dari keimanan seseorang. Semakin tinggi keimanan seseorang, maka semakin tinggi pula kepeduliannya terhadap masyarakat yang tertindas.
Oleh karena itu, menurut Asghar Ali Engineer, struktur sosial yang sangat menindas dan mengeksploitasi terhadap manusia harus diubah melalui jihad atau perjuangan yang kerap menagih pengorbanan. Sehingga, tatanan kehidupan yang adil dan sejahtera bisa tercapai.
Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran
Penafsiran Asghar Ali Engineer Terhadap Ayat-Ayat Jihad
Contoh penafsiran Engineer terhadap jihad dalam QS. Al-Baqarah (2): 190:
وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ١٩٠
Artinya, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Baqarah (2): 190).
Menurut Engineer, ayat di atas menunjukkan dua hal yang sangat penting. Pertama, berperang diperbolehkan bagi kaum Muslimin ketika mereka diperangi terlebih dahulu. Kedua, ketika kaum Muslimin berperang, sangat dilarang untuk berbuat melampaui batas.
Penafsiran Engineer ini senada dengan apa yang dinyatakan Ibn Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir. Bahwa peperangan dalam Islam adalah upaya defensif dari serangan musuh. Umat Islam tidak diperkenankan memulai peperangan. Jika keadaan sudah mengaharuskan berperang, mereka juga dilarang berlebih-lebihan. Antara lain dilarang memerangi orang-orang tua, perempuan, dan anak-anak yang bukan bagian dari tentara musuh.
Menurut Engineer, pedang bukanlah satu-satunya senjata dalam berjihad. Namun, senjata yang sebenarnya adalah keyakinan diri dan usaha tanpa henti dalam menebarkan cinta-kasih dan kedamaian serta keadilan dalam menjalani kehidupan. Sebab, Al-Quran menganjurkan untuk senantiasa menyampaikan segala sesuatu dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Karena itu, hal ini lebih baik daripada menggunakan kekerasan.
Selain itu, Engineer juga merujuk pada QS. Al-Anfal (8): 39, yaitu:
وَقَاتِلُوْهُمْ حَتّٰى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَّيَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهٗ لِلّٰهِۚ فَاِنِ انْتَهَوْا فَاِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya, “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah, dan supaya agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal (8): 39).
Menurut Asghar Ali Engineer, ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah menginginkan seseorang yang beriman untuk selalu berjuang secara penuh, sehingga segala bentuk penindasan yang bermuara pada penyengsaraan masyarakat di muka bumi berhenti. Dan, umat Islam tidak sekadar menjadi “penonton” melainkan juga menjadi aktor dalam mewujudkan perubahan dengan cara bekerja secara aktif atau berjihad.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penafsiran Asghar Ali Engineer terhadap jihad berbeda dengan yang dipahami oleh para kelompok radikal-ekstremis yang terbatas hanya dalam bentuk kekerasan. Penafsiran Engineer cenderung lebih transformatif dan lebih kontekstual bagi kehidupan umat manusia modern.
Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an