Surah an-Nisa ayat 34 merupakan salah satu ayat dalam Alquran yang menjelaskan tentang peran dan relasi suami istri. Pemilihan Tafsir al-Qurtubi dalam ulasan kali ini lebih karena penjelasan beliau yang juga menyangkutpautkan fiqih dalam relasi antara keduanya, sehingga terlihat bahwa sebuah penafsiran atas suatu ayat itu dapat berimplikasi pada kandungan fikihnya. Penafsiran bukan hanya hitam di atas putih.
Berikut kutipan surah an-Nisa ayat 34 dan terjemahannya,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Terjemah Kemenag RI)
Baca Juga: Isyarat Al-Qur’an tentang Relasi Silih Asah Asih Asuh antara Suami Istri
Mufasir asal Cordoba, Spanyol ini menyoroti sebelas poin dalam penafsiran surah an-Nisa ayat 34 tersebut.
Pertama, tentang makna qawwāmūn di awal ayat. al-Qurtubi memaknainya dengan yaqūmūn bi an-nafaqat ‘alaihinn wa adz-dzabb ‘anhunn. Dengan kata lain, suami bertanggung jawab terhadap nafkah istri dan merawatnya. Berangkat dari penafsiran tersebut, al-Qurtubi memberi label kepada suami bahwa dia adalah penanggung jawab rumah tangga. Penanggung jawab -dalam istilah Tafsir asy-Sya’rawi– tugasnya berat dan mengharuskan capek.
Sementara itu, ayat ini termasuk dari banyak ayat Alquran yang mempunyai sabab nuzul. Artinya, ayat ini tidak dalam hampa konteks, ada peristiwa yang sangat berkaitan dengan penurunanya. Al-Qurtubi menukil dua riwayat tentang sabab nuzul ayat ini.
Riwayat yang pertama yaitu cerita tentang aduan dari ayah Habibah bint Zayd bin Khārijah bin Abī Zuhayr kepada Rasulullah saw. tentang pemukulan yang dilakukan oleh suami putrinya tersebut yang bernama Sa’d bin ar-Rabī’. Keterangan lain menyatakan bahwa suami istri di balik ayat ini adalah Jamīlah bint Ubayy dan Tsābit ibn Qays bin Syammās; ada juga yang menyatakan nama lain, yaitu ‘Amīrah bint Muhammad bin Maslamah dan suaminya, Sa’d bin ar-Rabī’.
Perbedaan pendapat tentang nama tokoh, tampaknya bukan hal yang utama, karena pada intinya, riwayat sabab nuzul ini ingin mengabarkan tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Riwayat sabab nuzul yang kedua, yaitu tentang perkataan Ummu Salamah tentang keutamaan laki-laki atas perempuan di ayat sebelumnya. Laki-laki mendapat warisan lebih banyak dari perempuan karena tugas yang diemban di ayat ini, yaitu dia bertanggung jawab atas mahar dan nafkah terhadap istri. Dengan kata lain, keutamaan yang dimaksud adalah dari segi finansial.
Selain aspek finansial, nyatanya al-Qurtubi dalam penafsiran ayat 34 ini juga menyebutkan keutamaan atau kelebihan lain dari laki-laki, mulai dari kelebihan fisik maupun non fisik. Keterangan yang demikian ini beliau dasarkan pada lafad ‘qila’ yang tidak mencantumkan sumber.
Jika membicarakan tentang keutamaan suami atas istri, maka bagi Asma Barlas, seorang perempuan pengkaji Alquran asal Pakistan, sabab nuzul yang kedua tersebut yang lebih nyambung, dan karena laki-laki, dalam konteks ini berarti suami mempunyai harta lebih banyak, maka dia berperan sebagai qawwamūn. Sabab nuzul ini juga disinggung dalam Tafsir at-Tabari.
Baca Juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an
Kedua, menurut pemahaman al-Qurtubi, ayat ini juga mengingatkan bahwa tanggung jawab suami terhadap istri itu tidak hanya tentang pemenuhan nafkah, tapi juga tentang kewajiban mendidik istri, mengurusnya, membuatnya untuk tetap tinggal di rumah, tidak keluar tanpa izin suami. Dari tanggung jawab ini, istri kemudian punya kewajiban mematuhi suami.
Sampai di bagian ini, al-Qurtubi terkesan memberikan dominasi peran terhadap suami dan sama sekali tidak memberikan ruang peran untuk istri. Untungnya, di bagian akhir poin kedua ini, al-Qurtubi menambahi penafsirannya dengan catatan bahwa kewajiban istri menaati suami itu selama tidak dalam hal kemaksiatan.
Pernyataan ini sangat berarti bagi perempuan, karena menandakan bahwa perintah taat itu sebenarnya bukan kepada orang yang memberi perintah, tetapi lebih kepada melihat sesuatu yang diperintahkan, dan ketika perintah tersebut tidak sesuai dengan perintah agama, maka perempuan, dalam hal ini, istri boleh untuk tidak patuh pada suami.
Ketiga, mengingat tanggung jawab pemenuhan nafkah itu dipegang oleh suami, maka berdasar ayat ini, al-Qurtubi berpendapat bahwa jika seorang suami tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah istri, maka boleh bagi istri untuk mengajukan cerai, hal ini karena hilangnya tujuan pensyariatan nikah.
Keempat, setelah memaparkan peran suami yang seharusnya, surah an-Nisa ayat 34 ini juga mendeskripsikan tentang istri yang baik, yaitu dia yang taat kepada suami, dan menjaga dirinya ketika suaminya tidak ada (di rumah). Kriteria ini diambil oleh al-Qurtubi berdasar pada hadis riwayat Abu Hurairah yang menyatakan bahwa sebaik-baiknya perempuan adalah dia yang ketika suami melihatnya, dia menyenangkan, ketika suami memerintah, dia patuh, dan ketika suaminya sedang tidak di rumah, dia bisa menjaga dirinya dan hartanya.
Kelima, tentang perempuan nusyuz. Al-Qurtubi mendefinisikan nusyuz dengan istri yang maksiat dan meremehkan sesuatu yang Allah wajibkan atas mereka, dalam hal ini tidak patuh terhadap suami.
Keenam, jika seorang suami menemukan indikasi atau bahkan meyakini istrinya nusyuz, maka tahapan cara menghadapinya, pertama adalah dengan menasehatinya, mengingatkannya kembali tentang perintah Allah untuk berbuat baik kepada suami, dan mengakui kedudukan suami atasnya.
Ketujuh, tahapan kedua menghadapi istri yang masih nusyuz yaitu dengan pisah ranjang. Bagi seorang istri yang masih cinta dengan suaminya, tentu pisah ranjang ini merupakan kondisi yang sangat sulit baginya, sehingga jika sang istri tidak menginginkannya, maka dia pun akan berbaikan dengan suaminya. Beda hal dengan istri yang sudah membenci suaminya, dia semakin menjauh dan makin jelas status nusyuznya.
Baca Juga: Tafsir Surah an-Nisa Ayat 128: Menyikapi Suami Nusyuz
Kedelapan, jika seorang istri masih tetap nusyuz, maka tahapan yang ketiga adalah dengan memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Tujuan pemukulan ini tidak lain agar membuat istri tersebut berbaikan kembali dengan suaminya. Al-Qurtubi kemudian mengutip beberapa hadis Nabi tentang tuntunan memperlakukan perempuan, termasuk pesan Nabi ketika haji wada’.
Ketika menafsirkan tahapan yang kedua dan ketiga dalam menghadapi istri yang nusyuz, al-Qurtubi menyertakan beberapa riwayat tentang perlakuan sahabat yang pernah memukul istrinya. Dua sahabat yang disebut yaitu Zubair bin Awwam yang memukul istrinya, Asma’ bint Abu Bakar karena Asma’ pernah keluar rumah hingga membuat Zubari dicela -orang-. Selain itu, juga sahabat Umar juga pernah memukul istrinya. Namun belum diteliti lebih lanjut, apakah peristiwa tersebut terjadi sebelum atau sesudah ayat ini turun.
Di bagian ini, al-Qurtubi mulai menyinggung sisi fikih dari tafsir ayat ini, yaitu tindakan nusyuz seorang istri terhadap suami berimplikasi pada gugurnya kewajiban pemenuhan nafkah dari suami terhadap istri, sampai sang istri berbaikan lagi, kecuali istri yang sedang hamil.
Kesembilan, jika istri sudah mematuhi suami, maka jangan mencari-cari kesalahannya, jangan berbuat zalim kepadanya. Menariknya, al-Qurtubi juga menafsiri bagian ini dengan keterangan bahwa perihal tidak cintanya seorang istri terhadap suami itu tidak dianggap nusyuz. Beliau menjelaskan ‘kalian (para suami) jangan membebani para istri kalian untuk mencintai kalian, karena sesungguhnya hal itu bukan kewajiban mereka.’
Baca Juga: Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa
Kesepuluh, surah an-Nisa ayat 34 di bagian akhir, mengingatkan para suami untuk tetap berlaku lemah lembut terhadap istri. Kalau pun dia punya kuasa dalam rumah tangganya, nyatanya masih ada Allah yang Maha Kuasa, jangan sekali-kali seorang suami meremehkan dan merendahkan istrinya.
Penafsiran al-Qurtubi tentang bagian akhir ayat ini, seperti menjadi penutup atau kesimpulan yang menetralkan poin-poin sebelumnya, yaitu suami dan istri dalam menjalankan rumah tangga mereka tidak lain sama-sama berpedoman pada aturan dan tuntunan Allah, bukan bergantung pada aturan, peran, dan kuasa suami.
Penutup yang netral ini, tampaknya tidak berlangsung lama karena di poin yang terakhir, al-Qurtubi malah menyamakan nusyuz istri dengan maksiat dosa besar, karena dalam ayat tersebut terdapat perintah yang jelas untuk memukulnya. Sungguh akhir penafsiran yang memunculkan banyak pertanyaan! Wallah a’lam