Lafadz aulia (pemimpin) yang merupakan jamak dari kalimat wali ternyata memiliki arti yang amatlah luas. Seperti halnya wali bisa dimaknai dengan pemimpin, penguasa, pengurus, pengatur, dan lainnya. Istilah lafadz wali sendiri di dalam dinamika sejarah, khususnya dalam pemerintahan Islam, nyatanya juga pernah digunakan, misalnya pada masa Amr bin al-Ash, ia disebut menjadi wali di wilayah Mesir. Kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan sebelum menjadi Khalifah pertama Bani Umayyah juga disebut dengan wali. Dalam hal ini ternyata, penulis Tafsir al-Azhar juga seingkali meminjam istilah wali untuk Negara Indonesia.
Pada Tafsir al-Azhar menyebutkan bahwa term-term makna aulia pada Al-Qur’anul karim disebutkan hingga 42 kali. Kemudian Buya Hamka selaku penulis Tafsir al-Azhar dalam menafsirkan term-term aulia mengklasifikasikan lafadz-lafadz aulia tersebut menjadi tujuh pemaknaan yaitu pemimpin, pelindung, penolong, pengikut, penguasa, sahabat, dan saudara.
Kemudian buya Hamka sendiri dalam menafsirkan lafadz-lafadz aulia menggunakan metode tafsir bi al-Iqtiran (penafsiranya tak hanya bertumpu ataupun bersumber dari Al-Qur’an, hadis, pendapat sahabat dan tabi’in serta riwayat kitab-kitab tafsir semata). Menariknya, Hamka dalam penafsirannya melibatkan aspek ilmiah (ra’yu).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Apakah Mulut dan Lubang Hidung Wajib Dibasuh Ketika Mandi Besar?
Penasiran Aulia dari Aspek Ilmiah (Ra’yu)
Penafsiran Buya Hamka terkait lafadz-lafadz aulia dari aspek ilmiah (ra’yu) terlihat sangat jelas saat Buya Hamka mengaitkan lafadz aulia tersebut dengan istilah kebahasaan Hindia Belanda yaitu landvoogd yang berarti Gubernur. Dalam perihal ini Buya Hamka melihat lafadz aulia tersebut dari sisi pemaknaan radix (akar kata) istilah tersebut muncul pertama kali yang merujuk ataupun bersumber dari aspek kesejarahan bangsa kita yaitu NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Baca juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 99-100: Dai Hanya Menyampaikan, Allah yang Mengislamkan
Hamka dalam memparodikan kalimat aulia tidak hanya dari aspek pendekatan sejarah saja, akan tetapi juga dari aspek kebahasaan. Kemudian yang lainnya juga ada dalam aspek Interaksi sosio-kultur dalam masyarakat dan keadaan geografi suatu wilayah. Dengan begitu, terlihat sangat jelas saat Buya Hamka menceritakan bahwasanya, dahulu pada masa Hindia Belanda seorang Gubernur Jenderal disebut wali negeri olehnya.
Namun tidak hanya itu, ditemukan pula sebuah fakta yang menarik untuk dijadikan sebagai bahan kajian ataupun sebuah pelajaran sejarah bangsa. Terkait pada zaman federal dahulu, ada kepala-kepala negara yang dengan sengaja diinisiasi ataupun dibentuk oleh seorang Van Mook disebut wali negara. Seperti contohnya seorang Dr. Mansur menjadi wali negara di wilayah Sumatera Timur, Abdul Malik menjadi wali di wilayah negara Sumatera Selatan dan lain-lain.
Dan tidak hanya itu saja, di zaman revolusi di wilayah Sumatera Barat, kepala negerinya ditukar sebutanya menjadi wali negeri dan hal tersebut dilakukan guna untuk memecah belah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) agar menjadi negara-negara bagian yang sama sekali tidak memiliki power (kekuatan). Wallahu a’lam[]