Alif lam mim (الم) merupakan salah satu dari fawatih as-suwar (awalan/pembuka surah) yang berupa huruf-hurf yang terputus (al-ahruf al-muqaththa’ah). Ia terdapat di 6 surah dalam Al-Qur’an dan dalam bahasa Arab tidak diketahui makna umumnya. Mayoritas mufassir memilih untuk tidak menafsirkannya kecuali dengan ucapan wallahu a’lam. Meski begitu, tetap ada sebagian mufassir yang berusaha menta’wilkannya. Syaikh Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani atau dikenal dengan Kyai Sholeh Darat adalah seorang mufassir nusantara asal Jepara, yang berupaya menta’wilkan makna alif lam mim dalam Al-Qur’an.
Faid al-Rahman fi Tarjamah al-Kalam al-Malik adalah nama kitab tafsir berbahasa Jawa anggitan Kyai Sholeh Darat yang memuat makna alif lam mim tersebut. Dalam kitab tafsirnya itu, Kyai Sholeh Darat menjelaskan 5 makna dan rahasia dari tiga huruf istimewa tersebut.
Pertama, rahasia Alif Lam Mim diketahui Nabi.
Awalnya Kyai Sholeh Darat menjelaskan bahwa makna lafadz alif lam mim hanya diketahui oleh Allah (asrar). Namun Allah memberitahu maksud dari rahasia lafadz tersebut kepada Nabi Muhammad ketika para malaikat, para nabi dan para rasul tidak ada yang mendengarnya. Kyai Darat mendasarkan argumentasinya tersebut atas sebuah hadis yang menceritakan peristiwa turunnya lafadz kaf ha ya ‘ayn shad (Surat Maryam ayat 1).
Baca juga: Belajar Investasi dari Nabi Yusuf, Tafsir Surah Yusuf Ayat 47-49
Saat itu, sewaktu Malaikat Jibril mengucapkan huruf kaf, Nabi menimpali dengan ucapan yang dibahasa Jawakan oleh Kyai Darat dalam tafsirnya “sampun ngerti kula” (saya sudah mengerti). Begitu seterusnya hingga akhir huruf shad. Jibril kemudian berkata “bagaimana Baginda bisa mengetahuinya, (padahal) saya tidak mengetahui”.
Kedua, Alif Lam Mim merupakan isyarat Allah Qadim
Alif lam mim termasuk daripada al-ahruf al-muqaththa’ah. Menurut Kyai Sholeh Darat, kalamullah tidak memiliki akhir, sedangkan al-ahruf al-muqaththa’ah secara huruf memiliki akhir, tapi secara arti tidak memiliki akhir. Dengan begitu, sebenarnya alf lam mim mengisyaratkan bahwa kalamullah itu qadim sekaligus tidak berakhiran.
Ketiga, ketidakterbatasan Kalamullah
Pandangan ini masih berkaitan dengan penjelasan sebelumnya mengenai al-ahruf al-muqaththa’ah. Kyai Sholeh Darat kemudian membuat klasifikasi fawatih as-suwar berupa huruf hijaiyah. Menurutnya, al-ahruf al-muqaththa’ah terbagi atas dua jenis: pertama, terputus secara tulisan dan bacaan seperti lafadz nun, qaf, dan shad, dan kedua, terputus dalam segi bacaan saja seperti alif lam mim.
Jenis pertama menunjukkan makna yang tiada batasnya, seperti halnya kalamullah yang tidak memiliki akhir, tidak berupa huruf, dan juga tak bersuara. Sedangkan jenis kedua mengisyaratkan bahwa al-ahruf al-muqaththa’ah itu jika disusun, maka tidak akan pernah selamanya habis. Seperti huruf fa’, ‘ayn, dan lam apabila disusun maka dapat menjasi beberapa kata, misalnya fi’lun, laf’un, ‘alafun dan seterusnya.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya kalamullah berupa al-ahruf al-muqaththa’ah merupakan isyarat kalam qadim, sedangkan kalimat yang dapat tersusun sesuai kaidah bahasa merupakan isyarat kalam hadis (baru) yang berupa ungkapan. Sifat dari kedua kalam tersebut pada dasarnya tidak memiliki akhir sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Kahfi ayat 109:
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
Baca juga: Tafsir Surah al-Maidah Ayat 2: Anjuran untuk Takziyah, dan Berikut Waktu Terbaik untuk Takziyah
Kedua kalam qadim tersebut diwujudkan Allah dalam bentuk huruf dan susunan kalimat karena sifat lemah dan terbatasnya pemahaman manusia. Adapun perwujudan kalam yang berupa huruf dan yang berbilang dengan bentuk bahasa Arab semata-mata bertujuan agar makhluk bisa memahaminya sebagaimana tujuan diturunkannya kitabullah yang tertera dalam Surat Az-Zukhruf ayat 3:
إِنَّا جَعَلْنَٰهُ قُرْءَٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).”
Keempat, isyarat totalitas wujud dan tingkatan spiritualitas
Kyai Sholeh Darat sebelumnya telah memaparkan perbedaan para mufassir soal makna alif lam mim dan ia menyatakan bahwa kesemuanya merupakan pendapat yang sahih dan mu’tamad. Namun, dalam memaknai alif lam mim ini Kyai Sholeh Darat memilih pendapat kasyf Ibnu Arabi dalam Futuhat al-Makiyyah bahwa huruf-huruf tersebut memiliki wujud (eksistensi) serta bertingkat.
Baca juga: Makna dan Keutamaan Surah Al-Ashr dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ibnu Arabi menyisir sisi ontologis huruf-huruf hijaiyah, serta berusaha pula menyingkap eksistensi makna alif lam mim. Alif adalah isyarat kepada Dzat yang menjadi wujud pertama (awwal al-wujud) yaitu Allah. Lam sebagai pemadatan simbol “ila” menjadi isyarat perantara (ausath al-wujuh) yang dinamakan Jibril. Dalam Futuhat al-Makiyyah sebenarnya dijelaskan bahwa Jibril kadangkala dinisbatkan sebagai sosok, namun adakalanya dinisbatkan sebagai bentuk kesempurnaan akal yang dimiliki Nabi. Adapun mim merupakan isyarat Muhammad sebagai wujud terakhir.
Selain itu Kyai Sholeh Darat menuturkan bahwa alif lam mim ini juga memiliki isyarat atas tiga maqam. Alif dengan bentuknya yang tegak mengisyaratkan sifat istiqamah syariat. Lam merupakan perantaraan sebagaimana ilmu thariqat. Sedangkan mim merupakan isyarat untuk ilmu hakikat.
Kelima, peneguhan Al-Quran merupakan firman Allah
Pandangan ini merujuk pada asbabun nuzul-nya, yaitu saat kafir Arab menghina Nabi serta mengatakan bahwa Al-Quran merupakan buatan Muhammad. Kemudian Allah turunkan lafadz alif lam mim ini sebagai penegasan bahwa Al-Qur’an merupakan kalam-Nya. Lafadz sedalam dan seindah alif lam mim itu tentu tidak ada yang bisa membuat kecuali Allah, padahal kaum Quraisy merupakan orang-orang yang sangat fasih menyusun syair.