BerandaTafsir TematikPenafsiran Surah an-Nisa’ Ayat 40 dalam Tafsir Mu’tazilah dan Tafsir Sunni

Penafsiran Surah an-Nisa’ Ayat 40 dalam Tafsir Mu’tazilah dan Tafsir Sunni

Penafsiran surah an-Nisa’ ayat 40 menjadi salah satu contoh perbedaan kecenderungan pemikiran dari dua arus teologi dalam Islam, Mu’tazilah dan Sunni. Perbedaan tersebut terlihat ketika menafsirkan tentang persoalan ‘keadilan Allah’ dalam ayat tersebut.

Berikut redaksi ayat dan terjemah dari surah an-Nisa’ [4] ayat 40,

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ۚوَاِنْ تَكُ حَسَنَةً يُّضٰعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَّدُنْهُ اَجْرًا عَظِيْمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan menzalimi (seseorang) walaupun sebesar zarah. Jika (sesuatu yang sebesar zarah) itu berupa kebaikan, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.”

Sebagaimana terbaca dalam redaksinya, ayat ini menginformasikan bahwa Allah tidak akan berbuat zalim terhadap hambaNya dengan senantiasa membalas setiap kebaikan yang dilakukan oleh hambaNya sekecil apapun.

Baca Juga: Ketika Tafsir Bertemu Teologi: Membaca Ulang Dialog Tafsir antara Al-Zamakhsyari dan Husayn al-Dhahabi

Penafsiran Surah an-Nisa’ Ayat 40 dalam Tafsir Mu’tazilah

Salah satu tafsir yang memiliki kecenderungan terhadap aliran mu’tazilah adalah tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari. Berikut penafsiran al-Zamakhsyari surah an-Nisa’(4): 40 (jilid 2, hal 78);

وَفِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهُ لَوْ نَقُصَ مِنَ الْأَجْرِ أَدْنَى شَيْءٍ وَأَصْغَرِهِ، أَوْ زَادَ فِي الْعِقَابِ لَكًانَظُلْماً، وَأَنَّهُ لَا يَفْعَلُهُ لاِسْتِحَالَتِهِ فِي الْحِكْمَةِ لَا لاِسْتِحَالَتِهِ فِي الْقُدْرَةِ

“Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa apabila pahala dikurangi sedikit saja, atau ditambah dalam hal siksa, niscaya itu merupakan kezaliman; dan Allah tidak melakukannya karena hal itu mustahil menurut hikmah-Nya, bukan mustahil menurut kekuasaan-Nya.

Al-Zamakhsyari menyebutkan bahwa surah an-Nisa’ (4): 40 merupakan dalil bahwa jika Allah mengurangi pahala atau menambah hukuman sedikit saja meskipun sekecil biji (dzarrah), maka hal tersebut merupakan suatu kezaliman. Namun demikian, Allah tidak mungkin melakukannya karena mustahil dalam kebijaksanaan-Nya bukan dalam kemampuan atau kekuasaan-Nya.

Menurut al-Zamakhsyari, Allah mampu saja berbuat ‘kezaliman’ namun mustahil bagi-Nya karena bertetantangan dengan kebijaksanaan-Nya. Hal ini selaras dengan prinsip Mu‘tazilah bahwa keadilan Allah mengikuti standar rasional. Jika seorang hamba berbuat kebaikan, maka secara moral dia berhak mendapat pahala dan hak itu tidak boleh digugurkan.

 Bagi Mu‘tazilah, Allah adalah hakim yang adil dan bijaksana sehingga mustahil Dia melakukan tindakan yang berkonsekuensi ketidakadilan.

Cara pandang ini lahir karena mereka meyakini bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tidak absolut atas perbuatan manusia. Manusia-lah yang mewujudkan perbuatannya sendiri sehingga Allah terikat prinsip al-ṣalāḥ wa al-aṣlaḥ sebagai bentuk komitmen terhadap norma keadilan.

Baca Juga: Tinjauan Teologi al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Penafsiran Surah an-Nisa Ayat 40 dalam Tafsir Sunni

Sedangkan salah satu tafsir yang menunjukkan penerapan yang konsisten terhadap prinsip-prinsip teologi Sunni dalam penafsirannya adalah Mafātīḥ al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Rāzī. Dia juga mengemukakan beberapa argumen bantahan untuk pendapat selain sunni yang tidak sepaham dengannya. Dia menyajikannaya dalam bentuk masalah dan jawaban.

Penafsiran ar-Razi seolah berdialog dengan pendapat mu’tazilah yang berpendapat bahwa seorang hamba berhak mendapat pahala atas kebaikan yang dilakukannya. Kemudian jika Allah tidak memberi pahala atas amal baik seorang hamba, itu berarti Allah berbuat zalim, dan ini mustahil bagi-Nya.

Hal ini dibantah oleh ar-Razi, menurutnya, Allah memberikan pahala bukan karena manusia memiliki hak, akan tetapi karena Allah sudah berjanji untuk memberi balasan. Apabila balasan atau pahala itu tidak diberikan, maka hal itu hanya tampak seperti kezaliman secara bahasa, bukan hakikat.

Lebih jauh lagi, ar-Razi menegaskan bahwa kezaliman mustahil bagi Allah, karena zalim biasanya terjadi karena kebodohan atau kebutuhan—orang berbuat zalim karena ia tidak tahu (bodoh) atau karena ia butuh mengambil hak orang lain—dua sifat ini mustahil bagi-Nya.

Selain itu, zalim berarti mengambil hak milik makhluk, sementara seluruh alam ini sepenuhnya milik Allah. Jika kezaliman dianggap mungkin bagi Allah, maka ketuhanan-Nya bisa saja hilang dan itu mustahil. Dengan ini, ar-Rāzī menegaskan bahwa keadilan Tuhan tidak berarti kewajiban bagi-Nya, tetapi bagian dari kesempurnaan sifat-Nya.

Argumentasi ar-Razi ini sejalan dengan Asy’ariyah (teolog sunni) yang menilai Allah Mahakuasa secara absolut dan bebas melakukan apa saja. Manusia adalah makhluk lemah dan segala tindak-tanduk manusia semata-mata ditentukan Allah karena itu Allah tidak terikat janji dan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap manusia.

Baca Juga: Nuansa Sunni dalam Pemikiran al-Syaukani

Sementara itu, Al-Maturidi (teolog sunni) menengahi kedua pendapat di awal dengan posisi moderat. Dia menyeimbangkan kehendak bebas manusia dan kekuasaan mutlak Allah. Allah menciptakan segala sesuatu termasuk perbuatan manusia, tetapi manusia tetap memiliki ruang pilihan dan tanggung jawab.

Keadilan Allah menurut Maturidiyyah (pengikut paham al-Maturidi) tampak melalui pembedaan antara khalq dan kasb. Allah memberi kemampuan, manusia memilih perbuatannya. Oleh karena itu, Allah wajib menepati janji pahala dan siksa, sehingga pandangan Maturidiyyah lebih moderat di antara dua kubu teologi.

Pada intinya, meskipun Mu‘tazilah dan Sunni sama-sama menegaskan keadilan Allah, keduanya berbeda dalam memahami maknanya. Mu‘tazilah menjadikan akal sebagai tolok ukur moral, sedangkan Sunni melihat keadilan Allah sebagai konsekuensi kesempurnaan sifat-Nya.

Perbedaan kecenderungan dalam ayat 40 ini semakin memperjelas betapa afiliasi mazhab pemikiran yang diikuti oleh seorang mufasir akan mempengaruhi proses dan hasil penafsirannya. Wallah a’lam.

Nadya Putri Prameswari
Nadya Putri Prameswari
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU