BerandaTafsir TematikTafsir IsyariTinjauan Teologi al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Tinjauan Teologi al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Tafsir al-Alusi atau Tafsir Ruh al-Ma’ani dikenal dengan sebutan tafsir sufi yang bercorak isyari (Husna, 2020, hlm. 122). Dengan berbagai penafsiran yang ditulis oleh al-Alusi dalam tafsirnya, para pengkaji-pengkaji tafsir yang memasukkan tafsir tersebut pada corak sufi, karena kecondongan tafsir tersebut lebih banyak pada sufistik.

Tafsir isyari merupakan salah satu bentuk karya tafsir yang menggunakan corak sufi. Husain al-Dzahabi membagi tafsir sufi menjadi dua bagian, yaitu tafsir sufi isyari dan tafsir sufi nazhari (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, II: 261). Tafsir isyari lebih identik dengan corak yang menekankan pada makna-makna yang ditarik dari ayat Alquran dan tidak membatalkan makna asli lafaznya.

Meski dengan dominan corak sufi, tidak dipungkiri bahwa al-Alusi juga menyentuh penafsiran-penafsiran yang bersangkut-paut dengan masalah teologi. Penafsiran semacam ini bisa ditemukan dari berbagai ayat yang mempunyai indikasi pada teologi. Namun, penjelasan teologi itulah nanti yang digiring oleh al-Alusi untuk dikaitkan dengan sufi.

Baca Juga: Mengenal Corak Sufistik Tafsir Ruh Al-Ma’ani Karya Al-Alusi

Al-Dzahabi mengatakan bahwa al-Alusi adalah mufasir dengan akidah sunni yang banyak ditemukan penafsiran yang membantah golongan Mu’tazilah dan Syi’ah (Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, I:253). Bukan hanya itu, al-Alusi juga menyebutkan diskursus-diskursus dari golongan Qadariyah, Jabariyah dan Khawarij. Salah satu ayat yang ditafsirkan al-Alusi dan digiring dengan diskursus teologi kemudian masuk ke sufi, yaitu kata نستعين  pada surah Alfatihah.

وَتَمَسَّكَتِ الْجَبَرِيَّةُ وِالْقَدَرِيَّةُ بِهَذِهِ الْآيَةِ

Golongan Jabariyah dan Qadariyah berpegang teguh pada ayat ini (Ruh al-Ma’ani, I:89).

Al-Alusi memulai penafsiran kata نستعين dengan mendefinisikan kata isti’anah yang merupakan perubahan kata dari nasta’in. Al-Alusi mengaitkan hal tersebut sekilas dengan penjelasan teologis dari Jabariyah dan Qadariyah. Diskursus teologi disini lebih condong pada pembahasan apakah manusia punya kebebasan atas pekerjaan dirinya, atau tidak.

Pertama, menurut Jabariyah, bahwa manusia yang mempunyai kebebasan atas pekerjaannya, maka isti’anah di situ tidak ada gunanya. Karena jika manusia punya kebebasan atas pekerjaannya, tentunya dia tidak akan minta bantuan kepada yang lain. Kedua, Qadariyah memberikan pandangan bahwa justru jika manusia tidak mempunyai kebebasan atas pekerjaannya, barulah isti’anah tidak ada gunanya. Karena jika manusia mempunyai hak, maka tentunya dia akan meminta bantuan kepada yang lain. Sedangkan jika tidak, isti’anah di situ sia-sia (Ruh al-Ma’ani, I:89).

Contoh penafsiran al-Alusi yang menyanggah pernyataan Mua’tazilah ada pada ayat وَما أَرْسَلْنا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ. (Q.S Alnisa’ [4]; 64)

وَاحْتَجَّ الْمُعْتَزِلَةُ بِالْآيَةِ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يَرِيْدُ إِلَّا الْخَيْرَ وَالشَّرُّ عَلَى خِلَافِ إِرَادَتِهِ

Golongan Mu’tazilah berhujjah dengan ayat bahwa Allah tidak mengehendaki kecuali kebaikan. Sedangkan keburukan terlepas dari kehendak-Nya (Ruh al-Ma’ani, III:68).

Sanggahan al-Alusi pada ayat ini merujuk ada pendapat al-Nasafi dalam tafsirnya al-Taysir fi Tafsir bahwa makna ialah untuk menaati Allah dengan izin dan kehendak-Nya dalam ketaatan. Sedangkan orang yang tidak dikehendaki, maka Allah ingin menghilangkan ketaatannya. Oleh sebab itu, orang tersebut tidak akan menaati Allah dan akan menjadi kafir.

Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

Contoh penafsiran al-Alusi yang menyanggah pernyataan golongan Syi’ah ada pada لا يَنالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ. (Q.S Albaqarah [2]: 124)

وَاسْتَدَلَّ بِهَا بَعْضُ ‌الشِّيْعَةِ عَلَى نَفْيِ إِمَامَةِ الصِّدِّيْقِ وَصَاحِبِيْهِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ حَيْثُ أَنَّهُمْ عَاشُوا مُدَّةً مَدِيْدَةً عَلَى الشِّرْكِ

Sebagian golongan Syiah mengambil dalil dengan ayat tersebut sebagai peniadaan kepemimpinan Abu Bakar al-Siddiq dan sahabat lainnya, karena mereka hidup cukup lama dalam kesyirikan (Ruh al-Ma’ani, I:375).

Al-Alusi menyanggah bahwa yang dimaksud orang zalim tidak bisa mewarisi kepemimpinan hanya pada saat zalim saja. Sedangkan kepemimpinan yang diperoleh oleh sahabat Nabi Saw. pada waktu sempurnanya iman dan puncak keadilan mereka. Sehingga dengan alasan tersebut, para sahabat Nabi Saw. masih pantas menyandang kepemimpinan setelah Nabi Saw. wafat.

Contoh penafsiran al-Alusi yang menyanggah pernyataan golongan Khawarij ada pada ayat وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِما أَنْزَلَ اللَّهُ. (Q.S Almaidah [5]: 44-45)

وَاحْتَجَّتِ الْخَوَارِجُ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَلَى أَنَّ الْفَاسِقَ كَافِرٌ غَيْرُ مُؤْمِنٍ

Golongan Khawarij berhujjah dengan ayat ini bahwa orang fasik adalah orang kafir yang bukan mukmin (Ruh al-Ma’ani, III:314).

Alasan golongan Khawarij karena kata مَنْ pada ayat tersebut masih bersifat umum yang mencakup semua orang yang tidak menghukumi dengan sesuatu yang Allah turunkan tanpa terkecuali sama sekali. Sanggahan al-Alusi pada pernyataan Khawarij tersebut dengan memberikan alasan bahwa hukum meskipun mencakup pekerjaan hati dan anggota tubuh tetapi yang dimaksud pada ayat tersebut hanya pekerjaan hati, yaitu tasdiq (membenarkan Allah).

Baca Juga: Surah Ash-Shaffat Ayat 96: Apakah Allah Swt Mengatur Seluruh Tindakan Manusia?

Dengan adanya tafsir seperti itu, tidak akan ada pertentangan lagi bahwa siapapun yang tidak percaya Allah, maka dia kafir. Sehingga artinya menurut al-Alusi orang yang tidak menghukumi dengan sesuatu yang Allah turunkan, tidak akan terjadi jika bukan orang yang tidak beriman kepada Allah (Al-Alusi, 1995, III:314).

Kesimpulan

Meskipun tafsir al-Alusi didominasi corak sufi, tidak menutup kemungkinan adanya penafsiran selain masalah-masalah sufi, termasuk salah satunya penafsiran tentang teologi. Penafsiran al-Alusi memulai penjelasan dari berbagi golongan yang kemudian nanti disanggah dan digiring pada sufi.

Wallahu A’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...