BerandaTafsir TematikKritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Kritik al-Alusi Terkait Cerita Israiliyat dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani

Persoalan masalah israiliyat menjadi kajian penting dalam tafsir di abad pertengahan. Karena pada abad tersebut, tafsir-tafsir yang ditulis sudah mengalami sedikit perubahan dari tafsir-tafsir klasik. Tafsir klasik yang kental dengan penafsiran yang memuat semua aspek, pada abad pertengahan sudah mulai adanya filtrasi narasi israiliyat yang dinilai kurang tepat.

Cerita israiliyat sebenarnya sudah ada dari setelah Nabi Saw. wafat. Cerita israiliyat dalam riwayat, tidak lepas karena adanya sahabat Nabi yang masuk dari golongan Ahli Kitab. Sehingga, cerita-cerita yang mereka bawa dari sebelum masuk Islam, kembali dimunculkan setelah masuk Islam. Hal tersebut senada dengan pernyataan al-Dzahabi yang mengatakan bahwa periwayatan israiliyat dimulai dari masa sahabat (Al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1, 97).

Ada beberapa tokoh yang terkenal pada masa itu, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Munabbih, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Ketika cerita israiliyat diriwayatkan dari nama-nama tersebut, mufasir klasik cenderung belum melakukan filtrasi yang ketat, apakah cerita tersebut bisa dibernarkan dan diterima, atau cerita tersebut menyalahi konsensus Islam.

Baca Juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Seperti yang dikatakan al-Dzahabi dalam bukunya al-israiliyyat fi tafsir wa al-hadits bahwa tafsir al-Alusi adalah tafsir yang banyak memuat cerita-cerita israiliyat. Ada banyak cerita yang dimasukkan oleh al-Alusi dalam tafsirnya sebagai bentuk analisis yang disajikan kepada para pembaca. Bahkan menurutnya, cerita israiliyat tersebut diambil dari tafsir-tasfsir sebelumnya yang tidak mempunyai dalil jelas (Al-Dzahabi, Al-israiliyyat fi tafsir wa al-hadith, 136).

Ali Iyazi juga menyatakan pernyataan yang sama seperti al-Dzahabi, ia mengatakan bahwa tafsir al-Alusi adalah produk tafsir monumental yang ditulis setelah masa Fakhru al-Din al-Razi yang terkenal dengan tafsirnya Mafatih al-Ghaib. Menurutnya, tafsir al-Alusi bisa dikatakan sebagai bentuk replika dari tafsir al-Razi. Sehingga, ketika membaca tafsir al-Alusi, pembaca seakan-akan sedang membaca tafsir al-Razi (Ali Iyazi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wamanhajatuhum, Jilid 2, 819).

Dua pernyataan tersebut mencerminkan tafsir al-Alusi adalah karya tafsir yang kental dengan masa abad pertengahan, dengan dibuktikannya adanya kritik teologi dan filtasi dalam cerita israiliyat. Namun, narasi israiliyat dalam tafsir al-Alusi ditampilkan untuk di kritik. Hal tersebut juga yang menjadi pembeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Berikut salah satu contoh kritik al-Alusi:

Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran

Albaqarah [2]: 102

Dalam cerita malaikat yang tertulis di ayat tersebut, al-Alusi menampilkan protes malaikat kepada Allah yang mengatakaan lau kunna makanahum ma ‘ashainaka (jika saja kita berada di tempat mereka, pasti kami tidak akan bermaksiat kepada-Mu). Kemudian Allah meminta kepada mereka untuk memilih dua di antara beberapa malaikat untuk disamakan seperti manusia dan diturunkan ke bumi.

Setelah itu, karena dua malaikat yang Allah turunkan ke bumi disamakan dengan manusia, artinya Allah juga memberikan sifat seperti manusia pada umunya. Sehingga, mereka menyukai satu perempuan yang bernama Zahrah. Mereka ingin meminang perempuan itu, akan tetapi sang perempuan tidak mau kecuali mereka menyembah patung atau meminum khamar atau membunuh orang lain. Akhirnya, rayuan sang perempuan berhasil meluluhkan dua malaikat tersebut (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 1, 339).

Menurut al-Alusi, narasi cerita yang tersebar luas tersebut adalah cerita yang sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin malaikat yang sudah ada nas khusus akan berdusta kepada Allah. Dalam narasi kritik tersebut, al-Alusi mengutip pendapat al-Razi yang mengatakan bahwa cerita demikian tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa diterima.

Selain itu, ia juga mengutip dari Shihab al-‘Iraqi dengan pernyataan yang ekstrem. Menurutnya, orang yang percaya atas cerita dustanya dua malaikat tersebut karena seorang perempuan, maka orang tersebut sudah kafir. Karena sifat malaikat sudah jelas dalam QS. Altahrim [66]: 6, QS. Alanbiya’ [21]: 19-20 yang menegaskan bahwa malaikat tidak  mungkin berdusta  (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 1, 340).

Baca Juga: Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

Q.S Almaidah [3] :12

Di sela-sela menafsirkan ayat QS. Almaidah [3] :12, al-Alusi menampilkan salah satu kritik narasi israiliyat tentang Auj bin Unuq. Al-Alusi mengutip riwayat dari al-Baghawi yang mengatakan bahwa tinggi Auj mencapai 3331 dzira’. Dari saking tingginya, ia bisa minum dari awan langsung dan bisa mengambil ikan dari dasar lautan, kemudian dipanggang di matahari. Bahkan ketika ada musibah banjir yang menggenangi seluruh bumi, air tersebut tidak sampai di lutut Auj. Konon, ia juga hidup 3000 tahun dan mati di tangan Nabi Musa (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 3, 258).

Narasi mitos tentang Auj yang diitulis al-Alusi, tidak lepas dari komentar yang ia katakan setelah menjelaskan semua tentangnya. Dalam hal ini, al-Alusi menyatakan cerita yang tersebar tentang Auj sama sekali tidak mempunyai dalil yang bisa dibenarkan. Bahkan, narasi semacam itu adalah hasil kebohongan orang-orang Ahli Kitab yang memang sengaja dibuat-buat (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 3, 259).

Kesimpulan

Cerita israiliyat yang ditampilkan oleh al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma‘ani merupakan salah satu keautentikan tafsir tersebut. Karena narasi israiliyat yang ditampilkan, tidak lain untuk dikritik dan dibenarkan jika memang perlu dibenarkan. Berbeda dengan tafsir-tafsir masa sebelumnya, yang cenderung tidak melakukan kritik terhadap narasi-narasi israiliyat.

Wallahu A’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...