Apa sih kaitannya neuroteologi dengan Alquran? Menurut Dr. Al-Qadhi, ternyata membaca dan menghayati Alquran itu bukan sekadar ibadah semata, tetapi juga membawa manfaat bagi ketenangan jiwa dan kesehatan mental. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa tilawah Alquran dapat merangsang bagian otak yang berhubungan dengan ketenangan dan keseimbangan emosional (Analisis Tingkat Intensitas Membaca Alquran Terhadap Kesehatan Mental Pada Mahasiswa/i UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, 2024).
Dengan menggabungkan neuroteologi dan studi Alquran, kita bisa melihat bagaimana wahyu Allah berperan dalam kehidupan manusia, baik secara spiritual maupun ilmiah. Pendekatan ini membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana ajaran Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan mental dan emosional. Mari kita simak di pembahasan berikut.
Definisi Neuroteologi
Neuroteologi merupakan bidang ilmu yang istimewa karena mengkaji keterkaitan antara fungsi otak dan aspek-aspek keagamaan, atau lebih luasnya, antara kesadaran batin dan pengalaman spiritual. Dengan kemajuan dalam riset neurosains, disiplin ini mulai menarik perhatian lebih luas di kalangan ilmuan dan pemikir agama (Mencari Tuhan di dalam Otak? Mengurai Prinsip-prinsip Dasar Neuroteologi, 2023).
Beragam buku dan artikel ilmiah berkualitas telah diterbitkan untuk mengeksplorasi tema ini. Kajian tersebut lahir dari dialog yang terbuka, rasional, dan kritis antara ilmu pengetahuan modern, teologi, dan agama. Sebagaimana lazimnya dalam pertemuan dua dunia yang berbeda, muncul pula berbagai tanggapan, baik yang mendukung maupun yang mempertanyakan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang jernih secara filosofis dan ilmiah agar diskusi ini tetap berada pada jalur yang konstruktif.
Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 62: Akal Sebagai Tameng dari Godaan Setan
Walaupun demikian, gagasan mengenai hubungan antara pikiran dan spiritualitas sebenarnya bukan hal baru. Sejak dahulu kala, para filsuf dan pemikir telah mencoba memahami bagaimana pengalaman religius berakar dari dimensi terdalam kesadaran manusia. Kini, dengan bantuan teknologi mutakhir seperti neuroimaging, pertanyaan-pertanyaan klasik tersebut dapat ditinjau kembali melalui lensa sains modern yang berbasis data empiris.
Neuroteologi dan Alquran
Q.S. Al-Isra: 70 berbunyi sebagai berikut.
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Dan sesungguhnya Kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Dalam Tafsir Al-Munir dijelaskan bahwa Allah Swt. menganugerahkan keistimewaan kepada manusia berupa akal, sebuah kemampuan unik yang menjadikannya makhluk yang mampu menyelami hakikat segala sesuatu. Dengan akal yang dalam pemahaman ilmiah modern terletak pada otak, manusia diberi kecerdasan untuk memahami isi wahyu, seperti Alquran, serta menalar dan mengambil pelajaran darinya.
Baca juga: Dorongan Menggunakan Akal Pikiran dalam Alquran
Potensi ini juga membuat manusia mampu mengembangkan berbagai aspek kehidupan: mulai dari cara memproduksi makanan, bertani, berdagang, hingga menciptakan dan memahami bahasa. Semua itu tak lepas dari kapasitas otaknya dalam mengelola informasi, menganalisis pola, dan membangun sistem yang teratur.
Otak manusia juga menjadi alat penting dalam membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya, baik dalam urusan dunia maupun dalam menjaga nilai-nilai agama. Kemampuan menilai dan membuat keputusan moral ini menunjukkan bahwa akal bukan sekadar sarana berpikir rasional, tetapi juga pusat kesadaran spiritual yang memungkinkan manusia memahami petunjuk Allah dengan lebih dalam.
Penutup
Neuroteologi membawa kita pada pemahaman baru bahwa proses spiritual bukanlah sesuatu yang terpisah dari sistem biologis manusia, melainkan sangat terkait erat dengan fungsi otak. Dalam Alquran, ajakan untuk berpikir, merenung, dan menggunakan akal menunjukkan bahwa wahyu ditujukan kepada manusia yang sadar, cerdas, dan aktif secara mental.
Otak sebagai pusat kesadaran dan nalar menjadi sarana utama untuk menangkap kedalaman makna Alquran. Dengan demikian, semakin dalam seseorang mengaktifkan potensi akalnya dalam membaca dan mentadabburi ayat-ayat suci, semakin besar pula kemungkinan munculnya kesadaran spiritual yang utuh.