Baru-baru ini, Menteri Agama Republik Indonesia mengeluarkan peraturan terkait penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Peraturan tersebut tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Inti dari peraturan tersebut adalah penertiban pengeras suara di masjid dan musala agar tercipta keharmonisan antarwarga, terlebih lagi di Indonesia banyak pemeluk agama selain Islam. Salah satu poin dari aturan tersebut adalah pengeras suara luar hanya diizinkan pada saat azan dan hari-hari besar Islam (kemenag.go.id).
Aturan ini tentu dibuat dalam rangka menjawab beberapa permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat, terutama yang menyangkut masalah agama, dalam hal ini adalah pengeras suara masjid. Seperti kasus penyerbuan warga non-muslim di Tolikara, Papua terhadap warga muslim saat salat Idulfitri dikarenakan pengeras suara saat salat mengganggu mereka.
Tentu kejadian semacam ini sangat memprihatinkan. Sebagai penduduk mayoritas, umat Islam seharusnya mampu menjadi pionir dalam menegakkan persatuan di tengah perbedaan yang ada di Tanah Air, terlebih lagi nilai persatuan tersebut menjadi salah satu nilai yang terdapat dalam kitab pedoman umat Islam itu sendiri.
Hakikat Syiar Islam
Salah satu ayat dalam Alquran yang menggunakan lafaz yang sepadan dengan kata syiar adalah Q.S. Albaqarah [2]: 158 sebagai berikut:
اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ …
“Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah…”
Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (3/hal. 10), lafaz syi’ar seakar dengan lafaz syu’ur yang berarti “rasa”. Secara istilah, syi’ar adalah tanda-tanda agama dan ibadah yang ditetapkan Allah Swt. sehingga menghasilkan rasa hormat dan pengagungan kepada Allah Swt. Selain itu, syi’ar juga dapat diartikan sebagai tanda, semboyan dan simbol yang mana kesemuanya ini akan menunjuk pada kemuliaan dan kebesaran terhadap apa yang diberi tanda maupun semboyan tersebut (Tafsir Al-Amin, 1/hal. 50).
Pengertian lafaz syi’ar di sini sejalan dengan pendapat Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (2/ hal. 281) ketika menafsirkan Q.S. Albaqarah [2]: 158. Beliau menyebut bahwa ibadah seperti tawaf, wuquf, atau sa’i yang disinggung pada ayat tersebut merupakan “tanda” atau syi’ar dalam rangka beribadah kepada Allah Swt. Sehingga ibadah-ibadah tersebut dianggap sebagai simbol dalam mengagungkan Allah Swt.
Dari penjelasan ayat tersebut dapat dilihat bahwa bentuk peribadatan kepada Allah Swt. termasuk ibadah haji yang dilakukan sesuai dengan syariat yang ditetapkan merupakan bentuk syi’ar terhadap agama Allah Swt. Dengan melaksanakan haji sesuai rukun dan syaratnya maka akan muncul keagungan dan kebesaran dari agama ini. Sebab, rukun-rukun tersebut tidak dapat diubah dan itu menunjukkan betapa Agung-Nya Sang Maha Pembuat Syariat. Syi’ar seperti ini disebut dalam Tafsir Al-Azhar (1/ hal. 292) sebagai ta’abbudi atau tanda peribadatan.
Baca juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran
Implementasi Syiar Islam
Menurut Hasanudin Abdurakhman dalam bukunya Islam untuk Indonesia: Tantangan dan Harapan, ketika kata “syiar” sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, yakni “siar” maka ia dapat diartikan dengan “menyiarkan”. Namun menurutnya yang paling penting dari kata “syiar” adalah menebar kebaikan, sehingga muncul kemuliaan dan keagungan sebagai akibat dari upaya menyiarkan tersebut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah menyiarkan dapat bermakna memberitahukan kepada umum atau mengumumkan. Itulah mengapa suara azan sebagai bentuk pemberitahuan waktu salat disebut sebagai syiar Islam.
Ibrahim AR dalam tulisannya yang dimuat di Tuntutan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala (hal. 41), menyatakan perlunya pengeras suara bagi seorang muazin. Hal ini dilakukan mengingat sibuknya umat dengan pekerjaannya masing-masing. Sehingga banyak dari mereka tidak mendengar suara azan bahkan lupa terhadap waktu salat. Allah Swt. berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S. Aljumuah [62]: 9).
Dalam tulisannya yang diterbitkan oleh Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama (hal. 43) ini, Ibrahim AR menambahkan bahwa perintah seruan dalam ayat tersebut tidak dijelaskan secara rinci, baik mengenai jumlah panggilannya, dengan apa yang memanggilnya dan kapan waktu memanggilnya.
Namun, berkat petunjuk dari Nabi Muhammad saw. maka disimpulkanlah bahwa azan merupakan panggilan yang tepat untuk menandakan tibanya waktu salat. Sehingga penyiaran waktu salat dilakukan melalui azan sebagai tanda agungnya perintah Allah Swt. tersebut. Itulah mengapa sampai sekarang suara azan terus dikumandangkan bahkan dengan pengeras suara.
Penutup
Dari pembahasan di atas ada dua hal yang menjadi kesimpulan di tengah kontroversinya masyarakat, baik yang pro maupun yang kontra terhadap aturan penertiban oleh Menteri Agama RI terbaru tersebut.
Pertama, syiar Islam merupakan sebuah simbol atau tanda untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya agama Allah Swt. Tanda tersebut tidak hanya dilakukan melalui suara azan saja, tetapi dapat dilakukan dengan amal-amal kebaikan lainnya. Sebab, esensi dari syiar tersebut adalah pengagungan, yang mana ketika tanda tersebut hadir, maka muncullah keagungan dari agama Allah Swt.
Bahkan, menjadi muslim yang taat dan bisa menghormati perbedaan pun sudah dianggap sebagai syiar terhadap agama Allah Swt. (Hasanudin Abdurakhman dalam Islam untuk Indonesia). Dari perbuatan tersebut maka muncullah kebaikan dan kemuliaan yang dihasilkan oleh agama Islam.
Kedua, jika implementasi syiar Islam dilakukan melalui pengeras suara di masjid atau di musala, maka hendaknya dalam pelaksanaannya jangan sampai mengganggu ketertiban dan kenyamanan orang lain. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga kemuliaan dan keagungan agama Allah Swt. tersebut sebagai esensi dari syiar Islam itu sendiri. Bagaimana disebut syiar Islam jika ia menimbulkan perpecahan di antara umat beragama?
Mari berkaca pada toleransi yang dilakukan Nabi Muhammad saw. yang termaktub dalam Sirah Al-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam. Diceritakan bahwa beliau pernah mengizinkan rombongan Kristen Najran untuk beribadah di masjid ketika mereka kesulitan mencari gereja. Oleh karena itu, jangan sampai masjid yang dulu digunakan Nabi Muhammad saw. sebagai sarana mempererat persatuan di kalangan manusia dikambinghitamkan menjadi biang kerok segalanya.
Semoga tulisan ini dapat menjadi referensi dan renungan bagi kita semua agar umat Islam mampu mensyiarkan agama Islam dengan sebaik-baiknya tanpa harus mengorbankan perintah persatuan yang sudah disyariatkan oleh Allah Swt. dalam Alquran. Wallahu a’lam.
Baca juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran