BerandaUlumul QuranPengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Pengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Al-Quran Menurut Para Ulama

Nasakh dalam pengertian bahasa diambil dari wazan na-sa-kha yang berarti menyalin tulisan dari sebuah tulisan kata-perkata (iktitabuka kitaban ‘an kitabin harfan bi harfin). Apabila dihimpun dari beberapa literatur kitab ‘ulum al-Quran, maka sedikitnya definisi nasakh menurut kebahasaan adalah sebagai berikut:

  1. Berarti menghilangkan (al-izalah) sebagaimana contoh dalam Q.S al-Hajj: 52:

…فينسخ الله ما يلقي الشيطان ثم يحكم الله ءايته….

…Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya…

  1. Bermakna memindahkan (al-tahwil) seperti contoh kalimat:

تناسخ المواريث اي تحويل الميراث من واحد الى واحد

  1. Memiliki arti kata menyalin (al-naqal) seperti dalam contoh:

نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه حاكيا للفظه و خطه

Dari hasil penelusuaran penulis, dalam al-Quran kata nasakh beserta derivasinya digunakan sebanyak empat kali yaitu pertama dalam Q.S al-Baqarah [02]: 106.

ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير

“Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Baca Juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Kedua dalam Q.S al-A’raf [07]: 154 yang berbunyi:

    و لما سكت عن موسى الغضب أخذا الألواح و في نسختها هدى و رحمة للذين هم لربهم يرهبون

“Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu, di dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.”

Ketiga dalam Q.S al-Hajj [22]: 52 sebagaimana tertera di bagian arti kata secara bahasa yang bermakna menghilangkan. Terakhir yang keempat dalam Q.S al-Jatsiah [45]: 29 yaitu:

هذا كتابنا ينطق عليكم بالحق إنا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون

“(Allah berfirman), “Inilah kitab Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”

Adapun nasakh dalam pengertian istilah ilmu al-Quran sebagaimana diungkapkan Manna’ Qaththan dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Quran adalah mengganti hukum syari’at (al-hukm al-syar’i) dengan dalil hukum syariat (bi khitab al-syar’i). Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan lagi bahwa nasakh mengecualikan penggantian hukum dengan selain khitab syar’i seperti qiyas dan ijma’.

Kemudian masih dari pengertian istilah dapat diketahui bahwa nasakh hanya ada di seputar hukum, tidak dengan masalah akidah. Lebih spesifik al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan menilai bahwa nasakh dikhususkan untuk masalah hukum yang bersifat cabang (furu’ al-hukm) tidak dengan yang pokok (usul al-hukm).

Masih dalam konteks definisi nasakh bahwa dari istilah nasakh yang berupa masdar, dapat diturunkan menjadi dua bagian. Pertama adalah nasikh yakni hukum yang mengganti. Kedua yaitu mansukh atau hukum yang diganti. Dikatakan oleh Manna’ Qattan bahwa nasikh atau yang mengganti hukum adalah hak prerogatif Allah swt, artinya hanya Allah yang berhak untuk mengganti hukum.

Sedangkan untuk mansukh, ada tiga hal syarat yang harus dipenuhi. Pertama, hukumnya jelas-jelas merupakan hukum syari’at. Kedua, dalil hukum pengganti tertera dalam nash syar’i. Ketiga, redaksi kalimat yang diganti tidak memiliki spesifikasi waktu.  Untuk syarat yang ketiga, dapat diambil contoh dalam Q.S al-Baqarah [2]: 109:

… فاعفوا واصفحوا حتى يأتي الله بأمره

“… Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya.”

Baca Juga: Asal Usul Kata al-Qur’an dan Definisinya Menurut Para Ulama

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa pada masa awal Nabi di Madinah, dari kalangan Yahudi terutama tokoh yang bernama Ka’ab al-Asyraf merasa iri dan menginginkan orang-orang Madinah yang telah masuk Islam untuk murtad. Allah memerintahkan Nabi agar memaafkan dan membiarkan mereka hingga waktu yang ditentukan.

Dari definisi, syarat dan ketentuan nasakh di atas, timbul pertanyaan, kemudian bagaimana cara yang paling mendasar untuk mengetahui nasikh dan mansukh? Ada tiga sumber utama untuk mengetahuinya. Pertama adalah riwayat Nabi yang jelas-jelas menerangkan tentang ayat nasakh. Kedua konsensus para sahabat bahwa ayat tertentu merupakan ayat nasakh. Ketiga dengan mengetahui waktu turunnya ayat (tartib nuzul). Wallahu A’lam.

Wildan Imaduddin Muhammad
Wildan Imaduddin Muhammad
Dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...