Sekitar bulan September tahun 2022, seorang teman pernah bertanya kepada penulis tentang bagaimana hukum membaca Alquran dengan isyarat tangan. Menurutnya, aktivitas pembacaan Alquran bagi komunitas Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara (PDSRW) atau tuli cukup menimbulkan polemik.
Polemik pembacaan Alquran bagi komunitas tuli muncul seiring dengan lekatnya definisi ‘membaca’ terhadap suara yang berkaitan dengan sensorik rungu (pendengaran). Hal ini jauh berbeda dengan aktivitas ‘membaca’ komunitas tuli yang condong kepada sensorik netra (mata atau penglihatan).
Seorang teman tadi lantas mengusulkan adanya pendefinisian ulang terhadap aktivitas ‘membaca’ sehingga dapat mengakomodasi pembacaan komunitas tuli. Pertanyaannya kemudian, perlukah hal itu dilakukan?
Baca Juga: Belajar Membaca Alquran; Dulu dan Sekarang
Adakah yang Sudah Membahas?
Hasil pencarian singkat yang penulis lakukan di beberapa portal studi Alquran, penulis belum mendapati tulisan yang secara khusus membahas bahasa isyarat sebagai media pembacaan Alquran, paling tidak judul yang mendekati. Tulisan yang penulis dapati justru dalam portal kajian fikih yang sedikit menyinggung masalah bahasa isyarat dan pembacaan Alquran.
Di antaranya tulisan Moh. Juriyanto berjudul Hukum Menerjemahkan Al-Qur’an dengan Bahasa Isyarat. Sebagaimana judulnya, tulisan ini membahas hukum penerjemahan Alquran dengan bahasa isyarat. Selain itu, ada tulisan yang meskipun tidak menyinggung masalah Alquran, tetapi menyebut aspek bahasa isyarat di dalamnya, yakni tulisan berjudul Hukum Menerjemahkan Khutbah Jumat dengan Bahasa Isyarat dan Bolehkah Orang Bisu Menggunakan Bahasa Isyarat dalam Salat?
Minimnya pembicaraan yang berkisar pada Alquran dan bahasa isyarat, tunarungu, atau topik sejenis agaknya menunjukkan rendahnya minat para pengkaji Alquran ‘populer’. Setidaknya demikian yang penulis dapatkan dari portal-portal online populer, bukan artikel ilmiah berbasis jurnal. Hal ini sekaligus menunjukkan peluang yang cukup besar bagi mereka untuk ‘berbicara’ pada topik-topik tersebut.
Baca Juga: Hubungan dan Perbedaan antara Qiraat, Talaqqi, dan Tilawah
Apa Itu Membaca?
Dalam bahasa Arab, ada dua diksi yang cukup populer digunakan sebagai terjemah dari ‘membaca’. Dua diksi tersebut adalah qara’a-qira’ah dan talā-tilāwah. Di beberapa kamus lughah, diksi qara’a-qirā’ah memiliki arti al-jam‘ dan al-dlamm yang berarti mengumpulkan. Syaikh Abu al-Fadl Jamāl al-Dīn Muhammad bin Mukrim ibn Mandhūr dalam Lisān al-‘Arab menyebutkan, “Segala sesuatu yang kamu kumpulkan maka kamu qara’a-qira’ah”.
Sementara diksi talā memiliki arti tabi‘, yakni mengikuti hingga dapat menyusul. Talā dengan bentuk nomina tilāwah -dengan dibaca kasrah huruf ta’-nya- memiliki arti yang sama dengan qara’a-qira’ah. Ia juga dapat berarti ‘umum al-kalam atau menyebarluaskan suatu pembicaraan.
Perbedaan makna dua diksi tersebut terlihat misalnya dalam kajian Living Qur’an. Qara’a-qirā’ah lebih menekankan pada aspek pemahaman atau understanding. Hal ini disebabkan kandungan arti tadabbur di dalamnya. Sementara talā-tilāwah lebih kepada pengamalan atau action karena kandungan arti tabi‘ atau ittiba‘ dalam arti harfiahnya. Demikian setidaknya penjelasan Abdul Mustaqim menukil dari Al-Rāghib al-Ashfihānī dalam Mu‘jam Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān.
Dari dua diksi yang ada tersebut, nama Alquran (al-qur’an) diambil dari bentuk qara’a-qira’ah. Hal ini merujuk pada pendapat paling masyhur mengenai asal penamaan Alquran. Pendapat lainnya menyebutkan bahwa Alquran merupakan nama yang memang dari awal peletakannya (‘alam murtajal) diperuntukkan bagi Alquran; atau menyebutkan bahwa nama Alquran berasal dari diksi qarn atau qarana; dan lain sebagainya.
Karena terbentuk dari akar kata qara’a-qira’ah, Alquran secara literal dapat diartikan sebagai sesuatu yang dikumpulkan, mengikuti definisi model tasmiyah al-maf‘ul bi al-mashdar. Dalam konteks Alquran, sesuatu yang dikumpulkan tersebut adalah huruf dan kata.
Penggunaan diksi qara’a-qira’ah sebagai akar kata nama ini juga menjadi alasan mengapa pencarian terhadap arti kata qara’a-qira’ah dalam beberapa kamus lughah Arab justru mendapati definisi Alquran dituliskan di bagian awal, misalnya pada Lisān al-‘Arab atau Al-Qamūs al-Muhīth karya Al-Fairūzabadī.
Jika melihat definisi literal kata qara’-qira’ah, maka aktivitas ‘membaca’ pada dasarnya tidak terkhusus pada sensorik rungu saja, melainkan pada bentuk sensorik apapun selama itu dapat ‘mengumpulkan’ huruf dan kata yang dibaca, sehingga bahasa isyarat mestinya dapat terakomodasi dalam ragam media pembacaan Alquran.
Lantas, mengapa selama ini aktivitas pembacaan (qira’ah) Alquran selalu identik dengan sensorik rungu?
Baca Juga: Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Al-Qur’an: Riwayat, Ilmu Qira’ah dan Tajwid
Tajwid al-Huruf
Dalam salah satu hadis Nabi yang dikutip oleh al-Suyūṭī dalam al-Jāmi‘ al-Ṣaghīr, yang ia nisbatkan kepada al-Ṭabrānī dalam Al-Awsaṭ dan Al-Baihaqī dalam Syu‘ab al-Īmān, disebutkan,
اقْرَأُوْا القُرْآنَ بِلُحُوْنِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا، وَإِيَّاكُمْ وَلُحُوْنَ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ وَأَهْلِ الفِسْقِ، فَإِنَّهُ سَيَجِئُ بَعْدِيْ قَوْمٌ يُرَجِّعُوْنَ بِالْقُرْآنِ تَرْجِيْعَ الْغِنَاءِ وَالرُّهْبَانِيَّةِ، لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ مَفْتُوْنَةٌ قُلُوْبُهُمْ وَقُلُوْبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنَهُمْ.
“Bacalah Alquran dengan logat (lahn) Arab dan suara-suaranya. Takutlah kalian akan logat dua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang fasiq. Sesungguhnya sepeninggalku nanti akan ada kaum yang mendendangkan bacaan Alquran sebagaimana dendangan para rahib dan para peratap. Tidaklah bacaan mereka itu melewati kerongkongan mereka. Hati mereka terfitnah, demikian juga hati orang-orang mengagumi perilaku mereka.”
Terlepas dari sahih tidaknya hadis tersebut, ada setidaknya tiga diksi yang mengidentikkan aktivitas ‘membaca’ dengan sensorik rungu, yakni lahn, shaut, dan tarji‘. Cakupan makna dari tiga diksi tersebut berkisar di antara dialek, cara pengucapan kata, bunyi yang keluar dari mulut, bunyi bahasa, dendangan dan sejenisnya. Hal ini berarti bahwa bahkan di era awal penurunannya, Alquran telah diidentikkan dengan sensorik rungu.
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pada era berikutnya, pembahasan mengenai ‘membaca’ Alquran selalu identik dengan sensorik yang sama. Dalam beberapa literatur ilmu tajwid, maqalah dari ‘Ali r.a berikut ini menjadi pondasi awal selain hadis Nabi di atas. Maqalah ini pula yang kemudian diejawantahkan menjadi beberapa kajian turunan dalam ilmu tajwid dan ilmu qiraat.
هُوَ تَجْوِيْدُ الْحُرُوْفِ وَمَعْرِفَةُ الْوُقُوْفِ
“Yakni tajwid (memperindah) huruf-hurufnya dan mengetahui waqf”
Lalu, bagaimana proses identifikasi tersebut terjadi dan bagaimana persinggungannya dengan bahasa isyarat? Wallahu a‘lam bi al-shawab.