BerandaKhazanah Al-QuranPenggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian II)

Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian II)

Apa Itu Bahasa?

Mahmud Fahmi Hijaziy dalam Al-Lughah al-‘Arabiyyah ‘abr al-Qurun menjelaskan bahwa bahasa merupakan sistem rumus bunyi. Penjelasan tersebut diilhami dari definisi yang diberikan Ibn Jinniy (w. 392 H.) yang mengartikan bahasa sebagai sekumpulan suara (ashwat) yang digunakan suatu komunitas tertentu dalam meredaksikan kehendaknya.

Pengertian bahasa yang secara spesifik menyebut sekumpulan suara ini, menurut Hijaziy dalam Madkhal ila ‘Ilm al-Lughah, merupakan definisi asal yang menjadi kontra-narasi atas mereka yang menganggap bahasa sebagai sesuatu yang berasal dari tulisan (kitabah), dan bukan suara. Oleh karenanya, inti dari suatu bahasa bukan terletak pada suara atau tulisan sebagai medianya.

Lebih lanjut, Hijaziy menjelaskan bahwa inti dari suatu bahasa adalah sekumpulan simbol atau rumus (ramz). Artinya bahwa bahasa merupakan kumpulan dari sistem simbol atau rumus kompleks yang saling menyempurnakan (nidzam mutakamil). Sistem simbol kompleks inilah yang membedakan bahasa manusia dengan simbol atau rumus lain.

Baca Juga: Penggunaan Bahasa Isyarat dalam Membaca Alquran (Bagian I)

Apakah Isyarat Bagian dari Bahasa?

Dalam konteks penjelasan Hijaziy di atas, bahasa mestinya turut memasukkan isyarat sebagai bagian darinya. Hal ini karena, pertama, bahasa tidak khusus pada suara (lisan) atau sensorik rungu, dan kedua, bahwa isyarat juga memiliki kompleksitas sistem simbol atau rumus tersendiri seperti halnya bahasa-bahasa lisan lainnya.

Di beberapa artikel yang penulis baca, isyarat sebagai bahasa (selanjutnya disebut bahasa isyarat) juga memiliki satuan-satuan bahasa layaknya bahasa lisan, dari yang kecil hingga yang besar. Bahasa isyarat juga memiliki sistem fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya tersendiri yang membedakannya dengan sistem bahasa lisan.

Perbedaan mendasar antara bahasa isyarat dengan bahasa lisan terletak pada sarana produksi atau modal dan proses persepsual. Bahasa isyarat diproduksi dengan gerakan tangan atau gestur dan dipersepsi melalui sensorik netra (visual). Sedangkan bahasa lisan diproduksi oleh melalui mulut (oral) dan diterima oleh alat pendengaran (auditoris).

Baca Juga: Ketika Allah Menerjemahkan Bahasa Rasul-Nya (Bagian I)

Bahasa Isyarat dalam Kajian Islam

Dalam kajian Islam, pembahasan mengenai bahasa isyarat lebih dulu banyak dibicarakan oleh fikih. Hal ini mungkin saja karena masalah hukum yang menjadi kebutuhan komunitas tuli adalah bagian dari fikih yang membidanginya. Misalnya, Izzuddin bin ‘Abd al-Salam dalam karyanya berjudul Qawa‘id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam menyebutkan,

وَأَمَّا إشَارَةُ الْأَخْرَسِ الْمُفْهِمَةِ فَهِيَ كَصَرِيحِ الْمَقَالِ إنْ فَهِمَهَا جَمِيعُ النَّاسِ

“Isyaratnya orang yang disabilitas wicara dengan cara yang bisa dipahami oleh masyarakat hukumnya sama seperti perkataan.”

Meski demikian, isyarat mengenai keberadaan bahasa isyarat telah lebih dahulu diberikan Allah dalam Alquran. Surah Ali ‘Imran [3] ayat 41 menyebutkan,

قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ

“Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda (kehamilan istriku).” Allah berfirman, “Tandanya bagimu adalah engkau tidak (dapat) berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya dan bertasbihlah pada waktu petang dan pagi hari.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 41)

Namun menarik untuk diperhatikan bahwa makalah Izzuddin sebelumnya terkait isyarat tuna rungu, ia masukkan dalam fashl fi tanzil dalalah al-‘adat wa qara’in al-ahwal manzilah sharih al-aqwal (pembahasan kebiasaan dan petunjuk atas situasi dan kondisi tertentu yang diposisikan sebagaimana ucapan yang eksplisit). Hal ini berarti bahwa isyarat bukan menjadi pokok pembahasan tersendiri (far‘) yang dalam penetapan hukumnya harus disamakan dengan hukum pembahasan lain (ashl).

Dengan mengaitkan hadis Nabi saw. dan makalah yang telah disebutkan pada bagian satu sebelumnya, seolah dapat dipahami bahwa bahasa isyarat di era awal perkembangan Islam belum mendapatkan tempat khusus dalam ruang pembicaraan atau pengkajian. Bahasa isyarat menjadi media sekunder bagi bahasa lisan seperti halnya tulisan atau kitabah.

Hal ini agaknya dapat sedikit memberi penjelasan mengapa perhatian para pengkaji Islam di berbagai bidang lebih terfokus pada bahasa lisan. Dalam konteks ilmu Alquran, hal tersebut misalnya terlihat dari cabang-cabang ilmu Alquran yang mayoritasnya berkaitan dengan bahasa lisan, seperti ilmu qiraat tentang dialek dan pengucapan lafaz, dan ilmu tajwid tentang perilaku bunyi dan hukum-hukum huruf.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika di era modern saat ini, ketika interaksi menjadi sangat kompleks, penggunaan bahasa isyarat dalam pembacaan Alquran memunculkan polemiknya tersendiri. Dan polemik tersebut mau tak mau harus diselesaikan sekaligus dicarikan solusi hingga tak ada satu pihak pun yang merasa diabaikan.

Jika demikian, adakah solusi penggunaan bahasa isyarat sebagai media pembacaan Alquran telah ditemukan dan sejauh mana implementasinya? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...