Penggunaan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat menurut Manna al-Qattan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran telah menjadi problematika tersendiri. Bahkan, persoalan ini tidak jarang menimbulkan perpecahan, atau pertarungan teologis dalam masyarakat Muslim. Nurcholish Madjid dalam Masalah Takwil Sebagai Metodologi Penafsiran Al-Quran setidaknya mencatat terkait problematika takwil sebagai berikut,
Interpretasi metaforis atau takwil adalah pemahaman atas fakta-fakta tekstual yang bersumber dari teks ayat Al-Quran dan As-Sunnah sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah teks tersebut melainkan “makna dalam” (aspek esoteris) yang dikandungnya. Metode yang demikian ini sejatinya telah muncul sejak awal masa Islam. Karena itu, persoalan interpretasi metaforis ini mempunyai “saham” cukup besar dalam memantik perbedaan pendapat, termasuk di dalamnya mengilhami perpecahan atau perseteruan di kalangan kaum muslimin.
Kendati demikian, namun penggunaan takwil tetap dipandang sebagai instrumen penting dalam melakukan pembacaan terhadap teks. Dengan menggunakan takwil, kata Nasr Hamid Abu Zaid, maka akan memungkinkan untuk menemukan makna-makna yang “baru” dalam teks. Dalam bukunya, Tektualitas Al-Quran, Zaid menyatakan,
“Berijtihad dalam melakukan takwil atas teks tidak dibedakan antara teks di bidang fiqh dan hukum dengan teks di bidang lainnya, sebab ijtihad didasarkan pada gerak “nalar” untuk menembus ke dalam teks. Jika perbedaan takwil dalam bidang fiqh termasuk sebagai “rahmat” dan untuk memberikan keringanan bagi umat, maka perbedaan ta’wil dalam bidang lain dari teks harus dipandang dari sudut pandang yang sama, khususnya apabila mu’awwil berpegang pada perangkat-perangkat analisis teks, dan tidak pada hawa nafsunya atau pendapat pribadinya.
Baca juga: Tafsir, Takwil dan Terjemah
Mendekati teks dan berusaha mengungkapkan misteri-misterinya dimulai dengan pembacaan tingkat pertama, kemudian pembacaan dalam tingkatan analitis. Melalui pembacaan kedua ini akan terungkap kata-kata kunci” teks dan maknamakna sentralnya, dan melalui makna-makna sentral itu mu’awwil dapat mengungkapkan beberapa misteri teks. Teks selalu terbuka terhadap setiap pembacaan baru.”
Pendapat Abu Zaid tersebut penting untuk dicatat dan digarisbawahi. Bahwa persoalan takwil dipandang sebagai ikhtiar dalam mengeksplorasi makna teks, iya benar. Di sisi lain ia juga harus dipahami bahwa teks selalu “menawarkan keterbukaan” terhadap setiap pembacaan baru.
Namun Abu Zaid memberi penekanan, bahwa takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat haruslah dipahami berdasarkan ayat-ayat muhkamat. Dalam hal ini, Zaid memosisikan ayat-ayat muhkamat sebagai embrio teks dan berfungsi sebagai key (kunci) untuk melakukan penjelasan dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat (Moch. Nur Ichwan, “al-Qur’an sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid)” dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed). Studi al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir).
Baca juga: Klasifikasi Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihat, Begini Penjelasannya
Adapun penafsir mutaakhirin, Subhi al-Shalih dalam Mabahits-nya misalnya, cenderung mengaplikasikan takwil terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat. Di lain itu, Muhammad Asa juga memaknai mutasyabihat sebagai ayat-ayat yang menggunakan redaksi majazi (metaforis) dan bermakna simbolis.
Oleh karena itu, pemahaman metaforis (takwil) harus digunakan agar tidak terjadi silang-sengkarut atau ambivalensi dalam menjiwai ajaran Islam terutama sumber primer Islam, Al-Quran dan al-Hadits (Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat).
Dengan demikian, terlepas dari perdebatan penggunaan takwil antara satu ulama dengan yang lain, takwil (khususnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat) tetaplah merupakan sebuah instrumen penting yang akan sangat membantu dalam memahami teks ayat Al-Quran. Di samping itu, dengan mengeksplorasi kandungan teks Al-Quran dengan takwil, akan lebih mendorong dalam memanusiakan Al-Quran di tengah kehidupann modern dewasa ini dan merespon problemtika yang ada sebagaimana Al-Quran diturunkan dengan membawa visi, “shalih li kulli zaman wa makan”. Wallahu A’lam