Argumentasi ada di sekitar kita. Ia berjalan dalam keseharian; dari obrolan warung kopi hingga di dalam persidangan, dari iklan di televisi hingga sidang disertasi, dari fikih hingga teologi. Dalam IPTEK, perannya juga sentral. Alquran pun tak luput untuk menyajikan alasan argumentatif saat menjalaskan banyak perkara, termasuk perihal kebesaran-Nya.
Setidaknya, argumentasi berporos pada dua hal; alasan dan bukti.
Allah SWT berfirman:
وَقَالُوا۟ لَن يَدْخُلَ ٱلْجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوْ نَصَٰرَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا۟ بُرْهَٰنَكُمْ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
“Dan mereka (ahli kitab) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani. Demikian itu angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” [QS. Albaqarah: 111]
Dalam uraian Tafsir al-Wajiz (jilid1, hlm, 51) yang disusun oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (2016) mengenai ayat di atas, disebutkan:
“Tunjukkan bukti kebenaranmu dengan alasan-alasan yang meyakinkan, jika kamu orang yang benar dalam anggapanmu itu. Ketahuilah, kamu tidak akan pernah dapat menunjukkan bukti itu!”
Penyebutan dua kata kunci di atas; alasan dan bukti, juga muncul dalam uraian Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di dalam tafsirnya. Dikatakan,
وهذا مجرد أماني غير مقبولة إلا بحجة وبرهان
“Ini hanyalah angan-angan yang tidak diterima, kecuali dengan hujjah dan burhan.”
Ungkapan al-Sa’di tersebut mengisyaratkan bahwa siapa saja yang mengajukan klaim, maka hendaknya ia memaparkan alasan dan bukti.
Tampaknya, kita sepakat bahwa argumentasi merupakan salah satu landasan aktivitas intelektual. Kemampuan berargumentasi merupakan salah satu keahlian dasar dalam meraih kesuksesan baik itu dalam keseharian, dalam dunia akademisi, maupun dalam karir profesional (Abid el Majidi, 2021). Argumentasi juga menjadi aspek esensial dari aktivitas intelektual para santri, mahasiswa, pelajar, dan pendidik. Kemampuan ini merupakan di antara cara untuk menjawab tantangan zaman.
Baca juga: Argumentasi Kekuasaan dan KeEsaan Allah Swt: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 164
Bagaimanapun, argumentasi hanyalah alat. Tentu, langkah pertama sebelum menggunakannya adalah mempelajari bagaimana cara mengoptimalkan alat tersebut. Kita akan ambil satu contoh:
Seorang siswa bisa jadi datang mengadu kepada gurunya dan berkata bahwa seorang temannya telah berbuat buruk. Sang guru bertanya apa alasan dari klaimnya tersebut. Siswa tersebut mengatakan temannya itu telah mencuri pensilnya. Alasan memang salah satu elemen argumentasi. Namun itu belum final.
Elemen lainnya adalah bukti. Sang guru tadi akan menagih bukti dari klaim siswanya tersebut. Ternyata, dia tidak dapat memberikan bukti jelas melainkan hanya dugaan. Setelah verifikasi, ternyata pensil tersebut terselip di antara tumpukan buku. Berdasarkan penelusuran terhadap alasan dan bukti, sang guru tadi menimbang kualitas sebuah klaim. Barulah kemudian dia mengambil keputusan.
Kendati demikian, berargumentasi harus memperhatikan adab. Dahulu, Iblis menolak sujud kepada Adam dengan alasan aku lebih baik darinya (ana khairun minhu). Bukti yang Iblis bawakan pun tidaklah valid; Engkau ciptakan saya dari api sedangkan Engkau dia Engkau ciptakan dari tanah. (kholaqtani min nar wa kholaqtahu min ṭhin). Lagipula, Allah tidak ditanya mengenai perbuatan-Nya, tetapi hamba-hamba-Nya-lah yang akan ditanya (la yus-alu ‘amma yaf ‘alu, wa hum yus-alun).
Jadi, meski critical thinking memang bertujuan mengkritik, mempertanyakan, memverifikasi, menimbang, lalu memutuskan, ada ranah bagi akal manusia untuk tidak berperan di dalamnya. Bukankah Allah berkata kepada Malaikat: inni a’lamu ma la ta’lamun (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui). Jadi, menundukkan akal jika telah sampai pada hal-hal gaib merupakan kesimpulan logis dan ilmiah.
Sehingga, munculnya semisal gugatan yang mendorong dihilangkannya sejumlah ayat-ayat Alquran karena diklaim sebagai pendukung ekstremisme, sebagaimana terjadi beberapa waktu silam, tidak dapat dibenarkan dengan argumentasi apapun. Sepelik apapun argumen yang disajikan justru kontraproduktif terhadap sila pertama dan kedua Pancasila; berketuhanan dan beradab.
Bukan saja tidak logis dan tidak persuasif, klaim semisal itu dapat mencederai toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Oleh sebab itu, mengasah kemampuan berargumentasi dengan baik membantu seseorang untuk bersikap proporsional (inshaf), toleran, dan peka terhadap sekitar.
Karena merupakan pijakan keilmuan, kemampuan berargumentasi menjadi piranti krusial bagi pembelajar di seluruh disiplin ilmu. Konsekuensinya, para pendidik perlu untuk membekali retorikanya dengan kemampuan berargumentasi dan memupuknya kepada peserta didik. Sebab, argumentatif berarti persuasif. Kemampuan ini akan terus relevan dalam kehidupannya; saat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, saat berada di lingkungan kerja, dan di lingkungan sosialnya.
Baca juga: Tafsir Tarbawi: Keharusan Berpikir Kritis Bagi Pendidik dan Peserta Didik
Kemampuan berargumentasi dengan benar dan beradab tidak saja turut mendorong para santri, pelajar, dan para pendidik untuk lebih persuasif dan logis, ia dapat membantu seseorang untuk merespons perbedaan dengan jiwa lapang. Sebab, terbiasa berpikir logis memudahkan seseorang menerima kebenaran dari manapun datangnya, pun terhadap kebatilan. Dia fokus pada apa yang diucapkan ketimbang siapa yang mengucapkan.
Selain itu, mengasah kemampuan berargumentasi dapat melatih kemampuan mengurai dan menyelesaikan masalah secara bertahap. Karena itu, menulis esai argumentatif merupakan di antara jalan bagi peserta didik untuk berpikir sistematis dan bertanggung jawab. Sebab, tidaklah dia datang dengan sebuah klaim, melainkan ada alasan dan bukti yang dipaparkannya.
Semua itu adalah upaya sebelum sampai pada kesimpulan. Sehingga seseorang turut membentuk pribadi yang bertanggung jawab, sebab, dia akan terbiasa untuk menimbang terlebih dahulu apa yang hendak diucapkan. Dalam banyak aspek, orang yang berpikir argumentatif membersamai sabda Nabi SAW: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia berkata baik atau diam. (HR Muslim no 222).
Tidak hanya aktivitas kognitif, berpikir argumentatif terkait erat dengan psikis. Sebabnya, keahlian berargumentasi dapat mendorong siswa lebih mudah dan berani mengungkapkan gagasannya karena didasari bukti-bukti yang mendukung (Fatmawati, Harlita, dan Ramli, 2018).
Teknologi dapat menjauhkan manusia dari dirinya. Mawar dan duri dunia dapat tersaji secara instan melalui gawai, kapan saja di mana saja. Dengan mengasah kemampuan berargumentasi ini, seseorang dapat menambah bekal untuk mengikuti perkembangan dunia dengan proporsional.
Ketika berpikir argumentatif diajarkan kepada peserta didik misalnya, keahlian ini membantu mereka untuk menepis pemikiran-pemikiran merusak seperti ateisme, LGBT, dan ekstremisme yang menyusup. Sebabnya, peserta didik terlatih untuk berpikir kritis dari upaya untuk membandingkan, menelaah, atau bertanya kepada yang lebih mengetahui seluk beluk suatu perkara.
Demikian adanya, sebab, informasi belum tentu ilmu, sebagaimana fakta tersaji belum tentu mewakili realitas. Hal itu menjadi ilmu ketika fakta dan informasi benar dan mewakili realitas. Untuk mengolah itu semua, peserta didik tidak dapat mempelajarinya hanya dari mesin pencarian dunia maya.
Ini salah satu bukti bahwa Alquran akan selalu relevan dalam menjawab tantangan zaman, bukan saja bagi masyarakat di Jazirah Arab abad 7 M, namun dalam masa-masa yang jauh ke depan hingga sangkakala memecah keheningan. Wallahu a’lam.