Pentingnya Mencatat Sejarah Ulumul Quran Pesantren

Pentingnya mencatat sejarah ulumul quran pesantren
Pentingnya mencatat sejarah ulumul quran pesantren

Salah satu cara mengetahui peradaban suatu bangsa adalah melihat bagaimana dokumentasi sejarahnya. Oleh karena itu, mencatat sejarah lalu mengarsipkannya atau mendokumentasikannya adalah hal yang sangat penting. Termasuk juga mencatat sejarah Ulumul Quran pesantren.

Setidaknya ada empat alasan mencatat sejarah Ulumul Quran pesantren itu penting.

Pertama, belum ada catatan sejarah yang menyinggung ini. Salah satu pencatat data pembelajaran Ulumul Quran pesantren adalah Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Dia menelusuri dan membuat daftar beberapa kitab tafsir, ilmu tafsir (Ulumul Quran), fiqih dan ushul fiqih yang digunakan di beberapa pesantren Indonesia pada tahun 1990-an.

Tercatat ada 8 kitab tafsir dan 2 kitab Ulumul Quran yang digunakan. Sementara disiplin fiqih dan mencapai 25 kitab dan ushul fiqih tercatat 7 kitab. Khusus untuk disiplin ulûm al-Qur’ân, 2 karya yang digunakan adalah karya Jalaluddin As-Suyuthî yaitu Itmam ad-Dirayah li Qurra’ an-Niqayah dan al-Itqan fî ulûm al-Qur’an saja.

Baca Juga: Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi

Kedua, tidak adanya katalog khusus. Pencatatan sejarah Ulumul Quran pesantren masih menjadi problem para pengkaji ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Bagaimana tidak, para sejarawan tafsir hingga saat ini sudah menyusun banyak karya-karya yang berkaitan dengan Ulumul Quran.

Salah satu buku yang mencatat daftar karya-karya ulama pesantren secara umum adalah Ats-Tsabat Al-Indûnisiyyu (2020) yang ditulis oleh Nanal ‘Ainal Fauzi. Dia menulis katalog ini berdasarkan nama-nama tokoh dari tahun 1203 H atau 1501 M. Buku ini ditulis dengan bahasa Arab yang menghimpun 90 nama tokoh ulama dengan 1000 daftar nama kitab. Oleh karena memang ditulis berdasarkan nama tokoh dan bukan spesifikasi keilmuan, maka bagi pengkaji Ulumul Quran perlu membacanya satu persatu.

Misalnya, KH. Sholeh Darat Semarang (w. 1321 H) menulis kitab Ulumul Quran yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz. Kemudian Sayyid Muhsin bin Abdur Rahman Al-Musawa al-Falimbani (w. 1354 H) yang menulis Nahju at-Taisir Syarah Manzhumah At-Tafsir Az-Zamzami. Selanjutnya, Syekh Mahfuzh bin Abdillah bin Abdil Mannan At-Turmusi (w. 1334 H) yang menulis Fathu Al-Khabir bi Syarhi Miftahu At-Tafsir.

Upaya yang dilakukan oleh Nanal tentu perlu diapresiasi. Dia mengumpulkan daftar nama ulama Indonesia beserta judul-judul kitabnya dalam satu buku. Meskipun begitu, informasi yang disajikan tetap harus dilengkapi oleh buku lain, karena data yang ditulis tidak mencantumkan bagaimana kondisi kitab itu sekarang, sudah pernah dicetak atau masih berupa manuskrip. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi para pengkaji Ulumul Quran.

Buku lain selain itu adalah Sanad Quran dan Tafsir di Nusantara (2022) yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie. Buku ini karena masih sangat umum lantas pembahasan mengenai Ulumul Qurannya pun masih minim. Bizawie mencoba memaparkan beberapa karya ulumul Quran oleh ulama pesantren seperti Nahju at-Taisir karya Sayyid Muhsin Al-Musawa, Fathu Al-Khabir karya Syekh Mahfuzh at-Tarmasi, Madzraful Basyir karya KH. Baedlowie Sirodj, Al-Miftah ‘ala Tahrir Usul At-Tafsir karya KH. Miftah bin Ma’mun Cianjur dan Mawarid Al-Bayan fi Ulum Al-Quran karya Dr. Afifuddin Dimyathi. Di sini kedua penulis baik Nanal maupun Bizawie masih perlu ditambahkan lagi data-data terkait penulis Ulumul Quran pesantren. Dan inilah tugas-tugas peneliti atau penulis selanjutnya.

Baca Juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

Ketiga, sudah seharusnya melihat Ulumul Quran dan produk tafsir yang ada di pesantren secara komprehensif serta saling terkait. Misalnya begini, KH. Bisri Mustofa selama ini dikenal sebagai penulis tafsir dengan karya fenomenal Al-Ibriz. Kitab ini sangat populer di kalangan sejarawan tafsir dan sarjana tafsir Nusantara, tetapi, kitab Ulumul Qurannya yakni Al-Iksir yang merupakan terjemah dan syarah dari kitab Manzhumah at-Tafsir Az-Zamzami tidak begitu dikenal. Akan lebih komprehensif jika melihat secara holistik antara Ulumul Quran dan tafsirnya, antara teori dan praktiknya. Dengan begitu, akan lebih lengkap pula kajian Alquran dan tafsir dari seorang tokoh.

Keempat, Para peneliti atau sarjana perguruan tinggi masih terlalu fokus pada kajian Ulumul Quran di perguruan tinggi. Apalagi kajian itu bersifat historiografi atau pencatatan data sejarah secara periodik. Saya ambil contoh, Rahendra Maya (2022) melakukan penelitian yang menampilkan beberapa karya Ulumul Quran Perguruan Tinggi sejak tahun 2009 sampai 2020. Karya-karya yang diteliti adalah karya dari rahim perguruan tinggi. Dia mencoba mencermati satu demi satu rujukan dari 21 karya yang diteliti dan menunujukkan minimnya penulis ‘ulûm Al-Qur’an dari perempuan. Selain itu juga minimnya penggunaan referensi dari karya pesantren atau ulama Nusantara.

Itulah beberapa alasan mengapa para santri pesantren atau sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir perlu menjadi aktor di balik pencatatan sejarah Ulumul Quran pesantren. Hal ini akan mendukung upaya untuk desentralisasi kajian keislaman. Artinya melihat perguruan tinggi dan pondok pesantren secara adil dalam konteks lembaga yang berperan dalam dinamika keislaman di Indonesia. Wallahu a’lam