Penyakit hati yang berbahaya, salah satunya seperti hasad makin menjadi-jadi di era media sosial seperti sekarang. Media sosial adalah sebuah panggung perbandingan tanpa akhir. Studi psikologis terkini membuktikan bahwa platform ini secara sistematis menciptakan sebuah proses yang disebut upward social comparison, yaitu kecenderungan alami untuk membandingkan diri dengan orang lain yang kehidupannya tampak lebih ideal(Liu dkk., hlm. 3). Jauh sebelum istilah modern ini muncul, tradisi spiritual Islam telah memiliki diagnosis yang lebih tua dan mendalam untuk penyakit hati tersebut, yakni hasad.
Baca Juga: Ibrah Surah Alfil: Iri dan Dengki Penyebab Kehancuran
Hakikat dan Bahaya Sifat Hasad
Rasulullah saw. memberi sebuah peringatan keras tentang bahaya sifat hasad.
“Jauhilah oleh kalian sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud).
Hadis ini tidak main-main. Ia menggambarkan hasad bukan sekadar sebagai dosa, melainkan sebagai api yang melahap habis “saldo” amal baik seorang hamba. Ibnu Manzhur mengutip dari Ibn al-A’rabi, mengaitkan akar kata hasad dengan hasdal (sejenis kutu/tungau). Sebagaimana kutu itu mengupas kulit lalu menghisap darahnya, demikian pula “hasad mengupas hati, lalu memakan habis kebaikannya” (Ibn Manzhûr, hlm. 148).
Secara istilah, definisi paling tajam diberikan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin. Menurut beliau, hakikat hasad adalah “membenci nikmat (yang ada pada orang lain) dan mencintai hilangnya nikmat tersebut darinya”. Lebih dari itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa hasad pada dasarnya adalah sebuah bentuk protesterhadap ketetapan Allah. Seorang pendengki seolah-olah tidak terima dengan cara Allah membagi karunia-Nya (Al-Ghazâlî, hlm. 189).
Membedakan antara Hasad dan Ghibthah
Islam memahami fitrah manusia yang cenderung membandingkan. Oleh karena itu, ajaran Islam membedakan dengan tegas antara hasad yang tercela dengan ghibthah yang diperbolehkan. Al-Ghazali menjelaskan bahwa ghibthah (yang juga beliau sebut munāfasah) adalah kondisi ketika seseorang melihat nikmat pada orang lain, lalu dia berkeinginan untuk memiliki nikmat serupa, tanpa berharap nikmat itu hilang dari orang tersebut (Al-Ghazâlî, hlm. 189).
Perbedaan ini ditegaskan dalam hadis Rasulullah saw,
“Tidak ada hasad (yang dibolehkan) kecuali pada dua orang: seseorang yang dianugerahi Allah harta lalu ia menginfakkannya di jalan kebenaran, dan seseorang yang dianugerahi Allah hikmah (Al-Qur’an) lalu ia mengamalkan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ibn Ashur, dalam tafsirnya menegaskan bahwa hadis ini adalah salah satu dalil utama yang membedakan antara hasad yang tercela dengan ghibthah (yang dalam hadis ini disebut secara majas sebagai “hasad”) (Ibnu ’Âsyûr, hlm. 28).
Saat melihat unggahan kesuksesan seorang teman di media sosial, ke persimpangan manakah hati ini lebih sering berbelok? Apakah ke jalan ghibthah yang memotivasi untuk menjadi lebih baik, atau ke lorong gelap hasad yang menggerogoti jiwa dengan kebencian?
Baca Juga: Belajar Menyembunyikan Nikmat dari Pendengki, Hikmah Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub
Metode Terapi untuk Sifat Hasad dalam Alquran
Islam tidak hanya mendiagnosis, tetapi juga memberikan resep terapinya. Al-Qur’an menyajikan sebuah terapi proaktif untuk memotong akar penyakit hati ini sebelum ia tumbuh membesar.
Terapi Pertama (Proaktif): Mengalihkan Fokus dari Makhluk kepada Al-Khaliq
Akar dari hasad adalah tamanni, yaitu berangan-angan atau menginginkan apa yang dimiliki orang lain. Alquran secara langsung melarang ini dan memberikan solusinya dalam surah an-Nisa'[4]: 32,
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا
Janganlah kamu berangan-angan (iri hati) terhadap apa yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Menurut Ibn Ashur larangan berangan-angan (tamanni) adalah sebuah langkah preventif yang luar biasa, karena angan-angan adalah gerbang yang dapat berujung pada hasad. Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa kejahatan pertama di muka bumi (pembunuhan Habil oleh Qabil) lahir dari hasad.
Ayat ini kemudian tidak berhenti pada larangan, tetapi langsung memberikan terapi aktifnya: “Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya”. Ini adalah sebuah pengalihan fokus yang fundamental. Alih-alih memfokuskan energi mental pada nikmat yang ada di tangan orang lain, seorang mukmin diperintahkan untuk mengalihkan seluruh harapannya dan permintaannya langsung kepada Allah (Ibnu ’Âsyûr, hlm. 30).
Terapi Kedua (Defensif): Berlindung dari Kejahatan yang Telah Muncul
Jika perasaan hasad sudah terlanjur muncul dan terasa mengancam, maka langkah selanjutnya adalah terapi defensif, yaitu berlindung kepada Allah, sebagaimana dalam perintah di surah al-Falaq, ayat 5,
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ
“…dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia telah dengki”
Ar-Razi menjelaskan bahwa hasad disebut secara khusus setelah kejahatan-kejahatan lainnya dalam surah ini untuk menegaskan bahwa ia termasuk salah satu jenis kejahatan yang paling besar (Ar-Râzî, hlm. 375). Sementara itu, Ibn Ashur menyoroti pentingnya frasa “idza hasad” (apabila ia telah dengki). Menurutnya, ini menunjukkan bahwa bahaya terbesar dari seorang pendengki adalah ketika perasaan itu telah memuncak dan mendorongnya untuk berbuat jahat secara nyata, baik melalui lisan maupun perbuatan (Ibnu ’Âsyûr, hlm. 629).
Dua terapi ini bekerja secara sinergis. Terapi an-Nisa’ adalah “vaksin” yang mencegah penyakit, sedangkan terapi Al-Falaq adalah “antibiotik” saat penyakit itu sudah mulai menyerang. Lantas, sudahkah lisan ini lebih sering meminta karunia Allah daripada mengomentari karunia orang lain?
Penutup
Media sosial adalah alat yang netral. Ia bisa menjadi sumber inspirasi jika didekati dengan semangat ghibthah, atau bisa menjadi sumber penyakit jika hati dibiarkan terjangkit virus hasad. Islam menyediakan perangkat lengkap untuk menjaga kesehatan hati di era digital ini, dengan diagnosis yang presisi, pembedaan yang jelas, serta terapi spiritual yang kokoh. Pada akhirnya, pertarungan melawan hasad bukanlah tentang memblokir akun orang lain, tetapi tentang membersihkan dan membentengi hati sendiri dari salah satu penyakit paling mematikan.