BerandaBeritaPeran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

Peran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

Alvin mencontohkan salah satu konflik toleransi yang terjadi adalah umat non-Muslim mengkritik suara toa Masjid di daerah Sumatera. Menurutnya, media memiliki peran untuk meredam konflik tersebut.

“Itukan panjang konfliknya, harusnya media itu membuat konfliknya semakin menurun. Itukan sebenarnya konflik antar tetangga, isunya semakin naik karena Miliana sebagai non-Muslim dan toa sebagai bentuk syiar Muslim, kemudian dibawa kemana-mana karena media tidak meredam konflik itu,” katanya.

Ia menekankan bahwa dalam menulis suatu pemberitaan, media diharuskan mendapatkan informasi dari korban, pelaku, saksi mata, pihak berwenang, dan pengamat. Penting juga untuk melindungi narasumber, terutama dari kelompok rentan.

Baca Juga: Peran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

“Korban harus menjadi narasumber utama, ini penting. Kita perlu melihat perspektif korban, melihat sebelum konflik itu terjadi, sebelum kelompok itu terjadi, jangan sampai karena sulit mencari korban, dan tokoh agama setempat sudah mengumumkan langsung menjadi narasumber utama tanpa mengecek kembali konflik terjadi,” ungkap Alvin.

Alvin mengatakan ketika mencari informasi langsung kelapangan, perlu memiliki prespektif HAM, keberagaman, dan menguasai konteks lokal.

“Jangan sampai ketika ke lapangan, langsung aja warga diwawancarai tanpa melihat latar belakangnya, orangnya seperti apa, daerah setempatnya seperti apa, wartawan harus informasi ini,” ucapnya.

Ia menyampaikan bahwa media perlu menghindari enam aspek, yaitu (1) tidak memahami agama dan tafsir kelompok yang diliput; (2) melibatkan tafsir dan kepercayaan pribadi; (3) melakukan stereotyping dan melibatkan prasangka; (4) menampilkan judul dan diksi provokatif mengandung SARA dalam penulisan berita; (5) motivasi misi/dakwah/penyebaran agama; dan (6) tidak sensitive terhadap istilah dan simbol agama.

“Jangan sampai satu kata yang ada diberita menjadi landasan kelompok tertentu untuk mengintimidasi, memberikan ancaman, melakukan kekerasan terhadap kelompok yang lain,” ujar Redaktur Islami.co.

Alvin menyampaikan perlunya melindungi diri saat mencari informasi langsung kelapangan diantaranya menjaga dari kekerasan, terdapat jaminan kesehatan, kondisi fisik sehat dan siap, memahami budaya lokal, mempersiapkan akomodasi, dan kewaspadaan terhadap ancaman digital.

Senada, Aktivis Inklusi Sosial, Abi Setio Nugroho menyampaikan bahwa masyarakat sipil memiliki fungsi sebagai penyeimbang negara dan penyambung kelompok rentan serta berperan sebagai agen transformasi sosial dan politik dalam konteks kebebasan Bergama dan berkeyakinan (KBB).

“Dalam isu kebebasan beragama, masyarakat sipil menjadi intermediary antara masyarakat korban intoleransi dan pengambil kebijakan,” ucapnya.

Ia menyampaikan bahwa fenomena konflik antara moderasi dan realitas intoleransi yang tercantum dalam Perpres Nomor 58 Tahun 2023 dan Peta Jalan Moderasi Beragama (PJMP) masih terdapat ketimpangan antara dokumen kebijakan dan realitas.

“Kita contohkan pada kasus GKI Yasmin, Gereja di Cilegon, dan Ahmadiyah di Kuningan Sukabumi, Lombok, dan Sintan ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin hak bergama, yang kemudian diangkat oleh media dan masyarakat sipil,” katanya.

Baca Juga: Tafaqquh fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Abi menyampaikan perlu peran strategis dari media dan masyarakat sipil diantaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Wahid Foundation, dan Gusdurian Networking yang aktif memproduksi narasi tanding dan konten digital bernuansa toleransi.

“AJI dan LBH Pers telah mencatat bahwa peliputan yang tidak sensitif kerap memperburuk stigmatisasi terhadap minoritas agama, dan laporan dari SETARA Institute tahun 2023 terdapat 180 pelanggaran KBB dan 61 persen diangkat pertama kali oleh media,” ungkapnya.

Ia menyampaikan terdapat studi dan riset pendukung dalam menyebarkan berita tentang keberagamaan, di antaranya Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Google tahun 2020 dengan topik “Memahami Dunia Digital” menemukan bahwa konten toleransi lebih banyak dikonsumsi, tapi kalah cepat dari konten kebencian dalam algoritma.

“Penelitian dari Paramadina, YLBHI, ICRS, dan CRCS UGM, The Asia Foundation, dan Oslo Coalition for Freedom of Religion of Belief pada tahun 2022 dengan judul Refleksi Advokasi yang menyoroti lemahnya kapasitas jurnalis memahami isu KBB, sehingga seringkali bias dalam peliputan” ujar Abi.

Ia menyampaikan tantangan yang dihadapi media yaitu fragmentasi narasi media yang berbeda-beda dalam memaknai isu agama, ancaman jurnalis melalui digital, dan lemahnya perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak minoritas agama sebagai narasumber.

“Undang-Undang Pers belum cukup melindungi jurnalis dari ancaman ketika mengangkat isu sensitif keagamaan, minimnya pendanaan dari media dan godaan mengejar traffic untuk memperbanyak pengunjung,” katanya.

Abi menyarankan bahwa perlu penguatan kapasitas media melalui pelatihan jurnalis dalam peliputan berbasis HAM dan pluralisme, serta terdapatnya penyusunan panduan liputan sensitive terhadap isu keagamaan.

“Advokasi kebijakan perlu merevisi kebijakan penyiaran agar sensitif pada KBB, dan mendorong pemerintah daerah menyusun acuan penanganan intoleransi berbasis pelaporan media dan masyarakat sipil,” katanya.

“Perlu juga koalisi media dan masyarakat sipil, dan platfrom kerja yang kolaboratif untuk membangun media yang menayangkan konten lintas agama, suku, gender, dan keyakinan,” lanjutnya.

Pertanyaan lebih lanjut terkait dengan isi press release ini dapat menghubungi : 1) sdr. Muhamad Masrur Irsyadi (0857 1693 9557) dan 2) sdr. Zainuddin (0821 6830 7959)

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Peran Media Strategis untuk Mencegah Konflik Akibat Tidak Dipenuhinya Hak Keberagamaan

0
Moderasi beragama menjadi agenda penting dalam menjaga harmoni sosial, kebinekaan, dan perdamaian di masyarakat Indonesia yang multikultural dan multireligius. Peraturan Presiden (Perpes) Moderasi Bergama...