Nashruddin Baidan adalah salah satu sarjana kontemporer Indonesia yang berupaya memberikan pemahaman seimbang mengenai Hermeneutika dan Ilmu Tafsir, sebagai keniscayaan perkembangan peradaban keilmuan manusia. Beliau menyajikan perbandingan antara hermeneutika, sebagai peradaban keilmuan dari Barat (non-Muslim), dengan ilmu tafsir, sebagai peradaban keilmuan dari Timur (Muslim).
Upaya ini dilakukan agar kita tidak terus-terusan perperangkap oleh sikap apriori, menduga sebelum memahaminya. Perbandingan antara Hermeneutika dan Ilmu Tafsir tersebut ditemukan dalam bukunya Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Buku ini hadir dari kegelisahan Nashruddin Baidan terhadap kajian-kajian ilmu tafsir yang perlu diberi nuansa baru, agar keilmuan tersebut tetap relevan di masa kontemporer ini, terutama dalam lingkungan sarjana Indonesia.
Buku ini terdiri dari tiga bagian dengan babnya masing-masing. Menariknya, hermeneutika dan ilmu tafsir ini ditempatkan di bagian pertama. Ini menunjukkan pentingnya bahasan tersebut sebagai pengembangan wawasan baru ilmu tafsir.
Nashruddin Baidan dan Karyanya
Nashruddin Baidan dilahirkan pada 5 Mei 1951 di Lintau, Tanah Datar, Sumatera Utara. Beliau memperoleh gelar doktoralnya IAIN (sekarang UIN) Imam Bonjol pada tahun 1990. Beliau menjadi dosen di fakultas Tarbiyah (1979-1994), menjabat sebagai wakil dekan III di fakultas Syariah (1990-1993), menjadi ketua jurusan Bahasa Arab di fakultas Tarbiyah (1984), yang semuanya di IAIN Suska, Pekanbaru. Kemudian pindah ke IAIN (sekarang UIN) Walisongo sebagai dosen dan dekan fakultas Ushuluddin (1996).
Baca Juga: Mengenal Kitab Wa ‘Allama Adam Al-Asma’: Tafsir Tematik Karya Ahmad Yasin Asymuni
Buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir diterbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta, pada 2005, dan dicetak ulang pada 2011. Dalam tiga bagian utama buku ini, masing-masing memuat kuantitas bab yang berbeda: bagian pertama “Orisinalitas Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir” hanya membahas dua bab, bagian kedua “Komponen Eksternal, Jatidiri Al-Qur’an dan Kepribadian Mufasir” membahas empat belas bab, dan bagian ketiga “Komponen Internal” membahas tiga bab.
Spesifik pada bagian pertama, di dalamnya membahas tentang (1) Orisinalitas Al-Qur’an, yang meliputi pengertian Al-Qur’an, Surat, dan Ayat. Juga pemeliharaan Al-Qur’an, yang dimulai dari masa Nabi Muhammad SAW hingga Khalifah Utsman bin Affan. (2) Ilmu Tafsir, yang meliputi pengertiannya, perbedaan Tafsir dari Ta’wil, terjemahan Al-Qur’an, persamaan dan perbedaan Ilmu Tafsir dengan Hermeneutika. Pada bahasan terakhir ini, Nashruddin Baidan memaparkan konsep-konsep dasar sebagai tawaran agar kita tidak terperangkap pada sikap apriori.
Nashruddin Baidan mengutip pandangan Sumaryono dalam bukunya, Hermeneutik sebuah Metode Filsafat, yang mengatakan bahwa hermeneutika (hermeneutiks) dipahami sebagai “Proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti”. Dari sini, dapat dipahami bahwa hermeneutika itu tentang pembahasan teori atau metode yang dapat digunakan dalam memahami seuatu teks, yang kemudian disampaikannya kepada audien sesuai tingkat dan daya sera mereka.
Persamaan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir
Menurut Nashruddin Baidan bahwa hermenutika secara substansial tidak jauh berbeda dengan Ilmu Tafsir. Keduanya memiliki tujuan yang amat baik, yaitu hendak menjelaskan tentang ajaran secara jelas dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh umat atau masyarakat pada umumnya. Di sini, orang yang melakukan kerja hermeneutika mesti memahami semua unsur dalam hermeneutika tersebut, yakni teks sebagai yang ditafsirkan, interpreter sebagai penafsir, dan audien sebagai penerima tafsir.
Ketiga unsur tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang telah digunakan oleh para ulama dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ibnu Taimiyah misalnya, kutip Nashruddin Baidan, menyebutkan tiga hal yang perlu diperhatikan pada proses penafsiran: (1) siapa yang menyabdakannya, yakni teks Al-Qur’an berasal dari Allah SWT (2) kepada siapa ia diturunkan, yakni Nabi Muhammad SAW sebagai perantara kepada masyarakat, dan (3) ditujukan kepada siapa, yakni masyarakat yang menjadi auiden teks.
Selain persamaan di atas, hermeneutika dan ilmu tafsir juga menghendaki upaya yang jujur dan objektif dalam memahami teks. Dalam hal ini, umat Islam sejak awal telah diwanti-wanti agar tidak menafsirkan Al-Qur’an secara sembarangan, tanpa keilmuan yang jelas, dan disertai hawa nafsu semata.
Perbedaan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir
Dibanding persamaan yang telah dipaparkannya, Nashruddin Baidan lebih banyak memaparkan perbedaan antara hermeneutika dan ilmu tafsir. Pertama, dalam tugas risalah terdiri dua perbedaan: (1) Hermes berwenang melakukan interpretasi dan mengubah bahasa risalah. Sementara Nabi Muhammad SAW tidak berwenang mengubah bahasa risalah, tetapi hanya dapat menginterpretasi. (2) Hermes tidak dikontrol oleh dewa. Sementarai Nabi Muhammad SAW dikontrol oleh Allah SWT.
Kedua, dalam proses penafsirannya, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural yang hendak digunakan. Ini masuk akal, karena risalah yang disampaikan tidak ada lagi hubungannya dengan si pengirimnya (Hermes). Di sinilah dibutuhkan pemahaman atas redaksi teks, jati diri penulisnya, dan latarbelakang munculnya teks itu sendiri. Sementara itu, ilmu tafsir mementingkan langkah-langkah prosedural, terutama berkaitan dengan pertanggungjawaban penafsir. Di sini muncul tafsir Al-Qur’an bi al-Qur’an, Al-Qur’an bi al-Hadis, dan seterusnya.
Namun, menurut Nashruddin Baidan, urutan prosedural ini tidak bersifat mutlak dan satu-satunya. Urutan prosedural tersebut baru digunakan ketika berhadapan dengan kasus yang sama yang dihadapi oleh Nabi Muhammad SAW, Sahabat atau Tabi’in. Jika tidak menemukannya, penafsir mesti mencari alternatif lain dengan memperhatikan teks dengan konteks pembicaranya. Dengan kata lain, urutan prosedural tersebut seperti wacana berpikir yang membantu penafsir dalam memahami teks sesuai tuntutan zamannya.
Ketiga, tiga unsur hermeneutika: teks, interpreter, dan audiens (konteks dan sebagainya), sangat minim dan umum, tidak memberi penjelasan detail dan rinci yang dapat dijadikan penafsir dalam kerja penafsirannya. Dalam ilmu tafsir, tiga unsur tersebut hanya berkisar pada asbabun nuzul. Sementara itu, dalam ilmu tafsir disediakan sangat banyak ilmu, seperti dalam kitab Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an karya Al-Suyuthi yang memuat 80 topik.
Baca Juga: Mengenal Hind Shalabi, Pakar Tafsir Sekaligus Aktivis Perempuan Asal Tunisia
Keempat, dalam hermeneutika ada kesan bahwa penafsir dapat memahami semua teks. Sementara itu, dalam ilmu tafsir kesan yang muncul adalah penafsir ada yang tidak dapat dipahami dari teks. Ini sebagaimana perkataan Abdullah bin Abbas bahwa tafsir Al-Qur’an terbagi atas empat, di antaranya adalah hanya Allah saja yang tahu maknanya.
Kelima, dalam hermeneutika, ada teori bahwa penafsir memahami diri penulis lebih baik daripada penulis mengenali dirinya sendiri. Untuk teks dari manusia, teori ini dapat digunakan, sementara ia tidak dapat digunakan untuk Al-Qur’an. Ini karena tidak mungkin ada manusia yang lebih mengetahui Allah SWT daripada Allah SWT mengetahui diri-Nya sendiri. Karena itu, hermenutika yang berdasar pada teori ini hanya dapat digunakan dalam mengkaji dan memahami kitab tafsir (karya manusia).
Berbagai perbandingan di atas memberi pemahaman bahwa sekalipun terdapat persamaan dalam hermeneutika dan ilmu tafsir, tetapi keduanya juga memuat perbedaan yang tidak sedikit. Semua ini tentu dapat dikaji dan ditelusuri lebih mendalam lagi. [] Wallahu A’lam.