BerandaTafsir TematikPenegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah

Penegasan Alquran Terkait Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah

Begitu sulit untuk membedakan ketika dihadapkan pada dua istilah yang bertolak belakang namun memiliki segenap persamaan. Kedua hal tersebut adalah pamer atau riya dan tahadduts bin ni’mah. Perbedaan antara tahadduts bin ni’mah dan pamer (riya) sangatlah tipis. KH. Faris Khoirul Anam pada laman NUVOICES menjelaskan bahwa perbedaan keduanya hanya terletak pada hati masing-masing orang.

Sebab jika melihat secara perilaku, maka antara dan tahadduts bin ni’mah hampir sama. Riya atau pamer adalah mengharapkan tujuan-tujuan duniawi melalui ibadah yang dilakukan. Tujuan duniawi itu untuk mengambil kemanfatan seperti popularitas, atau menolak kemudaratan seperti menutupi kekurangan, sedangkan tahadduts bin ni’mah adalah menyampaikan suatu kenikmatan yang ia terima sebagai penyempurna syukur nikmatnya.

Menampilkan kenikmatan sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT menjadi hal yang wajar untuk dilakukan, namun yang menjadi persoalan adalah terkadang kenikmatan tersebut ditampilkan di media sosial. Lalu bagaimana sesungguhnya penegasan Al-Qur’an terkait perbedaan keduanya?

Pertama, Allah SWT menerangkan tentang tahadduts bin ni’mah dalam firman-Nya sebagai berikut.

وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ

Terjemah: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” (QS. Ad-Duha [93]: 11)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT mengisyaratkan tentang pentingnya manusia untuk bersyukur ketika telah mendapatkan nikmat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada Ya’qub, kepada Ibnu Aliyyah, menceritakan kepada Sa’id ibnu Iyas Al-Jariri, dari Abu Nadrah yang mengatakan bahwa dahulu orang-orang muslim memandang bahwa termasuk mensyukuri nikmat-mkmat Allah ialah dengan menyebut-nyebutnya (mensyukurinya dengan lisan).

Baca Juga: Tafsir Sosiologis Surah An-Nisa Ayat 34: Makna Alternatif Kata Rijal dan Nisa

Kemudian dalam tafsir kementerian agama juga dijelaskan bahwa dalam ayat itu, Allah menegaskan lagi kepada Rasulullah agar memperbanyak pemberiannya kepada orang-orang fakir dan miskin serta mensyukuri, menyebut, dan mengingat nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepadanya.

Menyebut-nyebut nikmat Allah yang telah dilimpahkan kepada kita bukanlah untuk membangga-banggakan diri, tetapi untuk mensyukuri dan mengharapkan orang lain mensyukuri pula nikmat yang telah diperolehnya.

Melalui ayat di atas terlihat bahwa Allah sejatinya juga memerintahkan untuk menyebut-nyebut nikmat yang telah diterima oleh manusia. Namun menyebut-nyebut yang dimaksud adalah dalam rangka merepresentasikan rasa syukur kepada Allah SWT. Sehingga jika dikaitkan dengan riya, tahadduts bin ni’mah sejatinya memiliki konsep yang berbeda dengan melandasi hati sebagai niat syukur bukan untuk pamer.

Kedua, riya atau pamer yang dibicarakan dalam Alquran adalah semata-mata untuk pamer dan diakui serta dipuji oleh orang lain. Sebagaimana firman Allah sebagai berikut.

وَٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۗ وَمَن يَكُنِ ٱلشَّيۡطَٰنُ لَهُۥ قَرِينٗا فَسَآءَ قَرِينٗا

“Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (QS. An-Nisa [4]: 38)

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan bahwa Allah tidak menyukai orang yang mengeluarkan hartanya secara riya dengan tujuan agar dipuji dan dibanggakan orang lain. Padahal mereka tidak beriman kepada Allah dan hari pembalasan, karena mereka mengikuti setan lalu disesatkan.Riya berarti melakukan sesuatu dengan motif ingin dilihat dan dipuji orang lain, bukan ikhlas karena Allah.

Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir menambahkan bahwa Allah menerangkan orang yang suka memberi harta kepada orang lain namun dengan niat untuk dipuji dan dihormati, niatnya bukan tulus karena Allah.

Mereka menginfakkan harta tersebut bukan karena mensyukuri nikmat Allah maka mereka menjadi kawan-kawan dekat setan yang telah membisikkan ke telinga mereka bahwa berinfak akan menyebabkan kefakiran. Ayat ini juga mengisyaratkan pentingnya menjauhi kawan-kawan yang buruk dan memilih kawan yang baik.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 1: Benarkah Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Nabi Adam?

Melalui Surah An-Nisa ayat 38 di atas terlihat bahwa riya merupakan perbuatan yang buruk dan dilarang oleh Allah Swt. Penegasan Al-Quran kembali menyoroti kepada motif atau tujuan dilakukannya perbuatan tersebut sehingga menyebabkan riya. Ketika dimaksudkan untuk mendapat pujian maka akan dikategorikan sebagai riya.

Penutup

Demikian bahwa perbedaan paling mendasar antara pamer dan tahadduts bin ni’mah terletak pada motif atau niat masing-masing orang. Namun terkait persoalan tahadduts bin ni’mah yang diumbar ke media sosial maka besar kemungkinan hal tersebut akan mengarah kepada riya walaupun niat awal tidak demikian.

Oleh sebab itu, batasan tahadduts bin ni’mah semestinya lebih dipersempit, misalnya hanya diungkapkan kepada orang-orang dekat terkait nikmat yang diterima bukan disebarluaskan di media sosial. Sebab ketika diposting di media sosial akan memunculkan berbagai reaksi seperti pujian yang bisa saja dapat memunculkan benih-benih riya semakin nampak. Wallahu A’lam.

Saibatul Hamdi
Saibatul Hamdi
Minat Kajian Studi Islam dan Pendidikan Islam
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...