BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPerdebatan Terkait Alasan Penetapan Hukum Islam

Perdebatan Terkait Alasan Penetapan Hukum Islam

Alquran diturunkan menjadi sebuah pedoman dan tuntunan bagi seluruh umat manusia. Salah satu yang termuat dalam Alquran ialah penjelasan hukum-hukum Allah yang harus dipatuhi oleh umat Islam. Hukum tersebut menurut penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam kitab Ilmu Ushul al-Fikih terbagi menjadi tiga bagian, hukum keyakinan, moralitas atau etika, serta praktisi (amaliah).

Dalam dua pembagian awal, tak banyak ditemukan perdebatan ulama terkait pencarian alasan mengapa Allah mencantumkannya sebagai isi dari Alquran, yang lantas menjadi sebuah kewajiban untuk dipatuhi oleh manusia. Sementara, dalam hukum praktisi atau biasa disebut hukum fikih yang tersusun dari hukum peribadatan dan muamalah, barulah bermunculan seabrek perdebatan antaraliran mengenai pencarian alasan penetapan hukum (ta’lil al-ahkam).

Konsep ta’lil al-ahkam adalah sebuah konsep yang membimbing manusia untuk menangkap maksud dari Syari’ (Tuhan) secara benar, karena memang sebagian dari hukum Tuhan mengandung sebuah ‘illat yang bermuara pada maqashid as-syari’ah al-khams (lima tujuan utama syariat). Salah satu contohnya, alasan tentang adanya hukum qishas, yakni agar manusia terpelihara jiwa dan raganya (hifdu an-nafs). Selain itu, pencarian ‘illat atau alasan penetapan hukum di sini tak lain untuk mengetahui hikmah disyariatkannya hukum Tuhan, yang menjadikan kualitas ketaatan seseorang dalam beragama menjadi lebih kokoh.

Baca juga: Tujuan Hukum dan Perluasan Alat Bayar Fidiah Puasa

Penting untuk diketahui, bahwa penentuan ‘illat hukum merupakan objek kajian usul fikih yang hingga kini menjadi bahan perdebatan para ulama. Perdebatan ini menurut Alauddin dalam Mizan Al-Usul muncul dengan dilatarbelakangi perbedaan teologi atau usuluddin para mujtahid, yang menurut kalangan Hanafiyah, usul fikih merupakan cabang dari teologi tersebut. Perbedaan tersebut mengakar kuat ketika mereka membahas persoalan usul fikih. Sehingga, cara berpikir masing-masing tokoh tetap dengan keyakinannya meski sudah berbeda pembahasan.

Perdebatan muncul ketika ulama kalam memberikan pertanyaan-pertanyaan: bolehkah kita menentukan ‘illat dalam ketentuan/perbuatan Allah dengan maslahat atau hikmah? apakah Allah menetapkan sesuatu karena ada tujuan yang dicapai? atau apakah perbuatan Allah murni kehendak-Nya, tanpa terikat oleh ‘illat, tujuan, maupun hikmah?

Empat Pendapat tentang ‘Illat dalam hukum Islam

Dijelaskan dalam kitab Ta’lil Al-Ahkam (hal. 95-97) karangan Muhammad Musthafa Tsa’laby, terdapat empat aliran besar yang merespons hal ini dengan pendapat yang berbeda-beda. Aliran pertama diprakarsai oleh ulama Asya’irah yang meyakini bahwa tidak ada ta’lil dalam hukum Allah. Allah berbuat sesuatu semata-mata murni karena kehendak-Nya, tanpa memiliki tujuan yang membuat-Nya berbuat demikian. Selain itu, kelompok Asya’irah memandang perbuatan Allah tidak terikat dengan sesuatu. Sebab, ketika perbuatan-Nya terikat oleh sesuatu, maka sama halnya dengan membatasi kekuasaan Allah. Padahal, Allah telah menegaskan dalam surah Al-Maidah [5] ayat 1:

اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ ۝١

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.

Setali tiga uang, Aliran kedua yang diisi oleh para filsuf juga meyakini bahwa tidak ada ta’lil dalam perbuatan Tuhan. Namun, mereka menyatakan ketika Allah mengerjakan sesuatu itu karena hal itu sudah menjadi kewajiban-Nya. Allah tidak mempunya pilihan lain selain berbuat demikian. Mereka menafikan sifat ikhtiyar dalam kuasa Allah.  Dibanding kelompok pertama, aliran ini lebih keras dalam menentang adanya ta’lil pada hukum Allah, sebab sebuah hikmah yang dapat diketahui dengan ta’lil al-ahkam hanya bisa terwujud ketika perbuatan tersebut bersifat bebas dan tanpa adanya paksaan.

Baca juga: Antara Maslahat dan Nas Alquran

Golongan ketiga, yang dipelopori oleh kalangan Mu’tazilah hadir sebagai antitesis dari kalangan Asya’irah. Mereka berpendapat bahwa wajib memberikan sebuah alasan pada seluruh aktivitas Allah. Oleh karenanya, ketika Allah menciptakan, berbuat, ataupun memerintahkan sesuatu pasti berdasarkan sebuah alasan. Lebih dari itu, Mu’tazilah meyakini bahwa Allah terikat hanya untuk mendatangkan manfaat pada makhluk-Nya. Maha suci Allah ketika muncul dari-Nya perbuatan hina. Allah maha adil yang ketika berbuat sesuatu harus mendatangkan yang terbaik bagi manusia. Demikian pandangan Mu’tazilah,

Mu’tazilah berani mengatakan demikian karena di samping memberikan porsi akal yang lumayan besar, mereka juga menampilkan ayat-ayat yang mengindikasikan bahwa Allah tidak akan mensyariatkan sesuatu yang merugikan manusia, seperti dinyatakan secara tersirat dalam surah At-Thalaq [65] ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ لَا تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْۢ بُيُوْتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِۗ وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهٗۗ لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللّٰهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ اَمْرًا ۝١

Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah. Siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui boleh jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.

Baca juga: Progresivitas Umar bin Khattab Terkait Hukum dalam Alquran (Bagian 1)

Kelompok terakhir, direpresentasikan oleh aliran Maturidiyah. Kelompok ini diklaim sebagai aliran yang menjembatani dua poros pemikiran, antara Asya’irah dan Mu’tazilah. Jika Asya’irah lebih condong menggunakan naql, dan Mu’tazilah dengan akalnya, maka Maturidiyah hadir dengan mengombinasikan keduanya (naql dan akal) dalam porsi yang seimbang dalam memahami hukum Tuhan pada manusia.

Ini terbukti ketika mereka meyakini bahwa seluruh perbuatan Tuhan bersifat mu’allal, muncul karena suatu alasan dan berdasarkan tujuan, yakni menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan tersebut ada yang bisa dinalar oleh akal secara jelas (ma’qul al-ma’na), dan ada yang masih remang-remang atau tidak bisa dinalar sama sekali (goiru ma’qul al-ma’na). Berbeda dengan Asya’irah yang mengatakan bahwa perintah Tuhan tidak bisa dinalar sama sekali, dan Mu’tazilah yang melazimkan perintah Tuhan harus bisa dilogikakan.

Sehingga, menurut Maturidiyah, alasan penetapan hukum (‘illat) tetap berposisi sebagai tanda semata, tidak lebih. Sebuah alasan tidak lantas melarang perbuatan Tuhan untuk menciptakan hal yang buruk, atau malah mewajibkan Tuhan mendatangkan sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Sebab, bila itu terjadi, sama halnya dengan mengikat kuasa Tuhan dan ini bertentangan dengan prinsip Q.S. Al-Maidah [5]: 1 yang sudah dipaparkan di awal.

Wallahu a’lam.

Muhammad Ubaidillah
Muhammad Ubaidillah
Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU