Pada masa Rasulullah saw para sahabat tidak kebingungan ketika dihadapkan ayat yang menurutnya susah dipahami, mereka bisa konfirmasi langsung kepada Rasulullah saw dan meminta penjelasan kepadanya. Kegiatan bertanya inilah yang nantinya timbul fan ilmu hadis sebagai penjelas atau tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Mereka juga sering mengadu kepada Rasulullah tentang permasalahan hidupnya, maka Alquranlah sebagai jawaban untuk menuntaskan masalah tersebut.
Setelah Rasululah saw wafat tentu para sahabat tidak tinggal diam dalam mempertahankan eksistensi Alquran sebagai pijakan umat muslim. Mereka mengumpulkan mushaf Alquran kemudian dibukukuhan menjadi satu kitab agar generasi Islam bisa membaca dan mempelajarinya dengan praktis. Sehingga pada zaman Ustman bin Affan Alquran utuh dalam satu kitab yang kemudian memberi dampak bagi umat muslim hingga saat ini.
Perhatian para sahabat tidak hanya sekedar pembukuan Alquran saja, namun yang lebih diperhatikan selanjutnya adalah isi dan kandungan dari pada Alquran itu sendiri. Para sahabat sangat menghormati mereka yang ahli Alquran, penghafal Alquran dan mereka yang mengetahui maknanya walaupun sedikit.
Para sahabat dan tabiin sangat peduli terhadap tafsir Alquran. Mereka memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada orang yang mengetahui makna dan maksud ayat walaupun sedikit.
Baca Juga: Mencari Titik Temu Sains dan Alquran
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyampaikan bahwa Ali bin Abi Thalib menganggap Jabir bin Abdillah sebagai ahli ilmu. Seseorang Tanya kepadanya “Kamu jadikan ia tebusanmu? Kamu anggap Jabir sebagai ahli ilmu sedangkan kamu?” Kemudian Ali berkata “karena ia telah mengetahui tafsir Q.S. Al-Qashash [28] ayat 28”.
Al-Qurtubi juga menyebutkan Ibnu Athiyah berkata “Sebagian besar salaf adalah mufasir Alquran, dan mereka menyayangi umat Islam karena itu”. Adapun mufassir paling berpengaruh pada era sahabat diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Abdullah bin Abbas pada tingkat kedua dengan gaya dan model penafsiran yang berbeda. Selain itu mufasir yang berpengaruh pada zaman sahabat setelah Ibnu Abbas adalah Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Kaab, Zaid bin Sabit dan Amr bin Ash.
Tafsir dari para sahabat ini layak didahulakan sebab merekalah saksi hidup turunya wahyu dengan bahasa mereka. Sebagai bentuk perhatian sahabat terhadap tafsir adalah ia mengamapanyekan bahwa saya adalah orang yang tahu ayat ini, sebab turunya begini, maknanya adalah ini serta mengajarkan kepada umat muslim.
Amir bin Watsilah pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkhotbah “Bertanyalah tentang kitab Allah, demi Allah aku sangat tahu setiap ayat yang diturunkan, pada malam hari atau siang hari, diturunkan di tanah datar atau di gunung”.
Setelah zaman sahabat, para tabiin dan mujahid sebagai pewaris pemegang tafsir. Mufassir yang masyhur pada saat itu adalah Said bin Jubair, Hasan Al-basri, Al-Qamah, Ikrimah, Adh-dahak dan lain sebagainya. Mereka menghafal, mempelajari menyampaikan dan mengembangkan penafsiran dari para sahabat.
Baca Juga: Merencanakan Generasi Terbaik dengan Membatasi Kelahiran Anak
Ibnu Athiya berkata “mereka telah membacakan Alquran dihadapan Ibnu Abbas sambil memahami maknanya”. Sedangkan Ikrimah dan Adh-dahak mereka mempelajari tafsir dari Ibnu Jubair, mereka berdua dianggap kurang layak dianggap menjadi mufassir oleh Amir As-Sya’bi karena kurang luasnya wawasan mereka.
Kualifikasi menjadi mufassir pada saat itu sangat ketat, terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi untuk dikatakan ahli tafsir sesungguhnya. Antaralain mempunyai guru yang sanadnya sambung ke Rasulullah, memiliki hafalan dan pengetahuan luas tentang Alquran, prilakunya baik, terpercaya dan masih banyak lagi.
Ketatnya kualifikasi tersebut sebagai bentuk perhatian para sahabat akan keagungan ilmu Alquran. Begitu juga para tabiin, mereka mengamanahkan ilmu ini kepada mereka yang jujur dan terpercaya. Sehingga tafsir sampai sekarang bisa kita rasakan keorisinilannya. Wallahuaalam.