Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maut memiliki makna pertama berupa kematian terkait manusia. Di samping itu, makna maut juga dapat berupa mengagumkan, hebat, dan luar biasa. Kata ini diyakini diambil dari bahasa Arab, berupa māta – yamūtu – maut. Adapun masuknya kata ini ke Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari peran para pendakwah Islam yang masuk ke daerah-daerah di Indonesia.
Dalam Alquran, ditemukan banyak kata maut dan derivasinya. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi dalam Mu’jam Mufahras li al-Fāẓ al-Qur`ān al-Karīm menyebut bahwa kata maut dan derivasinya terulang 161 di dalam Alquran. Oleh karena itu, gambaran versi Alquran atas makna term ini penting untuk diperhatikan, sehingga dapat diketahui sebenarnya apa itu maut.
Namun demikian, sebelum menelusuri makna term maut dari Alquran, perlu terlebih dahulu diperhatikan rekaman cakupan makna term itu dalam kamus kawakan bahasa Arab.
Ibn Fāris al-Qazwīnī dalam Mu’jam Maqāyīs al-Lugah (V/283) mengatakan bahwa maut adalah istilah yang identik dengan hilangnya kemampuan/daya dari sesuatu. Makna ini diposisikan oleh Ibn Fāris sebagai makna asal term tersebut, kemudian berkembang maknanya menjadi anti tesis dari al-hayāh (kehidupan).
Baca juga: Empat Kata yang Digunakan Al-Quran untuk Makna Kematian
Sementara itu, dalam Lisān al-‘Arab (II/91–92), kata maut juga melahirkan kata yang potensi maknanya bukan hanya tentang kematian, yakni mayyit (orang yang hidup atau belum mati). Ibn Manẓūr berpendapat bahwa mayyit tidak hanya berlaku untuk menyebut orang yang sudah mati, tetapi juga orang yang akan mati (masih hidup).
Pada masa pra Qur`anic, maut biasa digunakan orang Arab untuk mewakili makna al-sukūn (diam/ketenangan). Ibn Manẓūr juga memerinci beberapa makna yang berkembang terkait maut, khususnya setelah turunnya Alquran, yakni (1) sesuatu di balik daya yang ada pada tumbuhan dan hewan seperti dalam Surah Alhadid [57]: 17, (2) hilangnya kemampuan atau kekuatan inderawi sebagaimana dalam Surah Maryam [19]: 23, (3) hilangnya kekuatan menalar/bodoh seperti pada Surah Alan’am [6]: 122, (4) kesedihan dan ketakutan yang mengganggu kehidupan sebagaimana dijumpai dalam Surah Ibrāhīm [14]: 17, dan (5) tidur, sebagai kematian kecil. Lima potensi makna ini juga diterangkan dalam Mufradāt Alfāẓ al-Qur`ān dan Lubāb al-Ta`wīl fī Ma’ānī al-Tanzīl.
Kekayaan potensi makna dari term maut juga ditunjukkan oleh Muqātil bin Sulaimān sebagaimana dikutip oleh Setiawan dalam Alquran Kitab Sastra Terbesar, bahwa kata maut yang memiliki arti dasar mati jika dimaknai dengan memperhatikan konteks pembicaraan ayat, memiliki empat arti alternatif; (1) tetes yang belum dihidupkan, (2) manusia yang salah beriman, (3) tanah gersang dan tandus, serta (4) ruh yang hilang. Agaknya para mufasir memiliki pembacaan masing-masing dalam memaknai term maut pada tiap ayat-ayatnya.
Bagi al-Baiḍāwī, misalnya, yang merupakan mufasir sekaligus teolog kawakan Asy’ariyah, dalam Anwār al-Tazīl wa Asrār al-Ta’wīl, dia membagi makna maut sesuai dengan objeknya menjadi enam macam makna.
- Hilangnya daya tumbuh atau berkembang ketika term tersebut objeknnya ialah tumbuhan. Makna seperti ini di antaranya bisa dijumpai pada surah Albaqarah [2]: 164; Annahl [16] 65; Arrum [30]: 19, 24, 50, dan sebagainya. Misalnya, terkait term maut dengan objek al-arḍ (bumi) dalam Albaqarah [2]: 164, al-Baidhawi memberikan penjelasan mengenai penghidupan bumi dengan tumbuhnya berbagai tanaman di atasnya dari kondisi yang sebelumnya gersang (I/117).
- Malu atau khawatir. Term maut dengan makna ini ditunjukkan oleh al-Baiḍāwī ketika ia menjelaskan Surah Maryam [19]: 23. Bahwa kalimat mittu qabla hāżā maksudnya ialah merasa malu kepada manusia serta khawatir akan cacian dan hinaan mereka. Makna ini dihadirkan menimbang ayat sebelumnya yang menerangkan bahwa Jibril meniupkan ruh kepada Maryam sehingga ia mengandung Isa dan kemudian ia mengasingkan diri ketempat yang jauh. Kemudian terbayang olehnya cemooh yang akan dilemparkan kepadanya karena dia melahirkan anak tanpa suami dan dia berkata demikian (IV/8).
- Hilangnya daya nalar atau bodoh karena hati tidak mau atau tidak dapat menerima kebenaran. Makna ini ditunjukkan oleh al-Baiḍāwī dalam beberapa ayat, di antaranya ialah dalam Alan’am [6] 36, 111, 122; Ala’raf [7]: 57, dan sebagainya. Misalnya, dalam menafsirkan Alan’am [6]: 122, yakni pada kalimat Aw man kāna maytan fa-aḥyaynāhu, memsosisikannya sebagai perumpamaan orang yang dapat petunjuk Allah, diselamatkan dari kesesatan, diberi cahaya kebenaran, bisa membedakan antara yang benar dan yang salah, bisa membedakan orang yang berbuat baik dan yang berbuat buruk, tetapi hatinya tertutup sehingga tidak dapat menerima kebenaran dari Allah (II/180–181).
- Sedih dan takut akan datangnya kematian. Terkait makna ini, dalam penafsiran al-Baiḍāwī, dijumpai enam ayat, yaitu: surah Alan’am [6] 93; Alahzab [33]: 16, 19; Ibrāhīm [14]: 17, dan Muḥammad [47]: 20. Misalnya, ketika menafsirkan Ibrāhīm [14]: 17, yakni pada kalimat Wa ya`tīhi al-maut min kuli makān dan Wa mā huwa bi-mayyitin, maut diposisikan sebagai potret ketakutan akan datangnya kematian dengan gambaran bahwa orang meminum air nanah hingga tidak bisa menelan kemudian datang bahaya dari segala penjuru, akan tetapi sebenarnya dia tidak mati (III/ 196).
- Tidur. Makna lain yang diakomodasi dalam term maut ialah tidur, yakni sebuah mati ringan. Al-Baiḍāwī memberikan penjelasan seperti ini pada Azzumar [39]: 42 (V/44).
- Makna selanjutnya dari term maut ialah mati secara hakikat. Potensi makna yang terakhir ini adalah yang paling banyak tersebar di dalam al-Qur’an. Jika merujuk tulisan Herman Felani, tafsir dari al-Baiḍāwī atas term maut yang diartikan sebagai mati atau kematian hakiki tersebar dalam 102 ayat, di antaranya ialah Ali ‘Imrān [3]: 27, 49, 91, 102, 119, 143, 144, 145, 156, 157, 168, 185; Attaubah [9]: 84 dan 125; Albaqarah [2]: 28, 56, 73, 116, 132, 133, 161, 180, 217, 243, 258, 259, 260; dan seterusnya.
Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran
Dengan demikian, term maut dalam Alquran tidak melulu bermakna kematian atau hilangnya ruh dari jasad. Makna-makna yang berkembang sebagaimana diakomodasi para mufasir selalu dipengaruhi oleh konteks ayat dan objek/subjek term itu. Oleh karenanya, perbedaan perspektif yang dikedepankan memberikan pengaruh besar pada penerimaan potensi-potensi makna atas term itu. Dalam hal ini, setidaknya maut mengalami pergeseran makna dari pra Qur’anic hingga Qur`anic-pasca Qur`anic. Pada periode pra Qur`anic, term itu biasa digunakan orang Arab untuk menunjuk makna ketengan atau sesuatu yang diam, sementara ketika periode Qur’anic-pasca Qur`anic, term itu melahirkan banyak potensi makna yang secara garis besar adalah berkaitan dengan kematian atau kembali kepada Allah, di samping juga terkait hilangnya potensi hidup. Wallahu a’lam.