Pernikahan merupakan ikatan yang sangat agung dan mulia dari relasi laki-laki dan perempuan. Ikatan yang mempertemukan dua individu yang berbeda karakter dalam sebuah rumah ini membawa banyak tanggung jawab besar nan mulia, utamanya dalam hal agama. Oleh karena itu, Alquran, hadis dan bacaan keagamaan lainnya tidak luput untuk mengatur urusan pernikahan.
Laki-laki dan perempuan diciptakan memiliki fitrah yang saling membutuhkan satu sama lain. Mereka perlu mempertahankan kelangsungan jenisnya dan mencapai tujuan hidup di dunia. Laki-laki tentu memiliki karakter yang berbeda dengan perempuan, lalu dengan perbedaan tersebut keduanya ditakdirkan bersama untuk saling mengisi. Allah swt berfirman,
وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri, menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat?” (QS. An-Nahl [16]: 72)
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa diantara nikmat-nikmat Allah adalah menjadikan bagi laki-laki seorang istri yang berasal dari jenisnya sendiri. Sendainya Allah menjadikan bagi mereka istri-istri dari jenis lain, tentu tidak akan ada kerukunan dan kasih sayang diantara mereka.
Menarik untuk ditampilkan di sini yaitu penafsiran Hamka tentang relasi antara laki-laki dan perempuan yang ia sampaikan dalam bukunya, Kedudukan Perempuan Dalam Islam.
‘Diri manusia itu pada hakikatnya satu, kemudian dibagi dua; satu menjadi bagian laki-laki dan yang satu lagi menjadi bagian perempuan, sehingga meskipun terdiri dari dua corak yang berbeda, hakikat jenisnya tetap satu, yaitu manusia. Oleh karena asalnya satu kemudian dibelah dua, terasalah bahwasanya yang satu tetap memerlukan yang lain. Hidup belumlah lengkap kalau keduanya belum dipertemukan kembali. Ketika disatukan lagi, maka lahirlah manusia-manusia yang lainnya’.
Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban
Melahirkan manusia-manusia berikutnya, menjaga kelangsungan hidup anak-cucunya seperti yang disebutkan dalam keterangan di atas akan terjdi jika ada kerjasama yang baik antara laki-laki dan perempuan. Kerja sama yang baik itu salah satunya bisa diwujudkan dalam relasi yang bernama pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah ritual pengikat janji yang dilaksanakan dalam rangka meresmikan hubungan sepasang manusia secara norma agama, hukum dan sosial. Mengapa harus norma? Tentu saja agar menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk hidup yang lain. Sebab jika dilihat dari segi bahasa dalam literatur fiqih, nikah memiliki arti ad-dhammu (mengumpulkan; menyatukan) dan al-wath’u (hubungan biologis). Sehingga, nikah tanpa adanya norma-norma di atas akan menimbulkan konsekuensi serta dampak negatif bagi pelakunya.
Adapun maqashid (tujuan) pernikahan sendiri telah banyak dijelaskan melalui al-Qur’an dan sunah. Rasulullah bersabda,
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang memiliki biaya, maka menikahlah karena hal itu mampu menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.” (HR. Al-Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa dengan menikah seseorang bisa selamat dari hal-hal yang berhubungan dengan al-farji (kemaluan) yang bisa merusak agama. Oleh karenanya, dalam hadis yang lain dikatakan bahwa seseorang yang menikah itu telah menyelamatkan separuh agamanya. Di ayat yang lain juga disampaikan bahwa tujuan menikah adalah agar mendatangkan ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan. (QS. Ar-Rum [30]: 21.
Baca Juga: Walimatul Urs, Kesunnahan dan Etika Menghadirinya
Terkait hadis di atas, Syekh Taqiyuddin ad-Dimasyqi dalam Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar mengklasifikasi seseorang berdasarkan kebutuhannya terhadap pernikahan.
Pertama, taiqun ilan nikah yakni orang yang membutuhkan pernikahan. Orang yang membutuhkan pernikahan, bisa jadi memiliki kesiapan secara finansial dan bisa juga tidak. Jika kebutuhannya disertai kesiapan dalam segi finansial, maka dianjurkan menikah menurut ulama madzhab Syafi’i seperti Imam Nawawi. Sedangkan menurut Imam Ahmad, hukumnya menjadi wajib karena khawatir terjerumus dalam zina. Adapun jika kebutuhannya tidak disertai dengan kesiapan, maka Nabi dengan jelas memberi solusi agar ia memperbanyak puasa untuk meredam syahwatnya. Sebab, dengan menahan lapar dan haus seseorang bisa menjadi tenang dan seimbang sehingga syahwatnya tidak menguasai kendali diri.
Kedua, ghairu taiq ilan nikah yang berarti tidak membutuhkan pernikahan dengan alasan-alasan tertentu, misal karena masih sangat sibuk dengan kegiatannya, bisa jadi juga karena punya trauma dan semacamnya. Maka untuk kategori ini, sekalipun seseorang itu memiliki kesiapan dalam hal finansial, hukum menikah baginya adalah makruh. Terlebih lagi jika orang tersebut tidak membutuhkan pernikahan ditambah dengan tidak memiliki kesiapan, maka sudah jelas makruhnya.
Terkait hukum nikah, Syekh As-Shabuni menambahkan penjelasan dari madzhab Maliki, Hanafi dan Hanbali. Menurut mereka menikah itu sunnah. Meskipun demikian, As-Shabuni dalam tafsirnya melanjutkan bahwa perbedaan hukum tersebut melihat pada tradisi dan kebiasaan masyarakat, tidak paten. Kembali lagi, jika seseorang benar-benar dikawatirkan akan terjerumus pada perkara haram seperti zina, maka pernikahan itu hukumnya wajib, tidak bisa diganngu gugat.
Wallahu A’lam.