BerandaTokoh TafsirPesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

Pesan Gus Awis: “Galilah Khazanah Tafsir dengan Manhaj Ulama Kita!”

Mengawali tahun 2021, tafsiralquran.id bekerjasama dengan CRIS Foundation kembali menyelenggarakan webinar tafsir serial ke-5 pada Selasa (26/01) bertajuk “Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub al-Tafsir”. Dengan mengundang penulis kitab sekaligus pengasuh PP Darul Ulum Jombang, cucu dari KH. Romli at-Tamimi, Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, yakni Dr. KH. M. Afifuddin Dimyathi Romli, Lc., M.A atau kerap disapa Gus Awis.

Dalam paparannya, beliau menjelaskan bahwa alasan dibalik penyusunan Jam’ul Abir adalah meneruskan tradisi ulama dengan menulis. Selain itu, mengetahui khazanah tafsir, thabaqat para ahli tafsir, serta tahun hidup dan kematiannya. Hal ini tentu sangat membantu beliau dalam melacak perkembangan studi tafsir. Lebih dari itu, beliau ingin mengenalkan tafsir-tafsir karya ulama Nusantara dan Asia Tenggara ke dunia Islam.

Jadi, pengetahuan akan karya tafsir Al-Quran tidak hanya berkutat pada tafsir Timur Tengah, misalnya Tafsir At-Thabari, Tafsir al-Qurtuby, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir ar-Razi, dan seterusnya, melainkan juga karya-karya tafsir dari ulama Nusantara, seperti Turjuman al-Mustafid, Tafsir Marah Labid, Tafsir Al-Ibriz, Tafsir Iklil, dan sebagainya.

Baca juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

Selain itu, beliau mengupas fokus Jam’ul ‘Abir adalah pada kutub at-tafsir.

“Jadi saya memang sengaja hanya memasukkan ulama yang mempunyai kitab tafsir utuh 30 juz”, terang Gus Awis.

“Tentu ini bukan bermaksud merendahkan beliau-beliau sebagai orang yang kapabel dalam menafsirkan Al-Quran. Beliau-beliau yang dimaksudkan seperti profesor, doktor di lingkungan kampus, maupun kiai di pesantren. Gus Baha’ misalnya, beliau adalah seorang mufasir meskipun tidak mempunyai karya tafsir akan tetapi beliau menyampaikan pandangan-pandangannya kepada orang lain melalui sosial media”, imbuh kawan dekat Ust. Abdul Somad ini.

Ia juga menambahkan, “ini tentu subjektivitas saya sebagai mufasir. Dan ini wajar sebab mufasir sendiri bermakna mereka yang menyampaikan penafsiran Al-Quran sesuai kadar keilmuannya atau semampunya. Saya menghargai karya tafsir Al-Quran yang berkembang sebab memang itulah kemampuannya dalam menafsiri. Kita patut bersyukur di era kontemporer, Indonesia dianugerahi ulama tafsir, Prof Quraish Shihab dengan karyanya Tafsir al-Misbah yang menjadi tonggak sejarah penafsiran Al-Quran di abad 20“

Monodisiplin, efektifkah?

Beliau juga menuturkan yang agak langka dewasa ini adalah tafsir Al-Quran berbasis qiraat.

“Pasalnya, penafsiran Al-Quran selama ini banyak didominasi oleh satu qiraat, Qiraat Hafsh dari Ashim misalnya, padahal ada tujuh qiraat (qiraat sab’ah), ada Qiraat Warasy, Imam Nafi’, Ibnu Katsir dan seterusnya. Penafsiran Al-Quran yang berpijak pada qiraat Hafsh umpamanya akan menghasilkan corak penafsiran Al-Quran menurut qiraat Hafsh, begitu pula seterusnya”, tutur alumni S3 al-Neelain University, Sudan ini.

Maka sebaiknya, para pengkaji Al-Quran atau mufasir Al-Quran menyampaikan secara eksplisit di muqaddimahnya bahwa karya tafsir ini mengikuti mazhab qiraat Imam Hafsh ‘an Ashim misalnya, sehingga jelas ketika ia menafsirkan suatu ayat, para pembaca dapat memahami bahwa tafsir ini mengikuti qiraat Hafsh. Sebab misalkan menafsiri satu ayat, maaliki yaumid din.

“Kata malik, jika berpijak pada qiraat ‘Ashim, al-Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf bin Hisyam, maka ia bermakna raja (maalik dengan a panjang). Allah adalah Raja jika merujuk pada qiraat tersebut. Hal ini tentu berbeda secara diametral dengan qiraat Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, Hamzah, yang malik dengan a pendek, ia bermakna penguasa. Allah adalah penguasa jika merujuk qiraat tersebut.

Baca juga: Serial Diskusi Tafsir Ngaji Kitab Jam’ul ‘Abir fi Kutub Tafsir Bareng Gus Awis

Maka, jika menafsirkan Al-Quran dengan beberapa qiraat di atas menghasilkan pemahaman bahwa Allah adalah Raja dan Penguasa. Sebab, jelas Gus Awis, ada Raja yang tidak berkuasa, seperti Raja Malaysia. Ada penguasa yang tidak berstatus sebagai Raja, Perdana Menteri misalnya. “Nah, Allah itu ya Raja, ya Penguasa. Itulah kelebihan menafsirkan Al-Quran dengan tidak menggunakan satu pendekatan atau monodisiplin”. Tandas Pengasuh PP Darul Ulum Jombang ini

Meski begitu, Gus Awis tetap menghargai dan mengapresiasi mufasir yang menggunakan satu pendekatan dan subjektifitasnya baik pendekatan fiqhi, falsafi, mazhabi, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, Gus Awis juga mengulas definisi mufasir, menurutnya mufasir adalah seseorang yang menekuni dunia penafsiran atau berdekatan dengan kajian Al-Quran yang menyampaikan pandangan-pandanganya kepada orang lain sesuai kapasitasnya. Mereka tidak harus mempunyai karya penafsiran lengkap 30 juz.

Banyak ulama timur tengah atau ulama kita di Nusantara yang beliau adalah mufasir kenamaan tapi tidak mempunyai karya tafsir utuh, ada yang separuh 15 juz, beberapa surat saja, bahkan sama sekali tidak mempunyainya. Mereka tetap disebut mufasir asal menyampaikan pandangannya kepada masyarakat sehingga diikuti atau “disitasi” oleh jamaahnya.

Baca juga: Resolusi Al-Quran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth

Pesan Gus Awis: “galilah manhaj ulama salafus shalih!”

“Menafsirkan Al-Quran bukan untuk keren-kerenan. Bukan untuk berbeda dengan yang sudah ada (mengikuti ulama). Saya pribadi sangat menyayangkan bilamana ada penafsir Al-Quran maupun mahasiswa tafsir yang mencoba menafsiri Al-Quran dari pendekatan Barat demi tampil beda atau keren-keren-an. Cobalah dikuatkan dulu pondasi khazanah keilmuan tafsir dari ulama salafus shalih kita. Andaikan kita tidak mampu menafsiri Al-Quran dan mengharuskan mengutip pendapat yang tarjih (unggul), why not (kenapa tidak)? Bukankah memang demikian dalam penafsiran.

Saya tidak anti pendekatan dari Barat misalnya hermeneutik. Namun demikian, legacy ulama salafus shalih kita sangatlah kaya. Sayang jika legacy ini kita tidak mewarisi dan meneruskannya. Kalau bukan kita umat Islam lantas siapa lagi? Subjektifitas tentu ada, namun jangan sampai meninggalkan legacy ulama salafus shalih kita”, terang Ulama Muda asal Jombang ini.

Beliau juga mewanti-wanti, janganlah kita menafsirkan Al-Quran dengan ittiba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu). Al-Quran adalah kalam Allah yang terpuji yang diturunkan kepada manusia untuk dipedomani dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari agar manusa senantiasa bahagia dalam bimbingan rabba hadzal bait, Allah swt. Semoga kita semua mampu meneladani ulama salafus shalih dan senantiasa menghadirkan penafsiran Al-Quran yang sejuk lagi damai. Amin. Ushini wa iyyaya bitaqwallah. Wallahu a’lam[]

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...