Mesir tampaknya memang telah digariskan menjadi kiblat pemikiran Islam, terutama setelah pamor Baghdad sebagai the golden age of Islam menyuram. Masa keemasan pemikiran Islam di Mesir ditandai dengan tampilnya Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Di antara diskursus yang meramaikan peta pemikiran Mesir adalah tafsir Al-Qur’an. Berbagai varian tafsir lahir dari tanah Mesir yang subur dengan intelektualitasnya. Sebagaimana kajian yang dilakukan oleh J.J.G. Hans Jansen. Berbeda dari akademisi-akademisi sebelumnya, Jansen memotret perkembangan tafsir modern Mesir secara keseluruhan.
Menariknya, diskursus tafsir Al-Qur’an yang dilakukan Jansen merupakan kajian awal yang mereview tafsir mufasir perempuan pertama, yakni Aisyah ‘Abdurrahman Bint Asy-Syathi’, yang mana peneliti Barat banyak yang belum membahasnya. Jansen mengawali peta perkembangan tafsir Mesir periode modern dengan tafsir Muhammad Abduh. Bagi Jansen, Abduh adalah embrio pembaruan kajian Al-Qur’an, meskipun jika dilihat ke belakang embrio penafsiran di Mesir sudah tumbuh jauh sebelum fase Abduh dan Rasyid Rida, bahkan barangkali sudah ada sejak fase imperium Islam di Mesir pada masa Umar bin Khattab (Dzikri Nirwana, 2010: 27).
Berusaha untuk menfokuskan kajiannya, maka Jansen memilih Mesir dan tafsir modern berdasarkan: pertama, modernisasi pemikiran Islam tidak dapat dilepaskan dari embrio pembaruan Abduh, di mana ia sekaligus melakukan renovasi besar-besaran terhadap kajian Al-Qur’an. Kedua, banyaknya koleksi “tafsir baru”, di antaranya al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim yang merupakan satu-satunya tafsir karya mufasir perempuan-Bint Syathi’. Ketiga, Jansen merupakan doctor muda Leiden pada awal dekade 60-an yang berada di bawah bimbingan J. Brugman-seorang spesialis sastra dan budaya Timur Tengah.
Baca Juga: Bint As-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah
Selanjutnya, dalam menganalisis objek kajiannya Jansen mengkategorikan ke dalam tiga kelompok, pertama, tafsir yang mengadopsi ilmu pengetahuan modern yang tidak bersebrangan dengan Al-Qur’an-selanjutnya disebut tafsir ‘ilmi. Kedua, karya tafsir yang ditujukan untuk membantu pembaca dalam memahami Al-Qur’an atau Jansen memyebutnya tafsir lughawi. Ketiga, tafsir yang bersinggungan dengan keseharian umat atau biasanya disebut dengan tafsir praktis (tafsir adabi ijtima’i).
Sekilas tentang J.J.G. Hans Jansen
Johannes Juliaan Gijsbert Hans Jansen adalah seorang pengarang, politikus dan sarjana Islam kontemporer Belanda. Lahir di Belanda tepatnya pada 17 November 1942 dan meninggal pada 5 Mei 2015. Jansen tertarik untuk mempelajari teologi namun kemudian beralih mendalami bahasa Arab dan Semitik. Ia lulus dan meraih gelar sarjana dalam bidang bahasa Arab dari Universitas Leiden.
Jansen pernah bekerja di Mesir menjadi Direktur Institut Penelitian Belanda di Kairo. Semasa inilah dia menekuni dan meneliti tentang tafsir kontemporer yang berkembang di Mesir. Selesai dari Mesir, tepatnya pada tahun 1983 ia menjadi profesor asosiasi pembelajaran Arab dan Islam di Universitas Leiden.
Beberapa karyanya yang dialihbahasakan ke Bahasa Inggris antara lain: The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1974, The Neglected Duty: The Creed of Sadat’s Assassins and Islamic Resurgence in the Middle East (New York: Macmillan, 1986), The Dual Nature of Islamic Fundamentalism (London: Hurst & Company, 1997)
Muhammad Abduh: Pioner Tafsir Modern dan Tawaran Tafsir Praktis
Dalam bukunya yang telah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia berjudul “Diskursus Tafsir Modern”, Hans Jansen menganalisis bahwa belum ada tafsir baru di Mesir pada abad ke-19. Kemudian muncullah Abduh dan Rasyid Rida sebagai ‘sang pembabat alas’ bagi sejumlah tradisi tafsir di abad ke-19. Upaya renovasi yang dilakukan Abduh adalah dengan membuang bobot pengetahuan tafsir klasik yang dianggapnya terlalu membebani pembaca. Sebaliknya, dalam tafsirnya, Abduh menawarkan tafsir yang bernarasikan nasihat yang praktis, arif dan bijaksana untuk menjawab problem keseharian umat Muslim di Mesir pada zamannya. Selain itu Abduh menekankan pada nasihat-nasihat akan pentingnya pendidikan, dikarenakan pendidikan sangatlah penting bagi masyarakat Mesir untuk mengusir penjajah.
Hans Jansen juga memperlihatkan bahwa tradisi tafsir yang dibangun oleh Abduh merupakan sebuah gebrakan dari tafsir sebelumnya yang sangat padat dengan gramatika bahasa, istilah Arab, biografi Nabi, hukum dan dogma Muslim, dan lain-lain. Sementara Abduh menempatkan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, di mana Al-Qur’an mudah dipahami secara praktis. Nilai kebaruan Abduh yang lain juga diungkap oleh Jansen, bahwa Abduh menilai Al-Qur’an sebagai kitab yang seharusnya umat Islam bisa merumuskan pemikiran-pemikiran mengenai dunia sekarang dan dunia yang akan datang.
Deretan Mufasir Penerus dan Pengkritik Tradisi Muhammad Abduh
Setelah Abduh wafat, kerja-kerja menafsirkan Al-Qur’an yang menjadi ciri khasnya dilanjutkan oleh Rasyid Rida. Meskipun awalnya tafsir yang ditulis Rida tidak sesukses Abduh. Namun dengan tendensi Abduh, akhirnya tafsir lanjutan Rasyid Rida diterima masyarakat Mesir (Jansen: 30). Pada akhirnya tafsir Abduh dan Rida mencapai kesuksesan besar, di mana tafsirnya menjadi kutipan otoritatif di kalangan ulama Mesir progresif maupun konservatif.
Selain tafsir praktis yang mudah dipahami, kebaruan dalam diskursus tafsir di Mesir setelah ‘direnovasi’ oleh Abduh adalah munculnya tafsir ‘ilmi. Hans Jansen menjelaskan kemunculan Farid Wajdi dengan karya tafsirnya Safwat al-Irfa>n yang menyusun tafsir Al-Qur’an pertama yang mengintegrasikan tafsir ilmiah modern. Tidak hanya itu, Wajdi juga memunculkan metode baru dalam penulisan tafsir Al-Qur’an. Pertama, tafsir didahului dengan esai mengenai tafsir Al-Qur’an secara umum. Esai pengantar ini telah dicetak ulang secara terpisah.
Kedua, Wajdi menuliskan tafsirnya ke dalam dua bagian; bagian pertama memuat apa yang lazimnya disebut tafsir-penjelasan-penjelasan sederhana terhadap kata yang sulit serta analisis sintaksis terhadap kalimat-kalimat yang susah dipahami. Penjelasan ini terletak di dalam bagian tafsir al-alfaz. Sementara bagian kedua memuat bagian tafsir al-ma’a>ni (penjelasan terhadap makna) yang oleh Wajdi dijelaskan menggunakan bahasa Arab standar kontemporer dan diselingi dengan ungkapan-ungkapan kekaguman dan pentingnya Al-Qur’an. Ketiga, tafsir Wajdi merupakan salah satu tafsir awal yang menjadikan sejarah alam hanya salah satu aspek dari penafsiran Al-Qur’an (Jansen: 67-68).
Mufasir lainnya adalah Amin al-Khuli, yakni Menyusun tafsir dengan tetap melanjutkan pemikiran Abduh namun dibarengi dengan kritik atas upaya yang dilakukan Abduh yang membatasi perhatiannya pada gramatika tafsir dan membuatnya anti-filologi. Bagi Al-Khuli gramatika sangatlah penting dalam memahami Al-Qur’an, karena tafsir berangkat dari makna literal yang benar terlebih dahulu untuk sampai pada menjemput hidayah.
Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi
Oleh karena itu, Al-Khuli menemukan jalan keluar atas dilematika antara filologi dan pengetahuan. Tulisan-tulisannya selanjutnya sangat berpengaruh pada hubungan antara filologi dan penafsiran Al-Qur’an di Mesir (Jansen: 105). Secara ideal Al-Khuli menyatakan bahwa studi Al-Qur’an dibagi ke dalam dua bagian: pertama, tentang latar belakang Al-Qur’an, meliputi asbab al-nuzul dan tentang bahasa masyarakat yang dituju oleh Al-Qur’an. Kedua, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an harus melihat studi-studi terdahulu.
Upaya Al-Khuli untuk mengkritik tafsir Abduh ini selanjutnya dipraktekkan oleh istrinya ‘Aisyah Abdurrahman Bin Syathi’ dalam menafsirkan tujuh surat pendek Al-Qur’an. Tulisan tafsirnya kemudian dipublikasikan hingga edisi ketiga pada tahun 1968, di mana hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Mesir menaruh perhatian terhadap karyanya. Hans Jansen menjelaskan bahwa Bint Syathi’ benar-benar membuktikan kompetensinya sebagai seorang filolog.
Hal ini dibuktikan dari tafsirnya yang selalu diawali dengan suatu bahasan yang rinci tentang lafaz-lafaz yang dipakai di dalam teks Al-Qur’an dan memberikan kemungkinan-kemungkinan maknanya. Di samping itu, sebagaiman Al-Khu>li, Bint Syathi’ juga mengemukakan referesni yang berasal dari tafsir Al-Qur’an terdahulu.
Mufasir penerus Abduh selanjutnya adalah Muhammad Musthofa Al-Maraghi. Sebagai seorang tokoh yang pernah menjabat sebagai rector Al-Azhar selama dua periode, Al-Maraghi tidak menulis tafsir Al-Qur’annya secara lengkap. Pernyataannya tentang tafsir adalah perlunya pengetahuan yang cukup atas “ilmu pengetahuan modern”, di mana ia menjadi syarat penting bagi seorang mufasir kontemporer. Kendati demikian, Al-Maraghi menolak penafsiran ilmiah. Wallahu a’lam