BerandaKhazanah Al-QuranDialog“Plagiarisme” Alquran (Bag. 4-Habis): dari Dzulqarnain hingga Salman

“Plagiarisme” Alquran (Bag. 4-Habis): dari Dzulqarnain hingga Salman

Anggapan Aleksander adalah Dzulqarnain sudah mengakar di kalangan kaum muslimin yang tidak lepas dari tradisi Nasrani dalam manuskrip yang berasal dari abad 3 hingga 4 M.

Dalam sebuah manuskrip berbahasa Yunani, sosok historis Aleksander telah bercampur dengan fiksi yang kental dengan nuansa mistis. Teks Alexander Romance berbahasa Yunani itu sendiri bukan versi orisinal, melainkan modifikasi dari Alexander Romance versi koptik Mesir.

Teks Mesir tersebut kemudian diterjemahkan lagi ke berbagai bahasa dan tersebar ke kawasan timur hingga barat. Dua versi yang paling tua dari Alexander Romance adalah versi Latin (4 M) dan versi Armenia (5 M). Setelah itu, muncul versi Suriah yang masa penulisannya diduga kuat oleh para orientalis berasal dari abad 7-10 M dan pengembangannya berlanjut hingga abad 18 M.

Versi gubahan tersebut oleh sejarawan barat disebut Syriac Alexander Legend atau Christian Legend–manuskrip yang berangkat dari naskah asli Alexander Romance. Dalam manuskrip versi Suriah ini, terdapat banyak sekali tambahan.

Sebagai contoh, dari ketiga versi asli Alexander Romance yang telah disebutkan sebelumnya, tidak ditemukan adanya pembangunan tembok besi oleh Aleksander yang dibangun sebagai pemisah antara “masyarakat beradab” dengan bangsa Gog dan Magog. Kisah tersebut baru muncul dalam versi Christian Legend yang mendompleng teks Alexander Romance, versi asli yang telah ada lebih dahulu berabad-abad sebelumnya.

Terdapat perdebatan di kalangan orientalis kapan tambahan itu dimasukkan ke dalam manuskrip asli Alexander Romance. Namun, jika dikerucutkan dari pendapat yang ada, tambahan itu muncul di antara abad 7-10 M, bahkan terus mengalami penambahan hingga abad 16-18 M.

Emeri van Donzel dan Andrea Schmidt dalam Gog and Magog in Early Eastern Christian and Islamic Sources – Sallam’s Quest for Alexander’s Wall menulis:

Legenda Aleksander [versi Suriah] ditulis oleh seorang Nasrani dari Mesopotamia di wilayah Amid atau Edessa. Ia ditulis pada tahun 629-30 M. setelah kemenangan gemilang Kaisar Heraklius atas raja Persia, Khusrou.

Jika kita runut, kita tetapkan tahun 629-630 M sebagai terminus a quo, yakni waktu paling awal, atau batas maksimal kapan tambahan itu muncul. Pada tahun tersebut, surah Alkahfi telah selesai diturunkan bertahun-tahun sebelumnya. Oleh sebab itu, kisah Aleksander yang memiliki kemiripan luar biasa dengan kisah Dzulqarnain dalam Alquran ditulis setelah turunnya surah Alkahfi.

Namun, terminus a quo ini hanyalah batas minimal. Para orientalis dan sejarawan memandang tambahan itu muncul pada abad 10 M dan seterusnya. Tambahan itu merupakan, “Sebuah eksploitasi Alexander putra Philip dari Makedonia, tentang bagaimana dia pergi ke ujung dunia, dan membuat gerbang besi dan menutupnya di arah utara, bahwa bangsa Hun kemungkinan tidak akan keluar untuk merusak negari-negeri.” Demikian dari Emeri van Donzel.

Dalam tambahan itu terdapat juga kisah pengembaraan Aleksander ke timur dan barat sebagaimana yang dilakukan Dzulqarnain dalam surah Alkahfi. Sedangkan dalam teks asli Alexander Romance tidak disebutkan mengenai perjalanan Aleksander ke timur dan barat.

Tidak pula disebutkan kisah pembangunan dinding untuk membendung Gog dan Magog. Semua tambahan itu merupakan refleksi dari horor akan kedatangan Gog dan Magog yang menghantui umat Nasrani di zaman penulisannya.

Terminus a quo dari Syriac Alexander Legend atau legenda Nasrani tentang Aleksander itu adalah tahun 629-630, sedangkan sejarawan barat berpendapat ia ditulis antara abad 7 M sampai 10 M, dan modifikasi terus ditambahkan hingga antara abad 16-18 masehi. Maka wajar jika terdapat kejanggalan dalam narasi Syriac Alexander Legend ini, yakni adanya istilah “Kerajaan Bangsa Arab” dalam narasi tersebut.

Ia menunjukkan satu hal, Kekhalifahan Islam. Sebab, bangsa Arab tidak bersatu di bawah suatu kerajaan melainkan setelah para sahabat Nabi menyatukan seluruh wilayah Syam, Mesir, Irak, hingga Persia pada abad 7 M.

Jika demikian, maka ini menambah indikasi bahwa tambahan narasi pada Alexander Romance ditulis di zaman kekhalifahan Islam, bukan pada abad 3-5 M sebagaimana mereka klaim.

Bahkan seorang peneliti bernama K. Czeglédy dalam jurnalnya di tahun 1954 berjudul Monographs on Syriac and Muhammadan Sources in the Literary Remains of M. Kmosko mengatakan bahwa seluruh tambahan dalam naskah asli Alexander Romance itu dimasukkan saat penaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Penambahan mungkin bertujuan untuk mengkonsolidasi kebangkitan barat setelah kekhalifahan Utsmaniyah menguasai Konstantinopel.

Sisipan kisah Aleksander dan dinding Ya’juj dan Ma’juj ini kemungkinan besar muncul dari sebuah karya berjudul Apocalypse of Pseudo-Methodius, sebuah karya yang berupaya memberikan semangat keagamaan setelah wilayah-wilayah mereka jatuh ke tangan kaum muslimin.

Terpenting, karya Apocalypse of Pseudo-Methodius ini memiliki terminus a quo 670 SM! Oleh karenanya besar kemungkinan karya tersebut menyandarkan narasinya kepada karya-karya ulama mufassirin (ahli tafsir) di era-era awal.

Selain versi Christian Legend mengenai Aleksander ini ada satu karya yang dinisbatkan kepada Jacob of Serugh (wafat 521 M) yang hidup di masa sebelum kenabian. Karya ini dijadikan rujukan sekaligus argumentasi bahwa Alquran menjiplak teks-teks terdahulu, mengingat Jacob of Serugh hidup di zaman pra kenabian.

Namun, sebagian orientalis memandang karya yang dinisbatkan kepada Jacob of Serugh itu justru ditulis setidaknya pada abad 7 M, terpaut jauh setelah wafatnya Jacob. Logis, karenanya jika karya ini termasuk pseudopigrapha, penisbatan karya pada seseorang padahal orang tersebut hidup di periode berbeda.

Baca juga: “Plagiarisme” Alquran (Bagian 1): dari Hammurabi hingga Hitti

Akhir Perjalanan Salman

Pendeta sekaligus orientalis bernama Clair Tisdall dalam karyanya, The Original Sources of The Qur’an (hlm. 134) mengatakan bahwa salah satu sumber plagiarisme Alquran adalah Salman al-Farisi. Pada tahun 2019 silam, seseorang bernama Ali Akbar dalam sebuah publikasinya menggaungkan klaim semisal bahwa Islam meminjam sebagian aspek dari Zoroastrianisme, di antaranya ranah eskatologi.

Apabila kita menelisik literatur sirah, meski Salman al-Farisi memeluk Islam, hal itu tidak lantas menjadikannya langsung duduk bersama para sahabat lainnya untuk mendengarkan pengajaran dari Nabi. Salman juga tidak dapat turut serta berjihad dalam Perang Badar dan Uhud. Sebab, status Salman kala itu masih sebagai budak.

Menurut Ibnu Hisyam, syarat pembebasan dirinya adalah menanam 300 pohon kurma dan sejumlah emas. Ini berarti, Salman membutuhkan waktu beberapa lama lagi agar dia dapat menyertai Rasulullah. Barulah ketika menjelang Perang Khandaq, Salman benar-benar menjadi seorang yang merdeka dan turut serta bersama kaum muslimin berjihad dalam perang tersebut di bawah komando Rasulullah.

Jika memang terjadi praktek menjiplak, hal itu baru dapat dilakukan di kemudian hari, yakni ketika Salman bebas dari statusnya sebagai budak dari sebuah keluarga Yahudi. Jika demikian, bagaimana dengan ⅔ kandungan Alquran lainnya yang diturunkan di Makkah?

Tampaknya, semakin jauh melangkah, semakin inkonsisten dan kontradiktif klaim plagiarisme Alquran tersebut.

Demikian rangkaian artikel mengenai plagiarisme Alquran. Semoga Allah memberi taufik untuk kita semua. Wallahu a’lam.

Baca juga: Alquran Dituduh Terpengaruh Yahudi dan Kristen, Ini Tanggapan Fazlur Rahman

Wisnu Tanggap Prabowo
Wisnu Tanggap Prabowo
Dosen STEI Tazkia, Pengajar LBPP LIA Pajajaran, Trainer Pusdiklat Mahkamah Agung, dan Peneliti IHKAM
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...