BerandaTafsir Al QuranPlagiarisme dan Relevansinya dalam Al-Quran: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 188

Plagiarisme dan Relevansinya dalam Al-Quran: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 188

Plagiarisme atau plagiat merupakan tindakan kejahatan dengan cara mengklaim sebagian atau keseluruhan ide, gagasan, pendapat atau kekayaan intelektual orang lain sebagai miliknya baik dalam bentuk offline maupun online. Plagiarisme ini bukan istilah baru lagi di telinga kita, karena plagiarisme telah berlansung sejak abad ke-19 hingga sekarang. Bahkan saat ini, plagiarisme semakin berjamuran dan mudah dilakukan seiring berkembang pesatnya dunia digital (internet). Lantas pertanyaannya, bagaimana plagiarisme dan relevansi dalam al-Quran?

Faktanya, secara teks al-Qur’an tidak menjelaskan apapun tentang plagiarisme. Maka jawabannya dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, secara substansi tindakan plagiarisme sama dengan konsep al-Gasab (الغَصَبُ). Dalam kamus al-Mu’jam al-Wasit berarti menguasai hak orang lain dengan cara tidak benar atau zalim baik hak tersebut dalam bentuk materi atau bukan.

Baca juga: Pembacaan Zaghlul An-Najjar terhadap Ayat-ayat Kematian

Penafsiran al-Gasab dalam Surat al-Baqarah Ayat 188

Tindakan al-Gasab ini dilarang keras oleh Allah swt. seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Baqarah/2:188.

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil (tidak benar), dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Menurut Jalaluddin al-Suyuti dalam Lubaab al-Nuquul Fii Asbaab al-Nuzul menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa sengketa tanah antara Al-Qays bin Abis dan ‘Abdan bin ‘Asywa Al-Hadrami. ‘Abdan di situ mengakui sebagai pemilik tanah tersebut namun al-Qays bersumpah sebagai penolakan pengakuan sepihak dari ‘Abdan. Sehingga turunlah ayat ini. Kemudian ‘Abdan menyadari bahwa ia salah karena telah mengakui milik orang lain dengan cara yang tidak benar (batil).

Kata الْبَاطِلُ dalam ayat ini menurut M.Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah berarti pelanggaran terhadap ketentuan agama dan syariat. Dalam konteks ini, tindakan plagiarisme merupakan tindakan melanggar syariat karena tidak menghargai jerih payah orang lain melainkan memakan harta orang dengan tidak adanya izin pemilik (tidak benar). Memakan harta di sini bukan hanya diartikan sebagai bentuk kepemilikan benda atau barang namun mencakup dari segala aspek kehidupan termasuk kepemilikan intelektual.

Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia

Selain itu, pelanggaran syariat pada plagiarisme, juga terdapat adanya unsur kebohongan dengan pengakuan bahwa harta tersebut adalah miliknya. Diriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar, Rasulullah saw. bersabda:

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ

“Orang-orang yang mengaku memiliki sesuatu padahal ia tidak memilikinya bagaikan orang yang memakai dua pakaian dusta (HR. Muslim Juz 3 No. 127)

Senada dengan lembaga fatwa mesir, Darul iftah Al-Misriyyah, mengatakan bahwa plagiarisme terhadap hak intelektual merupakan tindakan yang diharamkan oleh syarak karena termasuk dalam penyalahgunaan hak, berlaku zalim terhadap hak orang lain, berdusta, pemalsuan, penggelapan, serta terdapat praktik penelantaran terhadap hak orang lain dan praktik memakan harta orang lain dengan cara batil.

Majelis Ulama Indonesia pun dalam fatwanya No.1/MunasVII/MUI/5/2005 menetapkan ketentuan hukum bahwa setiap bentuk pelanggaran hak kekayaan intelektual jika tanpa izin hukumnya haram karena telah berbuat zalim.

Kedua, tindakan pencurian (السَّارِقُ) dikategorikan sebagai tindakan plagiarisme karena mencuri ide, gagasan atau karya orang lain. Padahal dalam QS. al-Maidah/5:38, Allah swt. mengancam orang yang melakukan pencurian dengan hukuman yang berat.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan siksaan Allah swt. sungguh Allah Maha pengapun, Maha Penyayang.”

Baca juga: Ingin Menjadi Dai? Ini Kriteria Ketat menurut Al-Quran

Menurut Mustafa al-Maragi dalam Tafsir Al-Maragi menjelaskan bahwa setelah Allah swt. pada ayat sebelumnya menjelaskan hukuman terhadap mereka yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan merusak di muka bumi dengan memakan harta orang lain secara batil dan terang-terangan.

Kemudian Allah swt. memerintahkan untuk melakukan pekerjaan (karya-karya) yang dapat menyempurnakan iman dan mendidik jiwa agar terhindar dari perbuatan maksiat. Maka pada ayat ini, Allah swt. menjelaskan hukuman terhadap tindakan pencurian yakni mengambil, memakan dan menggunakan harta yang bukan miliknya dengan sembunyi-sembunyi yakni hukuman potong tangan.

Perlu digaris bawahi bahwa ayat di atas tidak bisa hanya dipahami secara tekstual. Dikarenakan ada ulama yang berpendapat bahwa tindakan pencurian tidak selalu dikategorikan al-Hudud (hukum syariat) akan tetapi boleh dengan hukuman ta’zir yang dikembalikan pada kebijakan pemerintah atau aparat hukum.

Sehingga dalam hukum positif Indonesia menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa tindakan plagiarisme akan mendapatkan sanksi penjara paling lama dua tahun dan denda uang paling banyak Rp. 200.000.000. Kemudian diatur juga dalam pasal 113 UU No. 28 Tahun 2004 tentang hak cipta dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).

Dengan demikian, perlunya menghindari tindakan plagiarisme. Sanksi hukuman dunianya sangat berat apalagi sanksi hukuman akhiratnya. Semoga penulis maupun pembaca terhindar dari tindakan tersebut. Wallahu A’lam[]

Widia Amelia
Widia Amelia
Mahasiswi Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Minat Kajian : Tafsir Wa 'Ulumuhu, Ig: Amelya Widya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...