BerandaKhazanah Al-QuranTradisi Al-QuranPolemik Doa setelah Surah Alfatihah dalam Salat

Polemik Doa setelah Surah Alfatihah dalam Salat

Kecenderungan minat masyarakat muslim saat ini terhadap kajian berbasis hadis semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai isu yang sering kali dikaitkan dengan hadis. Tujuan yang ingin diperoleh tak lain adalah mendapatkan legitimasi valid yang berasal dari sumber utama, yakni Nabi Muhammad saw.

Buntut dari fenomena ini adalah adanya peminggiran terhadap sumber legitimasi lain, yang mungkin sebelumnya menjadi rujukan utama, fikih misalnya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia “dibesarkan” oleh dua tradisi besar, fikih dan tasawuf. Hadis, justru memiliki prosentase paling kecil dalam kontribusinya “membesarkan” Indonesia.

Dalam frame ini, penulis mendapati satu isu menarik berkaitan dengan praktik pembacaan doa yang dilakukan setelah membaca surah Alfatihah dan sebelum melafalkan amin. Doa tersebut memiliki redaksi rabbighfirli. Sebagian muslim ada yang menambahkan dengan wa li walidayya dan atau wa li al-muslimin wa al-muslimat, yang pada prinsipnya merupakan tambahan objek permintaan ampunan (maghfirah).

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Praktik yang penulis jumpai cukup menarik karena dilakukan oleh seorang imam salat jahr (dengan bacaan keras) secara jahr pula. Praktik ini penulis jumpai di wilayah Kalibawang, Kabupaten Wonosobo. Belakangan, praktik ini mendapatkan “gugatan” dari beberapa kalangan terkait keabsahan dan landasan yang digunakan.

Bagi beberapa muslim, doa tersebut cukup familier dibaca di luar salat (qira’ah kharij al-shalah), baik dalam bacaan individual maupun acara seremonial. Selain itu juga pada ibadah salat sendirian (munfarid) atau salat lain yang dilakukan secara sirr (pelan). Membaca doa tersebut ketika salat secara jahr mungkin cukup menimbulkan polemik.

Dalam perspektif fikih, penjelasan atas praktik tersebut agaknya cukup jelas sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Bajuriy dalam kitabnya, Hasyiyah al-Bajuriy,

 (عقب الفاتحة) اى أو بدلها إن تضمن دعاء على المعتمد، والتقييد بالعقيبة يفيد أنه يفوت بالتلفظ بغيره وإن قل ولو سهوا. نعم، يستثنى رب اغفر لي ونحوه لوروده عن النبي صلى الله عليه وسلم.

“(Mengiringi surah Alfatihah) yakni atau penggantinya manakala memuat unsur doa menurut pendapat yang mu‘tamad. Batasan “mengiringi” memberi faedah bahwa kesunahan membaca amin menjadi terlewat jika berucap dengan yang lain kendati sedikit dan lupa. Akan tetapi, dikecualikan darinya mengucapkan doa rabbighfirli dan sejenisnya karena ada riwayat yang warid dari Nabi saw.”

Baca juga: Bacaan Amin dan Keutamaan Membacanya setelah Surah Alfatihah

Dalam naskah yang penulis gunakan, riwayat yang digunakan Syekh Al-Bajuriy tersebut merujuk pada Al-Sunan al-Kubra milik Imam Al-Baihaqiy, tepatnya pada riwayat nomor 2450 yang berbunyi,

وأخبرنا أبو الحسين بن بشران، أنبأ أبو جعفر الرزاز، ثنا أحمد بن عبد الجبار العطاردي، ثنا أبي، عن أبي بكر النهشلي، عن أبي إسحاق، عن أبي عبد الله اليحصبي، عن وائل بن حجر، أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم حين قال: غير المغضوب عليهم ولا الضالين قال: رب اغفر لي آمين.

“Telah menceritakan kepada kami Abu al-Husain bin Bisyran, Abu Ja‘far al-Razzaz bercerita, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin “Abd al-Jabbar al-‘Atharidiy, ayahku telah menceritakan kepadaku dari Abu Bakr al-Nahsyiliy, dari Abu Ishaq, dari Abu “Abdullah al-Yahshubiy, dari Wa’il bin Hujr, ia mendengar dari Rasulullah ketika membaca ayat ke-7 dari surah Alfatihah, beliau berdoa: rabbighfirli amin.” (H.R. Muslim)

Upaya pencarian sederhana yang penulis lakukan melalui aplikasi hadis Al-Mausu‘ah al-Haditsiyyah mendapati bahwa isnad dari riwayat tersebut adalah tidak sahih (isnaduh la yashih). Hal ini dikarenakan keberadaan Abu Bakr al-Nahsyiliy (?) yang dianggap lemah (dla‘if). Namun demikian, Sayyid Abu Bakr Syatha dalam Hasyiyah I‘anah al-Thalibin dan Syekh Syihab al-Din al-Qulyubiy dalam Hasyiyah al-Qulyubiy menyebutkan bahwa riwayat tersebut adalah hasan. Pendapat tersebut bahkan dinukil pula dari Imam Ibn Hajar.

Baca juga: Mengenal Bey Arifin dan Tafsir Samudera Al-Fatihah

Kalau pun riwayat Imam Al-Baihaqiy tersebut benar lemah adanya, melakukan doa tersebut tetap diperbolehkan berdasar pada kebolehan melakukan fadla’il al-a‘mal dari riwayat dla‘if yang memiliki cantolan riwayat yang kuat. Dan dalam konteks ini riwayat tersebut adalah riwayat masyhur mengenai surah Alfatihah, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ:  اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ.

“Allah berfirman, “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba membaca (surah Alfatihah [1]:1), maka Allah berkata, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Apabila hamba tersebut mengucapkan (surah Alfatihah [1]:2), maka Allah berkata, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Apabila hamba tersebut mengucapkan (surah Alfatihah [1]:3), maka Allah berkata, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Apabila hamba tersebut membaca (surah Alfatihah [1]:4), maka Allah berkata, “Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepada-Ku.” Apabila hamba tersebut membaca (surah Alfatihah [1]:5), maka Allah berkata, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.” Apabila hamba tersebut membaca (surah Alfatihah [1]:6-7), maka Allah berkata, “Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.” (H.R. Muslim)

Baca juga: Makna-Makna Simbolis dalam Redaksi Surah Alfatihah

Penulis sendiri memandang adanya alternatif “tafsir” dari masalah tersebut. Di antaranya bahwa cara membaca doa tersebut secara jahr terinspirasi oleh riwayat Imam Al-Baihaqiy sendiri. Di riwayat itu, sahabat Wa’il mengetahui doa tersebut dari bacaan jahr Nabi saw.

Selain itu, kalaupun membaca doa tersebut secara jahr dianggap bermasalah, merujuk pada pendapat Imam Al-Nawawiy maksimal hanya mendapat hukum makruh. Dalam Al-Adzkar-nya beliau menyampaikan,

اعلم أن الجهر في مواضعه، والإِسرار في مواضعه سنّة ليس بواجب، فلو جهر موضع الإِسرار، أو أسرّ موضع الجهر، فصلاته صحيحة، ولكنه ارتكب المكروه كراهة تنزيه، ولا يسجد للسهو.

“Ketahuilah bahwa membaca jahr dan israr di tempat-tempat yang ditentukan adalah sunah dan tidak wajib, maka jika seseorang membaca jahr pada tempat israr atau sebaliknya, salatnya tetap dihukumi sah, hanya saja ia telah melakukan kemakruhan tanzih, dan tidak perlu melakukan sujud sahwi.”

Oleh karenanya, membaca doa rabbighfirli mengiringi surah Alfatihah dan sebelum amin adalah boleh dengan berbagai argumentasi dan tafsir yang ada. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...