BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPolemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam

Polemik Short Selling dalam Perspektif Legal Islam

Short selling sebagai salah satu transaksi jual beli di zaman modern menuai polemik di kalangan umat Islam. Hal ini lantaran konsep yang dibawanya dinilai baru dan berbeda dengan konsep transaksi yang sudah pernah dibahas para ulama sebelumnya. Namun, sebagai fenomena umum masa kini, keabsahan short selling mesti dikaji dan diputuskan hukumnya.

Short selling sendiri adalah transaksi yang dilakukan di bursa saham dengan cara investor akan menjual saham kepada pihak lain, di mana investor akan meminjam aset. Dalam artian, investor tidak memiliki aset tersebut. Kemudian, investor akan menunggu harga saham itu menurun, kemudian ia akan membelinya kembali.

Gambarannya adalah, seorang investor menjual saham dari perusahaan X—dengan cara dia meminjam, dengan memberikan jaminan sebesar 200 juta. Ketika aset atau saham tadi menurun, dia akan membelinya kembali, dengan catatan, yang dia terima adalah selisih dari harga jual dan beli. Misal, dia menjual saham yang perlembarnya adalah 12.000 Rupiah. Kemudian ketika menurun di harga 10.000 Rupiah, ia akan untung 2000 Rupiah per-lembarnya.

Dalil tentang Jual beli dan yang Berkenaan dengan Short Selling

Dengan melihat fenomena di atas, bagaimana Islam merespon fenomena semacam itu? Mari bahas firman Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 29,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”.

Ayat di atas berbicara mengenai prinsip dalam melakukan jual beli, yakni saling ridla atau rela satu sama lain. Jika dalam sebuah transaksi tidak ada kebatilan dan  kezaliman, bahkan dilakukan dengan sikap adil, jujur, maka transaksi tersebut dinilai sah. Sementara, dalam sebuah hadis disebutkan bagaimana Nabi merespons salah satu sahabat mengenai transaksinya,

“Dari Hakim bin Hizam; ia berkata, ‘Aku datang menemui Rasulullah, lalu aku katakan; ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dan memintaku untuk menjual sesuatu yang tidak ada padaku, bolehkah aku membeli untuknya dari pasar kemudian aku menjual kepadanya?’ Beliau bersabda, ‘Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu” (H.R. At-Tirmidzi no. 1232).

Baca juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

Mayoritas ulama memahami ‘laa tabi’ maa laisa indak’ (Jangan kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu) dengan lafaz ‘’inda’ dipahami sebagai ‘milik’. Maka, konsekuensinya ada pada larangan di dalamnya, yakni pada ‘larangan menjual sesuatu yang bukan milikmu (sang penjual)’.

Sementara, Luqman Hakim memahami kata ‘’indazaraf, yakni ‘di saat’. Menurutnya, jika lafaz tersebut dipahami sebagai ‘di sisi’—sebagai zaraf, maka ada celah kebolehan melakukan transaksi model short selling (Pendekatan Ma’na-Cum-Maghza atas Al-Qur’an dan Hadis, hal. 125). Ini dipahami bahwa ‘selama barang atau aset tersebut ada di sisi penjual—walau tidak atau belum nampak’.

Polemik Short Selling dan Prinsip-prinsip Jual beli dalam Islam

Imam Syafi’I berpendapat jika dalam transaksi jual beli barang tidak nampak oleh pembeli atau barang belum ada, maka transaksi tersebut tertolak atau tidak sah. Hal ini disebabkan adanya kemungkinan unsur gharar (penipuan). Wahbah az-Zuhaili menguraikan, bahwa model transaksi semacam itu mengandung gharar yang besar (Az-Zuhaili 2011: 130).

Sementara Imam Syafii juga berpendapat, jika jual beli dengan barang yang masih ghaib atau belum ada adalah batal, begitu juga dengan barang yang belum ada walau dirinci jenis atau bentuk barang itu, misal: “aku jual gandum 1Kg kepadamu”, maka itu tetap batal. Namun, jika barang nampak, dan belum dirinci, maka tetap sah, kecuali misal, adanya tanah tidak rata yang memungkinkan barang yang dilihat tidak sesuai dengan kenyataannya.

Baca juga: Kandungan Alquran Perspektif Ilmu Fikih

Imam Malik memahami, bahwa menjual barang ghaib (belum nampak) ada beberapa kemungkinan: Pertama, jika barang belum nampak atau tidak bisa dilihat pembeli, semisal gula dalam karung, jual beli itu akan menjadi sah jika pembeli melihat gula tersebut. Kedua, jika barang ada di luar daerah atau tempat yang tidak terjangkau—pembeli tidak dapat melihatnya secara langsung—maka transaksi itu batal atau tidak sah.

Sementara menurut Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim, menjual barang yang tidak dimiliki selain salam (akad pemesanan) adalah sah. Berbeda dengan mayoritas fuqaha’ (ahli fikih) yang cenderung melarangnya, karena menganggap adanya indikasi gharar (penipuan) di dalamnya.

Sementara, dalam perbincangan ‘short selling’, Muhammad As-Sulaiman memahami jika model transaksi semacam ini sah. Hal ini berkaitan dengan adanya apek pinjam-meminjam di dalamnya. Di mana, dalam short selling sendiri terdapat dua akad, yakni akad pinjam-meminjam dan akad jual beli. Dalam perihal saham, saham dapat menjadi subjek akad pinjaman. Barang ada yang dapat dipinjam atau dipertukarkan (misli) dan ada yang tidak (qimi).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Namun, menurut jumhur fuqaha’ baik yang misli maupun qimi dapat dipertukarkan, begitu juga dengan short selling. Di mana, akadnya adalah investor yang meminjam akan mengembalikan asetnya, dan keuntungan bersihnya ada pada selisih harga jual dan belinya.

Lantas, bagaimana dengan short selling yang dia tidak ada barangnya? Hal ini dianggap oleh Luqman Hakim adalah hal yang sama dengan kasus salam (pemesanan). Di mana, pemesan barang—di mana saat pesan barang belum nampak atau belum jadi—dianggap sah. Hal inilah yang mendasari ia membukakkan celah kebolehan short selling dengan menyamakannya dengan akad pemesanan.

Positioning Hadis dalam Konteks Kekinian (al-Maghza al-Mutaharrik)

Luqman Hakim menguraikan, bahwa hadis di atas berbicara perihal batasan atau jaminan hukum yang diberikan kepada baik investor atau pemilik saham yang dipinjam. Hal ini dilandaskan pada pengamatan dari sisi sejarah mikro dan makro. Hadis di atas muncul ketika ada pembeli yang mendatangi Hakim Ibn Hizam. Pembeli tersebut membeli barang yang langka. Dengan maksud menerima itu, Hakim ibn Hizam ragu dan bertanya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. Mengatakan bahwa hal itu dilarang.

Ibn Qayyim menguraikan, bahwa hal ini ada pada dua asumsi, yakni ketiadaan barang dan ketidakmampuan penjual untuk menyerahkan barangnya atau benar-benar tidak ada. Sementara, dalam model Forex, investor mendapatkan barang itu—langsung diterima pembeli. Di mana, penekanan yang dilakukan Luqman ada pada kata ‘’inda’ yang tidak diartikan sebagai milik, tetapi ketidaktersediaan penjual menyerahkan barang. Sementara dalam kasus short selling dalam bursa saham, barang dapat diterima atau diserahkan.

Dalam konteks makro, Luqman menguraikan keadaan atau kondisi sosio-psikologis masyarakat Arab masa itu. Penjual ataupun pembeli yang terzalimi kala itu kerap kali tidak mendapatkan haknya atau tidak mendapat keadilan. Misalnya adalah kasus yang dialami oleh kabilah Zabid dari Yaman, yang menjual dagangannya ke Al-Ash bin Wa’il al-Sahmi yang enggan membayarnya. Tidak ada pedagang atau tokoh-tokoh Quraisy yang membantu masalah tersebut hingga terjadi perjanjian Hilf al-Fudul. Melalui perjanjian itu akhirnya penjual mendapatkan haknya kembali dengan dagangannya dibayarkan.

Baca juga: Larangan Menimbun Barang dalam Surah Hud Ayat 85

Nah, dari uraian yang coba penulis paparkan, kita akan dapati prinsip utama atau ideal moral yang coba Luqman Hakim sampaikan: pertama, short selling bukan ‘titip membeli barang’ yang tidak bisa atau ada kemungkinan penjual tidak menemukannya, maka larangan Nabi ada pada aspek ini. Hal ini tentu untuk menjaga atau melindungi pembeli dari gharar atau penipuan yang disebabkan penjual. Saham dan forex sistemnya dibayar kontan, tidak menunggu atau bahkan seperti salam atau akad pemesanan. Tentu, ideal moralnya untuk melindungi hak pembeli.

Kedua, adalah untuk melindungi penjual dari mendapatkan kerugian. Sebagai contoh kasus penjual membelikan barang A, ternyata barang tersebut lebih mahal, tentu penjual mengalami kerugian. Sementara dalam sistem saham dan Forex, fluktuasi harga adalah real-time yang dapat dilihat langsung oleh penjual dan pembeli.

Muhammad Fathun Niam
Muhammad Fathun Niam
Mahasiswa Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....