Dalam buku Tafsir Al-Quran di Medsos, Nadirsyah Hosen menjelaskan tentang historisitas politisasi ayat dan hadis di dunia Islam. Data yang beliau peroleh menyatakan bahwa fenomena ini sudah berlangsung sejak lama, setidaknya sejak masa kekuasaan Dinasti Umayyah. Tradisi buruk ini sempat terhenti pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, namun kemudian masih berlanjut kembali di masa Dinasti Abbasiyah, khususnya di masa khalifah Al-Mu’tadid.
Gus Nadir, sapaan akrab Nadirsyah Hosen mengutip dan mengambil data-data yang terdapat dalam sebuah dokumen yang ditampilkan oleh At-Thabari dalam kitabnya, Tarikh at-Thabari yang berisi tanggapan al-Mu’tadid tentang Bani Umayyah. Dokumen tersebut ditandatangani oleh Menteri Utama (Wazir) pada masa pemerintahan al-Mu’tadid (salah satu khalifah Bani Abbasiyah), yakni Abul Qasim Ubaidillah bin Sulayman. Gus Nadir menyoroti setidaknya dua ayat sebagai sampel dari adanya politisasi ayat dalam dokumen tersebut.
Baca Juga: Menyoal Politisasi Tamkin oleh Ikhwanul Muslimin Perspektif Al-Quran (1): Klarifikasi Makna
Pertama, potongan surah al-Isra’ [17] ayat 60,
…..وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا
“…..dan (begitu pula) pohon yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (terjemah quran kemenag)
Dalam dokumen yang ditampilkan oleh At-Tabari, yang dimaksud ‘pohon yang terkutuk’ dalam ayat ini adalah Bani Umayyah. Ini tidak lain sebagai ungkapan kebencian Al-Mu’tadid terhadap mereka.
Seandainya tafsiran atas ‘pohon yang terkutuk’ itu benar adalah Bani Umayyah, kemungkinan besar At-Tabari akan mengangkutnya ke kitab tafsir beliau, Tafsir At-Tabari, ketika menafsirkan ayat 60 surah Al-Isra’, namun ketika dicek di kitab tafsirnya, At-Tabari tidak mencantumkan penafsiran tersebut. ‘Pohon yang terkutuk’ dalam ayat tersebut beliau tafsiri dengan pohon Zaqqum.
Demikian pula dengan penafsiran potongan lain di surah dan ayat yang sama,
…وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ….
“…Kami tidak menjadikan ru’yā yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia….” (terjemah quran kemenag)
Sebagian mufasir memahami ru’yā pada ayat ini berkaitan dengan peristiwa isra’ mi’raj. Sebagian yang lain memahaminya dengan mimpi Rasulullah saw. sebelum perang Badar. Berbeda dengan penafsiran beberapa mufasir yang sudah populer, dalam dokumen yang dicantumkan At-Tabari, ru’yā yang dimaksud pada ayat ini adalah mimpi yang membuat Rasulullah saw. cemberut, yakni mimpi yang berkaitan dengan sekelompok orang dari Bani Umayyah yang naik ke mimbar Rasulullah saw.
Baca Juga: Begini Pemaknaan Al-Quran tentang Politik Identitas
Kedua, surah Al-Qadr ayat 2,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ
“Lailatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (terjemah quran kemenag)
Menurut dokumen yang ditampilkan oleh At-Tabari, lalilatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan kekuasaan Bani Umayyah. Kebetulan memang masa 90 tahun kekuasaan Bani Umayyah sama dengan hitungan seribu bulan. Gus Nadir menangkap pesan terselubung dalam isi dokumen ini yaitu pesan bahwa umat jangan silau dengan lamanya kekuasaan Bani Umayyah, karena masih ada yang lebih baik dari itu, yakni lailatulqadar. Sungguh penafsiran yang terlihat amat jelas keluar dari konteks surah al-Qadr.
Untuk lebih meyakinkan umat (khususnya pada masa itu) penafsiran dalam dokumen itu didukung juga dengan kutipan hadis-hadis yang sudah tentu melenceng dari konteksnya. Jadilah penafsiran para pendukung al-Mu’tadid semakin terlihat meyakinkan.
Dalam dokumen itu tidak dicantumkan mengenai latar belakang pemilihan ayat. Jika memperhatikan alur dokumen tersebut, nampaknya setiap ada kesempatan yang pas untuk memasukkan cacian dan ekspresi kebencian terhadap Bani Umayyah dalam penafsiran suatu ayat, mereka, para pendukung al-Mu’tadid akan segera menyelipkannya. Di bagian inilah, terbukti bahwa wajah Alquran itu tergantung kepada seseorang yang membawanya, membaca dan menafsirkannya.
Mengetahui bahwa politisasi ayat sudah pernah terjadi di masa tertentu, juga pernah terhenti dan kemudian berlanjut lagi. Berdasarkan data sejarah ini, tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian yang sama akan terulang kembali di masa sekarang dan masa yang akan datang. Na’udzu billah min dzalik.