Begini Pemaknaan Al-Quran tentang Politik Identitas

Politik Identitas
Politik Identitas (sumber: zacharyfruhling.com)

Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan identitas. Allah swt secara sengaja menciptakan manusia yang beraneka ragam dengan tujuan untuk saling mengenal (li ta’arafu), bukan saling membinasakan. Identitas adalah sesuatu yang embedded dalam diri manusia. Ia tidak bisa dilepaskan dari fitrah manusia itu sendiri. Hanya saja, dalam tataran tertentu, identitas jika tidak dikelola secara baik akan menimbulkan bahaya laten, terutama menjelang tahun-tahun politik. Polarisasi masyarakat menjadi bukti untuk itu.

Mengikuti Nadirsyah Hosen, intelektual muslim Indonesia, menyatakan bahwa yang berbahaya itu bukan identitas anda tapi politisasi identitas anda. Politik identitas menonjolkan identitas kolektif, berkontribusi pada politisasi dan sikap radikalisasi, serta memicu gelombang protes politik. Sebagai negara yang paling multikultural, Indonesia adalah “lumbungnya” identitas. Maka tak heran, jika politisi Indonesia acap kali memanfaatkan identitas sebagai senjata untuk memenangkan dirinya dan membungkam lawannya. Kontestasi semacam inilah yang tidak sehat dan tidak dibenarkan dalam agama.

Artikel ini akan mengulas bagaimana politik identitas dalam pandangan Al-Quran serta penggunaannya dalam konteks masyarakat yang beragam.

Bahaya Laten Politik Identitas

Di Indonesia, narasi politik identitas identik dengan penggunaan agama untuk menggalang dukungan pemilih bagi partai politik dan calonnya. Dio Suhenda dalam Identity politics viewed as threat to 2024 polls menyatakan bahwa politik identitas telah memainkan peran penting dalam mempolarisasi dan memecah belah masyarakat pemilih dalam pemilihan sebelumnya (pilpres tahun 2019) untuk menghasilkan ketegangan yang bertahan lama.

Baca Juga: Butir-Butir Politik Keislaman dan Kebangsaan dalam Sila Keempat Pancasila

Identitas terjadai dalam proses “menjadi” dalam kontinum perubahan sosia. Fenomena politik identitas yang terjadi di Indonesia jika dibiarkan begitu saja, akan menjadi sebuah kenormalan baru (new normal) serta menjadi preseden buruk dalam kontestasi demokrasi di Indonesia. Dalam karya utamanya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, Samuel Huntington berargumen secara provokatif dan tajam bahwa dengan berakhirnya perang dingin, “peradaban” (civilization) menggantikan ideologi sebagai garis patahan baru dalam politik internasional.

Lebih lanjut, Huntington juga mengatakan identitas-sidentitas yang sebelumnya memiliki keserbaragaman dan hubungan kausal menjadi terfokus dan mapan, konflik-konflik komunal biasanya disebut perang identitas. Mengarifi statement Huntington, Ahmad Syafii Ma’arif dalam Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme menyatakan bahwa tantangan keutuhan bangsa saat ini adalah politik identitas. Katanya, “Yang menjadi burning issues dalam kaitannya dengan masalah politik identitas sejak 11 tahun terakhir ialah munculnya gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang berbaju Islam.

Kecintaan kepada agama, lanjut Ma’arif, tanpa dibekali pengetahuan atau keinginan mendalami informasi sering kali berujung pada kesalahpahaman bahkan dimanfaatkan untuk pengakomodiran massa dalam skala besar. Cukup melalui unggahan provokatif media sosial yang mengedepankan “identitas keagamaan”, seseorang mampu memobilisasi massa dalam skala yang besar dan menjadi berita yang fenomenal.

Pandangan Al-Quran tentang Politik Identitas

Dalam hal ini, kita akan menggunakan ayat Al-Quran yang cukup fenomenal tatkala kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok di tahun 2017 silam.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(-mu). Sebagian mereka menjadi teman setia bagi sebagian yang lain. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (Q.S. al-Maidah [5]: 51)

Menurut al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, ikhtilaf ulama terkait asbabun nuzul ayat tersebut tidaklah terlalu susbtansial dan kontradiktif karena yang menjadi acuan dalam ayat tersebut ialah keumuman maknanya. Namun yang pasti menurut al-Tabari, ayat ini ditujukan kepada orang munafik.

At-Thabari menuliskan,

غَيْرَ أَنَّهُ لاَ شَكَّ أَنَّ الْآيَةَ نُزِّلَتْ فِي مُنَافِقِ كَانَ يَوَالِيْ يَهُوْدُ أَوْ نَصَارَى، خَوْفًا عَلَى نَفْسِهِ مِنْ دَوَائِرِ الدَّهْرِ، لِأَنَّ الآيَةَ الَّتِىْ بَعْدَ هَذِهِ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ. وَذَلِكَ قَوْلِهِ: فَتَرَى الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُوْنَ فِيْهِمْ يَقُوْلُوْنَ نَخْشَى أَنْ تُصِيْبَنَا دَائِرَةٌ

 

“Tidak diragukan lagi bahwa ayat ini diturunkan dalam konteks orang munafik, yaitu mereka yang berkoalisi dengan Yahudi dan Nasrani karena takut ditimpa musibah dan kesusahan. Kesimpulan ini didasarkan pada ayat setelahnya (yaitu Surat Al-Maidah ayat 52), ‘Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, ‘Kami takut akan mendapatkan bencana’.

Pada bagian akhir penafsiran surat ini, at-Thabari memaparkan,

أن الله لا يوفق من وضع الولاية في غير موضعها فوالي اليهود والنصاري-مع عداوتهم الله ورسوله والمؤمنين- على المؤمنين، وكان لهم ظهيرا ونصيرا، لأن من تولاهم فهو لله ولرسوله حرب

“Sesungguhnya Allah tidak memberkati orang yang berkoalisi (minta tolong) kepada orang yang tidak tepat. Seperti menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai sekutu dan penolong. Padahal mereka memusuhi Allah, Rasul, dan orang mukmin. Siapapun yang berkoalisi dengan mereka berati ia memerangi Allah, Rasul, dan orang mukmin.”

Dari pemaparan di atas dapat dipahami bahwa ayat ini berkaitan dengan orang munafik. Orang munafik ialah orang yang bermuka dua, penjilat dan pandai berkamuflase. Mereka hanya memanfaatkan Islam untuk kepentingan sesaat. Mereka juga menggunakan jubah agama untuk mengelabuhi umat Islam sehingga seakan-akan membela kepentingan umat. Sebagian riwayat menyebut, mereka tidak sekadar berpihak, namun juga mengikuti agama mereka. Agama di sini dapat dimaknai sumber daya ekonomi, modal finansial, dan segala hal yang mampu menguntungkan dirinya. Jadi agama di sini tidak bermakna yang sesungguhnya.

Mengarifi hal ini, Abdurrahman Wahid dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela menyatakan bahwa ajaran agama dilaksanakan tidak pandang bulu, tanpa melalui proses pencernaan terlebih dahulu, yaitu dalam bentuk penafsiran ajaran agama oleh sang pemimpin. Mereka acapkali melegitimasi kebenaran Islam lalu dipersonifikasikan ke dalam dirinya sebagai sang pemimpin. Apa yang dibenarkannya (padahal tidak benar dan tidak maslahat) menjadi kebenaran Islam, apa yang diprogramkannya menjadi program perjuangan Islam, dan tidak ada hak orang lain di luar untuk menyanggah sang pemimpin. Politisasi agama semacam ini, inilah yang dilarang dalam Islam.

Politisasi Agama dan Kerentanannya

Harus diakui, agama memang isu yang sangat seksi untuk dipolitisir. Penggunaan jubah agama terbukti mampu membius dan memikat siapapun dengan dalih atas nama Islam. Agama, dalam hal ini, memang sangat rentan untuk “dijual” karena fitrah manusia pada dasarnya adalah homo religious (manusia beragama). Hal semacam ini tentu harus diwaspadai, lebih-lebih menjelang tahun politik. Umat Islam harus cerdas berpolitik dan mampu memetakan kapasitas kandidat calon pemimpin yang tengah berkontestasi.

Dalam hal ini, Berelson, Lazarsfeld, et.al, dalam Voting A Study of Opinion Formation in a Presidential Campaign menyatakan bahwa seringkali modal sosiologis memiliki kesamaan karakteristik sosial untuk menentukan pilihan politik. Variabel sosiologis yang diyakini sebagai prediktor adalah agama, etnik, usia, gender, pendidikan, dan pendapatan. Sebagai elemen penting dalam pembelahan sosial sebagaimana diutarakan Burhanuddin Muhtadi dalam Populisme Politik Identitas, agama dipercaya memengaruhi perilaku pemilih. Apa yang diutarakan Muhtadi bersandar pada riset Lipset dan Rokkan dalam Party Systems and Voter Alignments mengatakan, ada korelasi signifikan antara afiliasi keagamaan dengan dukungan atas parta-partai konvensional di Eropa.

Sementara itu, Arend Lijphart dalam Religious vs. Linguistic vs. Class Voting: The “Crucial Experiment”, menemukan bahwa dibanding variabel bahasa dan kelas sosial, agama lebih berpengaruh dalam menentukan pilihan partai di Belgia, Kanada, Afrika Selatan dan Swiss. Dalam hal ini, Indonesia pun demikian.

Hasil penelitian Vrije Universiteit Amsterdam tentang Politized identity menemukan bahwa Politisasi identitas adalah kunci dinamika pertikaian (Politicization of identities is key to the dynamics of contention). Gerakan protes dibangun di atas identitas yang dipolitisasi dan diisi oleh orang-orang dengan identitas yang dipolitisasi. Politisasi identitas secara bersamaan merupakan ciri kolektivitas dari manusia.

Identitas (Agama) sebagai bagian dari solusi, bukan problem

Ayat di atas harus dipahami dalam konteks bernegara, bahwa dilarang keras menjadikan orang munafik (tidak peduli apapun agamanya) sebagai teman dekat, pelindung ataupun penolong, karena hal itu dapat menyakiti perasaan orang beragama, bahkan menghancurkan Islam dalam hal ini secara gradual. Tidak ada yang salah dengan identitas (agama). Seseorang dapat menjadi muslim dengan nyaman tanpa harus membuang identitas kelokalannya masing-masing. Artinya, seseorang bisa “menjadi” muslim yang utuh tanpa harus membuang kejawaannya, kemelayuannya kesundaannya, kebatakannya, kebanjarannya, kebugisannya, dan seterusnya, begitu kata Masdar Hilmy.

Baca Juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Dengan demikian, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, dan seterusnya adalah struktur permukaan (surface structure) yang tidak akan menggerus apapun dari inti keberagamaan (deeper structure) seorang Muslim. Keduanya, dalam perspektif “menjadi”-nya Erich Fromm dan Walisongo, membentuk sebuah persenyawaan yang sah dan autentik.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan Nadirsyah Hosen,

“Sebuah kontestasi pasti membawa nuansa kompetisi. Dukung-mendukung menjadi hal yang lazim. Anda dukung kandidat A dengan alasan identitas apapun (se-agama, se-daerah, se-ormas, se-almamater atau se-ide) adalah sebuah keniscayaan. Maka sinyalemen mengenai bahaya “politik identitas” harus diluruskan. Yang berbahaya itu bukan identitas anda tapi politisasi identitas anda. Anda pilih kandidat B karena agamanya (Islam atau Kristen atau lainnya) dalam demokrasi itu sah. Yang tidak boleh itu kalau anda mempolitisir bahwa “siapa yang tidak dukung kandidat B maka dia kafir” atau “yang dukung kandidat C maka mayatnya tidak akan dishalatkan” atau “yang tidak mengikuti pilihan anda maka tidak boleh lagi ke gereja anda”. Ini yang tidak boleh. Biar tidak banyak salah paham, kita sebut saja: politisasi SARA. Ini yang berbahaya. Silahkan pakai identitas anda dalam berpolitik, tapi jangan mempolitisirnya sehingga bisa menimbulkan kebencian dan perpecahan sesama anak bangsa”.

Jangan sampai hari ini, kata Yahya C. Staquf, agama masih menempati posisi sebagai bagian dari masalah. Ini penting dicari solusinya untuk mengakhiri agama dari posisi sebagai ‘bagian dari masalah’ tapi bisa menjadi ‘solusi dari masalah’. Wallahu a’lam.