BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanButir-Butir Politik Keislaman dan Kebangsaan dalam Sila Keempat Pancasila

Butir-Butir Politik Keislaman dan Kebangsaan dalam Sila Keempat Pancasila

Politik merupakan suatu kegiatan atau cara mencapai suatu kebijakan umum untuk kemaslahatan bersama. Indonesia memiliki landasan politik pada sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Jika dihayati secara seksama dan mendalam, para founders bangsa meracik sila keempat ini sarat dengan makna spiritualitas dan nasionalisme. Tidak ada pertentangan diantara keduanya. Paduan nilai-nilai relijiositas dan kebangsaan terpancar secara tersirat dalam sila keempat. Setidaknya, ada tiga butir ruh politik keislaman dan kebangsaan yang tertanam pada sila keempat Pancasila.

Prinsip kepemimpinan dan kedaulatan rakyat

Frasa “kerakyatan yang dipimpin” pada sila keempat merupakan bentuk sistem politik yang digunakan oleh negara. Kita bisa merujuk pada pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 untuk menafsirkan sistem tersebut yang secara tersurat menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar 1945”. Ini artinya bahwa secara sistem pemerintahan, rakyat lah yang menjadi pemimpin suatu bangsa dan berdaulat penuh atasnya. Konsep kedaulatan dan kepemimpinan rakyat ini selaras dengan ayat-ayat yang digaungkan Al-Qur’an dengan menyebutkan secara implisit diksi “ummah” sebagaimana yang dipaparkan oleh Asrori S. Karni dalam buku buku “Sivil Society & Ummah Sintesa Diskursif Rumah Demokrasi”.

Al-Qur’an menyebut kata “ummah” tinggi, yaitu sebanyak 62 kali dalam 25 surat. Terminologi ummah ini digunakan Al-Quran sebagai konsep kemasyarakatan dan keagamaan. Fayiz bin Sayyaf As-Sariih dalam Tafsir As-Shaghir, misalnya, menafsirkan lafaz “ummah” pada surat Ali Imran ayat 104 dengan “kumpulan”. Dalam buku “Ummah dan imamah suatu tinjauan sosiologis”, Ali Syariati menafsirkan konsep ummah pada Al-Quran sebagai kumpulan manusia yang para anggotanya memiliki tujuan yang sama, satu sama lain bahu-membahu, bergerak menuju cita-cita bersama, berdasarkan kepemimpinan bersama.

Baca Juga: Eksklusivitas Islam dalam Alquran dan Kesalahpahaman Tentangnya

Karni menjelaskan bahwa term ummah juga dapat menunjukkan sisi politis. Pemikiran dan gerakan politik, idealnya dan seharusnya bersifat universal, untuk setiap umat manusia dan membawa misi rahmatan lil ‘alamin. Landasan teologis dari nilai politik tentang konsep ummah yang kemudian berkorelasi dengan prinsip demokrasi kerakyatan pada sila keempat bisa digali dalam surat Ali Imra>n ayat 26:

قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ ۖ بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ayat ini menjadi bangunan teologis bagi sistem demokrasi kepemimpinan dan kedaulatan rakyat. Ayat tersebut diterangkan Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz, juga Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah bahwa Allah Pemilik Seluruh Kekuasaan berkehendak terhadap siapa saja yang diberi atau dicabut kekuasaanya. Ini mengandung makna bahwa Allah menitipkan sepucuk kekuasaannya kepada manusia. Dalam arti yang lebih luas, kekuasaan Allah tersebut dapat bermanifestasi ke dalam sistem kepemimpinan kerakyatan atau kedaulatan rakyat. Hal ini juga akhirnya berimplikasi pada nilai-nilai politik kebangsaan yang bernafas spirituil.

Hikmat kebijaksanaan

Sebagaimana yang telah diterangkan di atas bahwa sistem kepemimpinan kerakyatan yang ideal adalah yang dilandasi oleh spirit ketuhanan, bukanlah ia yang berjalan dengan sendirinya. Hal ini pula yang termaktub dalam sila keempat Pancasila. Frasa “Hikmat Kebijaksanaan” pada sila tersebut merupakan ejahwantah dari spirit ketuhanan yang ingin dihadirkan pada sistem kepemimpinan kerakyatan. Al-Quran banyak menyinggung diksi hikmah atau kebijaksanaan, misalnya pada surat S}ad ayat 20:

وَشَدَدْنَا مُلْكَهُۥ وَءَاتَيْنَٰهُ ٱلْحِكْمَةَ وَفَصْلَ ٱلْخِطَابِ

“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.”

Makna hikmah dan kebijaksanaan pada ayat di atas bisa diungkap melalui pendapat Al-Mahalli dan As-Suyuti dalam Tafsir Jalalayn. Mereka menerangkan maksud hikmah di sana yakni kenabian dan ketepatan dalam berbagai perkara. Senada dengan yang ditafsirkan Quraish Shihab dalam Tafsir A-Misbah bahwa makna hikmah ayat tersebut adalah kenabian dan kemampuan membedakan antara yang benar dan batil. Sedangkan makna kebijaksanaan sendiri dalam Tafsir Jalalayn digunakan untuk menyelesaikan perselisihan, yaitu penjelasan yang memuaskan dalam semua urusan.

Begitu mulianya makna hikmah kebijaksanaan sehingga dengannya dapat menjadi acuan nilai bagi pelaksaanaan sistem kepemimpinan rakyat. Hikmah dan kebijaksaan melahirkan nilai-nilai yang selalu mempertimbangkan kemaslahatan bersama, persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan sadar, jujur, dan bertanggungjawab serta didorong oleh iktikad baik sesuai dengan hati nurani.

Musyawarah perwakilan

Dalam sila keempat, kepemimpinan kerakyatan merupakan bentuk sistem pemerintahan Republik Indonesia. Hikmat kebijaksanaan sebagai dasar nilainya. Sedangkan metode pelaksanaannya adalah melalui musyawarah perwakilan dari frasa “dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Musyawarah adalah bentuk kegiatan berunding yang dilandasi dengan sikap rendah hati untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah. Metode musywarah sendiri sangat sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Anjuran bermusyawarah dalam Islam terekam dalam surat Ali Imran ayat 159:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Baca Juga: Satu Lagi Kisah Toleransi dalam Al-Quran: Nabi Sulaiman dan Ratu Semut

Dijelaskan oleh Hamka dalam Tafsir Al-Azhar bahwa musyawarah merupakan dasar politik dalam Islam dan pemerintahan Islam. Al-Maraghi juga menyebutkan dalam Tafsir al-Maraghi bahwa musyawarah sebenarnya merupakan sikap politik yang ditinggalkan yang terabaikan setelah Rasulullah meninggal. Sepeninggal Rasulullah, hanya Abu Bakar yang masih menjalankan musyawarah. Apalagi Islam pada masa khalifah Abbasiyah, sudah tidak menggunakan sistem musyawarah lagi.

Musyawarah merupakan metode terbaik dalam mengambil sebuah kesepakatan bersama. Seluruh anggota harus memiliki sikap rendah hati dalam melaksanakan komitmen kesepakatan tersebut atau ketika bukan pendapatnya lah yang digunakan. Indonesia sebagai negara demokrasi, cara musyawarah ini terwujud dalam mekanisme sistem perwakilan yang dipilih oleh rakyat secara langsung pada saat pemilu. Jadi secara teoritis, Indonesia telah memiliki sistem politik kebangsaan yang Islami sesuai tuntunan Al-Qur’an. Tinggal bagaimana fundamen sila keempat yangbernilai relijiositas-kebangsaan tersebut diimplementasikan oleh para ulil amri secara bertanggungjawab. Wallahu a’lam bissawab.

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Peminat Literatur Islam Klasik dan Kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...