Sekira tahun 1974 hingga 1983, ulama yang tergabung dalam Lajnah Pentashih Alquran disibukkan dengan pembakuan jenis kitab suci Alquran mana yang akan dijadikan sebagai acuan resmi. Dalam rentang tahun tersebut, mereka berembug sebanyak sembilan kali. Rembug berat, melelahkan, sekaligus terbilang penting.
Hal ini mengingat Islam di negeri ini pada masa silam, kerap ditemukan bertaut sanad dan kerabat dengan muslim dari belahan dunia lain. Maka secara tidak langsung, tukar pengetahuan khususnya kitab suci Alquran baik secara fisik, cara bacanya, sampai pada tafsirnya saling mempengaruhi.
Rembug itu menghasilkan produk ketetapan yang dilegalkan oleh Keputusan Menteri Agama nomor 25 Tahun 1984. Adapun isinya: “Alquran standar Usmani, Bahriah, dan Braille hasil penelitian dan pembahasan Musyawarah Ulama Alquran I s.d. IX dijadikan Mushaf Standar Indonesia.” Definisi ‘standar’ sendiri digunakan berdasarkan indikasi pada cara penulisan, tanda baca, harakat, dan tanda waqafnya.
Baca juga: Upaya Penyusunan Kembali Mushaf Kuno Madinah
Ketetapan tersebut jika dilacak dalam kerangka historis, sebenarnya hanya mengakomodasi penggunaan mushaf yang digunakan oleh umat Islam di negeri ini selama berabad-abad silam. Misalnya saja, mushaf Usmani yang sudah digunakan sekira sebelum abad-19 atau jauh sebelum itu. Kemudian mushaf Bahriah yang dipakai untuk mereka para penghafal Alquran. Terakhir, mushaf Braille menjadi mushaf yang kerap dibaca oleh masyarakat muslim dengan berkebutuhan khusus atau difabel.
Dari ketiga standar mushaf Alquran ini, mushaf Usmani produksi cetak Bombay, India merupakan mushaf yang paling kerap digunakan oleh umat Islam di Indonesia. Kenapa demikian? Padahal dalam lacakan sejarah, ada mushaf produksi cetak Turki dan Mesir dengan dugaan tahun kemunculan serupa yang sama-sama digunakan, dibaca, dan ditelaah.
Mustopa, dkk., dalam artikelnya Jejak Mushaf Alquran Bombay di Indonesia (2019) menemukan sejumlah alasan ihwal dominasi penggunaan mushaf Alquran produksi cetak Bombay, India.
Pertama, mushaf Alquran produksi cetak Bombay, India memiliki ciri huruf yang tebal disertai tanda waqaf yang banyak. Hal ini memudahkan umat Islam di Indonesia pada masa lalu untuk membacanya, sekalipun awam yang belum paham pada arti harafiah, makna kedalaman, serta maksud dari ayat-ayat di kitab suci. Dibandingkan dengan misalnya, mushaf Mesir dan Turki yang ditulis dengan indah, tipis, tanda waqaf lebih sedikit, dan setiap halaman di akhiri dengan penghabisan ayat (dikenal dengan ‘ayat pojok’).
Baca juga: Ragam Sumber Penyalinan Mushaf Alquran
Alasan selanjutnya, pada paruh kedua abad ke-19, wilayah Bombay menjadi pusat industri percetakan yang terbilang telah maju. Bahkan Sahib al-‘Alam Qamar az-Zaman dalam kitabnya Tarikh Taba’ah al-Mushaf asy-Syarif fil-Hindi berpendapat bahwa, industri cetak dalam dunia muslim pertama kali muncul di India. Maka tidak mengherankan bila di masa-masa tersebut, ada banyak umat Islam negeri ini yang bekerja dan atau belajar produksi cetak di India, salah satunya Muhammad Azhari dari Palembang.
Terakhir, popularitas mushaf Alquran cetakan Bombay, India ini juga tidak terlepas dari peran pedagang India. Bagi pedagang, mushaf tersebut adalah barang komoditas yang bisa meraup banyak keuntungan. Sedangkan bagi muslim di negeri ini pada masa silam, mushaf itu menjadi kebutuhan mendasar dalam beragama yang mesti ada dan dimiliki. Akhirnya, terjadi transaksi yang memungkinkan antara pedagang mushaf dengan umat Islam sebagai pembeli.
Baca juga: Menanti Riset Manuskrip Al-Qur’an Nusantara Koleksi Prancis
Ketiga alasan ini semakin menguatkan bahwa ajaran Islam di negeri ini datang dan atau dipengarui dari tanah India. Kendati demikian, sanad keilmuan termasuk Alquran maupun yang lainnya tetap bertumpu pada kota Mekah dan Madinah. Kota yang menjadi embrio kemunculannya sekaligus masih populer sebagai tempat ziarah pengetahuan-keilmuan serta peribadatan.