BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPrinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian 2)

Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian 2)

Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa aturan-aturan muamalah dalam Islam bersifat fleksibel. Artinya, selagi tidak dijumpai dalil yang melarangnya, maka bagaimanapun bentuknya muamalah tersebut boleh dilakukan. Namun, harus tetap berada pada koridor prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam Islam.

Dalam tulisan sebelumnya, telah dijelaskan mengenai prinsip keadilan dan saling menguntungkan serta tidak merugikan pihak lain. Di bawah ini, ada beberapa prinsip lain yang melandasi praktek muamalah yang legal menurut pandangan Islam. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)

Dilandaskan Atas Unsur Suka Sama Suka (Al-Tharadhi)

Selain harus didasarkan atas prinsip keadilan, prinsip lain yang tak kalah penting dalam melakukan muamalah atau transaksi adalah harus dilandaskan atas dasar kerelaan. Hal ini sebagaimana ayat ke- 29 dari surah Alnisa’, Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْك 

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa lafal الا dalam ayat di atas adalah istitsna munqathi sehingga mengandung makna ‘akan tetapi’. Karenanya, ayat di atas mengandung pemahaman bahwa janganlah kalian makan harta orang lain melalui cara yang batil. Akan tetapi, yang halal bagi kalian adalah adalah melakukan perniagaan yang dilandaskan unsur suka sama suka. [Tafsir al-Qurthubi, Juz 5, 151].

Prinsip ini juga dipertegas oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya yang diriwayatkan dari sahabat Abu Said al-Khudri,

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

Sesungguhnya jual beli didasarkan kepada kerelaan. HR. Ibnu Majah.

Dalam kesempatan yang lain, Nabi Saw bersabda,

أَلَا وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ مِنْ مَالِ أَخِيهِ شَيْءٌ، إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Ketahuilah, tidak halal bagi seseorang memperoleh sesuatu dari harta milik saudaranya kecuali dengan adanya kerelaan darinya. HR. Ahmad

Dari prinsip ini, ulama berhasil merumuskan beberapa hukum praktis, misalnya jual beli yang dilakukan oleh orang yang terpaksa hukumnya batal (tidak sah). Sebab, ia melakukannya tidak atas dasar kerelaan atau keinginan sendiri.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nisa’ ayat 29: Prinsip Jual Beli dalam Islam

‘Adam Al-Gharar

Prinsip lain yang harus selalu menjadi spirit dalam muamalah Islam adalah bebas dari gharar atau spekulasi. Imam Haramain menjelaskan bahwa gharar adalah segala sesuatu yang masih belum jelas konklusi dan akibatnya. [Nihayah al-Mathlab, juz 5, hal. 403]. dengan prinsip ini, jual beli misteri box, misalnya, tidak diperbolehkan dalam Islam karena sifatnya yang spekulatif atau untung-untungan.

Terkait ketidakbolehan adanya aspek gharar dalam sebuah transaksi, sahabat Abu Hurairah berkata,

نَهَى عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah saw melarang dari jual beli (yang mengandung) gharar. HR. Malik, Abu Daud dan al-Darimi.

‘Adam al-Riba

Selain tidak mengandung unsur spekulatif, muamalah dalam Islam juga harus berlandaskan prinsip bebas dari unsur riba. Ulama telah sepakat mengenai keharaman melakukan praktek transaksi riba berdasarkan beberapa dalil baik Alquran maupun Hadis. Di antara dalil yang melarang praktek ribawi adalah sebagai berikut

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)

(279)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا  تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.

Jika kamu tidak melaksanakannya maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi juka kamu bertobat maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan). Q.S. Albaqarah [2]: 278-279.

Baca Juga: Tidak Semua Tambahan itu Riba, Berikut Penafsiran Fazlur Rahman atas Ayat Riba

Menurut keterangan dari Syekh Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas merupakan tahapan terakhir dari larangan riba dalam Alquran. Sama seperti larangan minum khamer yang diharamkan secara gradual, Allah Swt mengharamkan praktek riba secara bertahap pula. Dan, ayat ini merupakan ayat pamungkas yang berisi larangan keras melakukan praktek riba sampai-sampai Allah Swt menyatakan perang kepada para pelaku riba. [Tafsir al-Munir, Juz 3, 93]

Dalam hadis, Rasulullah Saw juga telah menegaskan bagaimana kerasnya larangan akad riba sampai-sampai pelakunya dan setiap yang terkait dengannya akan mendapat laknat Allah. Beliau Saw bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَشَاهِدَهُ، وَكَاتِبَهُ

Allah melaknat pemakan riba, pemberi riba, saksi dan notulen akad riba. HR. Ahmad.

Itulah beberapa prinsip-prinsip muamalah dalam Islam yang dapat penulis jabarkan dalam tulisan singkat ini. Sejatinya, ada beberapa prinsip lagi yang belum dijabarkan tetapi secara umum semuanya merujuk kepada prinsip keadilan dan kemaslaahatan. Hal ini sebagai representasi dari tujuan agama Islam itu sendiri untuk mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat (جلب المصالح و درء المفاسد).

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU