Selain empat prinsip yang ditampilkan dalam tulisan sebelumnya, terdapat empat prinsip lain yang juga dipegang oleh Buya Husein saat menafsirkan ayat relasi laki-laki dan perempuan. Mengutip Eni Zulaikha dalam Analisa Gender, empat prinsip itu ialah; memahami konteks pembicara dan audiensi, selaras dengan maqasidus syari’ah, penggunaan nalar rasional, dan menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad. Berikut ini ulasan sederhananya.
Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (1)
Selaras dengan maqashidus syariah
Tafsiran Husein atas ayat relasi laki-laki dan perempuan cukup konsisten dengan maqashidus syariah. Ia mengembangkan apa yang oleh Al-Ghazali disebut dengan penjagaan al-kulliatul khams. Menyitir Auda, al-kulliyatul khams rumusan al-Ghazali meliputi; keyakakinan (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl), dan harta benda (al-mal)). Lima hal itu itu ia jadikan acuan dan mensinergikannya dengan humanisme universal, berupa; keadilan, kebersamaan, kesetaraan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak orang lain.
Karena prinsip ini, kita akan sering temui tiap penafsiran Husein atas ayat relasi laki-laki dan perempuan selalu mempertimbangkan kemashlahatan yang terwujud dalam prinsip humanisme universal itu sendiri. Misalnya, prinsip kesetaraan yang kentara saat ia memaknai Surat Ar-Rum ayat 21 dalam Fiqh Perempuan, tentang penciptaan manusia berpasang-pasangan. Husein, menyebutkan bahwa maksud ayat ini ialah terciptanya kecenderungan dan kasih sayang satu kepada yang lainnya. Alih-alih menjadikan ayat ini sebagai justifikasi bahwa perempuan adalah ciptaan sepihak untuk laki-laki, dan tidak sebaliknya, Husein lebih memilih untuk memaknai ayat ini sebagai kesalingan kecenderungan dan kasih sayang laki-laki dan perempuan.
Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender
Paham konteks pembicara dan audiensi
Prinsip ini ditekankan Husein tatkala membaca ayat relasi laki-laki dan perempuan agar dapat memahami posisi pembicara (mukhatib) apakah sebagai pembawa informasi (mukhbir), pendebat (naqid), dan lain sebagainya. Di sisi lain, dengan tahu posisi audiensi (mukhatab/objek yang disapa) sebagai apa, dapat mengindarkan dari kesalahpahaman atas maksud ayat.
Dalam menerapkan prinsip ini, Husein Muhammad menggunakan Sababun Nuzul atau penggolongan Makki-Madani suatu ayat. Misalnya, saat memaknai Surat An-Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Mengutip Husein dalam Fiqh Perempuan, ayat tersebut turun untuk merespons keputusan Nabi untuk memperbolehkan Habibah binti Zaid meng-qishash (membalas dengan setimpal) suaminya yang telah bertindak KDRT terhadapnya. Husein kemudian menganalisis konteks masyarakat Arab secara umum pada waktu itu, yang memegang teguh sistem patriarkhi. Audiensi pada saat ayat turun –baik berdasarkan dari apa yang ada dalam sababun nuzul atau pun konteks masyarakat Arab secara umum- berada dalam keadaan laki-lakinya sebagai pemegang otoritas.
Lalu kemudian, Husein berpendapat, posisi mukhatib di ayat ini adalah untuk membawa informasi (mukhbir), sehingga, menunjukkan bahwa ayat itu tidak mengindikasikan perintah.
Menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad
Tidak seperti mainstream ulama fikih klasik yang menjadikan Sunnah Nabi sebagai referensi dalam ijtihad, Husein justru menganggapnya sebagai produk ijtihad Nabi yang dinamis. Sehingga, yang penting tidak hanya memahami sunnah secara literal, tetapi lebih jauh, menelusuri sabab wurud-nya atau kondisi Nabi dan masyarakat sekitarnya tatkala hadis itu ia sabdakan.
Bagi Husein, dengan menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad, memahami Al-Quran akan lebih mudah. Hal ini karena, ada ketersinambungan antara hadis dan Al-Quran, yaitu sama-sama bersifat situasional. Dan, adalah muhal bila ayat-ayat yang difirmankan Allah, yang berfungsi sebagai pedoman manusia, itu tidak bersinggungan dengan aktivitas Nabi.
Baca juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri
Penggunaan nalar rasional
Husein juga memegang prinsip nalar rasional dalam menafsirkan ayat relasi laki-laki dan perempuan. Baginya, nalar rasional dapat dijadikan alat untuk memahami teks Al-Quran. Mengutip Zulaikha, memahami teks dengan nalar rasional akan berbuah melalui beberapa indikasi meliputi; simbol, perubahan, konteks yang mendahuluinya (as-sawabiq), dan konteks yang menyertainya (al-lawahiq).
Penerapan prinsip ini tampak dari cara Husein membaca ayat secara kontekstual. Seperti saat ia membaca ayat tentang aurat perempuan (Surat An-Nur ayat 31). Sebagaimanya yang tertuang dalam Fiqh Perempuan, ia berpendapat bahwa berbagai interpretasi ulama atas ayat tersebut yang variatif itu turut dipengaruhi oleh realitas yang melingkupinya. Seperti qaul yang membolehkan muka, telapak tangan dan kaki, atau lengan perempuan merdeka atas dasar kebutuhan. Selain itu, di banyak tempat, Husein juga konsisten menggunakan logika hukum (‘illat) dalam tafsir ayat relasi laki-laki dan perempuan, yang kebanyakan berupa ayat legal-formal.
Demikianlah 8 prinsip penafsiran Buya Husein dalam ayat relasi laki-laki dan perempuan. Dari prinsip-prinsip tersebut, terlihat nuansa tafsir kontekstual yang khas. Tentu karena Husein berhasil mensinergikan keilmuan Islam seperti Ushul Fiqh dan susastra Bahasa Arab dalam membaca ayat-ayat itu.
Wallahu a’lam[]