BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPro dan Kontra Pengguguran Kewajiban Haji bagi Orang yang Sakit

Pro dan Kontra Pengguguran Kewajiban Haji bagi Orang yang Sakit

Kewajiban berhaji secara umum berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memperoleh biaya serta transportasi dalam berhaji. Meski begitu, ulama juga mempertimbangkan kemampuan dalam segi kesehatan tubuh. Hal ini bisa dilihat dari kesepakatan ulama, bahwa orang yang lumpuh, yakni yang tubuhnya dipandang tidak memungkinkan lagi untuk melalui proses berhaji, maka dia tidak wajib berangkat berhaji.

Namun hukum tidak wajib berangkat berhaji tidak meniscayakan kewajiban berhaji gugur dari dirinya. Menurut Mazhab Syafi’i selaku mazhab yang paling banyak dianut di Indonesia, orang yang tidak memungkinkan berhaji sebab terkendala kesehatan tubuhnya, wajib baginya untuk menunjuk badal haji. Artinya, seseorang tersebut masih berkewajiban berhaji meski dengan menggunakan jasa orang lain, tentu yang lebih sehat kondisi tubuhnya. Simak penjelasan para ulama tentang pro dan kontra pengguguran kewajiban haji bagi orang yang sakit berikut ini:

Baca Juga: Dasar Legalitas Badal Haji

Pro kontra pengguguran kewajiban haji bagi orang yang sakit

Imam al-Qurthubi tatkala menguraikan tafsir surah Ali Imran ayat 97 menjelaskan, termasuk orang yang dinilai tidak mampu berhaji adalah orang sakit dan lumpuh. Yakni orang yang kesehatan tubuhnya tidak memungkinkan dirinya untuk mengalami perjalanan berhaji. Ulama sepakat bahwa orang yang masuk dalam kategori ini tidak wajib berangkat berhaji.

Namun tidak wajib berangkat berhaji bukan berarti kewajiban berhaji gugur dari dirinya. Menurut Mazhab Syafi’i, apabila dia bisa menunjuk orang yang bisa menggantikannya berhaji atau badal haji, maka dia berkewajiban mencari badal haji (Tafsir al-Jami li Ahkamil Qur’an/4/151).

Dasar yang digunakan adalah hadis sahih yang diriwayatkan dari Abdullah ibn Abbas:

Seorang perempuan bertanya pada Nabi: “Kewajiban Allah telah mendatangi ayahku yang dalam keadaan amat tua. Dia tidak bisa duduk di atas tunggangannya. Apa aku boleh berhaji demi menjadi gantinya?” Nabi menjawab: “Ya, berhajilah sebagai ganti dirinya”. Pertistiwa itu terjadi pada Haji Wada’ (HR. Bukhari).

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Andai ayahmu memiliki hutang, menurutmu apakah engkau berkewajiban mengembalikannya?” tanya Nabi. “Ya” jawab si perempuan. “Kalau begitu, hutang Allah lebih utama lagi untuk dikembalikan” ucap Nabi.

Lewat hadis ini, Mazhab Syafi’i mengambil kesimpulan menunjuk badal haji hukumnya wajib bagi orang sakit. Mazhab Malikiyah memiliki pemahaman yang berbeda. Mereka memahami hadis ini sebagai sekedar bentuk memuliakan orang tua. Nabi memerintahkan perempuan tersebut untuk berhaji menggantikan orang tuanya, sebab melihat perempuan tersebut memiliki semangat besar dalam berbakti kepada orang tuanya.

Namun, Mazhab Malikiyah berkeyakinan bahwa kewajiban berhaji telah gugur dari orang tua si perempuan tersebut. Jadi apa yang dilakukan perempuan tersebut bukan bentuk menggugurkan haji orang tuanya. Hadis tersebut tidak sedang menunjukkan kewajiban menunjuk badal haji, tapi menunjukkan pentingnya memuliakan orang tua (Ahkamul Qur’an li Ibni Arabi/2/106).

Imam al-Nawawi dari Mazhab Syafi’i menyatakan, orang lumpuh atau sakit yang wajib menunjuk badal haji, adalah orang yang tidak memiliki harapan kesembuhan dari kelumpuhan atau sakitnya. Orang dengan kategori ini dapat menunjuk badal haji dengan cara menyewa serta mencukupi seluruh kebutuhan hajinya, atau kebetulan ada yang dengan senang hati menjadi badal haji tanpa meminta bayaran sepeserpun untuk kebutuhan haji maupun pribadinya (al-Majmu’/7/93).

Imam Mawardi menjelaskan, memiliki badal haji dengan cara menyewa atau kebetulan memiliki orang yang siap menjadi badal haji tanpa sepeser uang pun, adalah salah satu bentuk kemampuan berhaji. Dalam perbendaharaan Bahasa Arab, bukankah kalimat “Aku mampu merenovasi rumahku” bisa berarti mampu menyewa orang, atau memperoleh orang yang mau membantu tanpa meminta bayaran untuk membangun rumahnya? (Al-Hawi al-Kabir/4/11).

Baca Juga: Pro Kontra Biaya dan Transportasi Sebagai Ukuran Mampu Berhaji

Berbagai penjelasan di atas memberi pemahaman kepada kita, ulama memang sepakat bahwa orang yang lumpuh atau sakit memang tidak wajib berangkat berhaji. Namun menurut Mazhab Syafi’i, kedua masih berkewajiban menunjuk badal haji. Mengenai syarat-syarat dalam pelaksanaannya, dapat lebih lanjut dibaca dalam kitab-kitab fikih haji. Wallahu a’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...