Dalam bingkai sejarah Alquran, pasti tak akan bisa dilepaskan dari berbagai peran para guru Alquran dalam proses penyebaran dan pengajaran Alquran. Mulai sejak Alquran itu diturunkan, kemudian ditulis, dikodifikasi, dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia, para ulama Alquran menjadi pionir penting dalam tiap proses tersebut. Proses tersebut sejatinya telah dilakukan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah saw., kemudian secara berangsur ditransmisikan kepada para sahabat, lalu para tabiin dan murid-murid mereka hingga meluas ke seantero dunia sampai masa sekarang.
Ketika berbicara mengenai sejarah para qurra’ yang berjasa mendakwahkan Alquran di Nusantara, pasti akan ditemukan seorang ulama besar, yang dikenal dengan nama K.H. Munawwir. Beliau dijuluki sebagai “Mahaguru para Qurra’ Nusantara” berkat jasanya dalam mendakwahkan Alquran dan menjadi sentral dari lahirnya bibit-bibit para ulama Alquran Nusantara yang masyhur dan terkenal sampai sekarang.
K.H. M. Munawwir atau biasa disebut Mbah Munawwir memilki nama lengkap Muhammad Munawwir bin K.H. Abdullah Rosyad bin K.H. Hasan Beshari. Ia merupakan putra dari K.H. Abdullah Rosyad dan Nyai Khadijah yang lahir di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1870 M.
Baca juga: Tradisi Hafalan Alquran di Indonesia
Dilihat silsilah nasabnya, dapat dipastikan bahwa beliau berasal dari keluarga darah biru. Kakeknya, K.H. Hasan Beshari, adalah ajudan Pangeran Diponegoro yang memiliki keinginan kuat untuk dapat menghafalkan Alquran. Namun, ia merasa sangat berat setelah berkali-kali mencobanya. Akhirnya, ia memutuskan diri untuk melakukan riyadhoh dan mujahadah selama sembilan hari. Dari mujahadahnya inilah, Allah mengilhamkan sebuah isyarat bahwa cita-citanya untuk menghafalkan Alquran itu akan dikaruniakan kepada keturunannya (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an: Biografi Huffaz Al-Qur’an di Nusantara, hal. 15).
Hal yang sama juga dirasakan oleh ayahnya, K.H. Abdullah Rosyad. Selama sembilan tahun riyadhah di Tanah Haram, ia mendapatkan ilham bahwa ia akan dikaruniai dengan anak, cucu, dan keturunan yang hafal Alquran.
Masa Kecil dan Pendidikan Mbah Munawwir
Sejak kecil, bakat dan kecerdasannya sebagai ahli qiraat sudah mulai tampak. Buktinya ketika umurnya masih seusia jagung, ia memiliki daya ingat dan hafalan yang sangat kuat sewaktu ayahnya menyuruhnya untuk menghafalkan surah-surah pendek. Melihat hal itu, ayahnya, K.H. Abdullah Rosyad mulai memotivasi dan mendorongnya untuk menghafalkan Alquran.
Di usia anak-anak, Mbah Munawwir sudah dititipkan di sebuah pesantren daerah Bangkalan, asuhan K.H. Maksum. Di pesantren ini, bakat dan keahlian beliau sudah mulai kelihatan. Kefasihannya dalam membaca Alquran telah mendorong K.H. Maksum untuk menjadikannya imam tiap salat jamaah, padahal masih berusia 10 tahun.
Selain belajar Alquran kepada K.H. Maksum, Munawwir kecil juga banyak menimba ilmu keislaman lainnya kepada para kyai besar dan terkemuka saat itu, seperti Syeikh Khalil bin Abdul Latif (Bangkalan, Madura), K.H. Sholeh Darat (Semarang), K.H. Abdur Rahman (Watucongol, Magelang), dan K.H. Abdullah (Kanggotan, Bantul).
Pergi ke Makkah
Setelah belajar kepada para ulama Nusantara, tahun 1888 M. Mbah Munawwir melanjutkan studinya ke Makkah Al-Mukkaramah. Di sana ia menetap selama 16 tahun dengan mengkhususkan diri belajar Alquran dan ilmu-ilmu pendukung lainnya seperti ulumul Qur’an, tafsir, qira’ah sab’ah dan lain sebagainya. Di kota suci ini, ia berhasil menamatkan 30 juz hafalan Alqurannya dengan sanad yang muttasil (bersambung) melalui gurunya, Syeikh Abdul Karim Umar Al-Badri.
Tidak hanya itu, ia juga sukses menghafalkannya dengan qiraat sab’ah (qiraat tujuh) yang ia peroleh dari gurunya, Syeikh Yusuf Hajar. Kesuksesannya itu, menjadikannya sebagai orang pertama dari Jawa yang berhasil menguasai qiraat sab’ah. (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 22-23)
Baca juga: Belajar Alquran Harus Bersanad!
Setelah 16 tahun di sana, ia kemudian berpindah melanjutkan rihlah ilmiahnya ke kota Madinah Al-Munawwarah. Di kota suci itu, ia banyak belajar berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti tauhid, fikih, serta cabang-cabang dan ilmu-ilmu lainnya kepada para masyaikh. Di antara masyaikh tersebut adalah Syekh Abdullah Sanqara, Syekh Syarbini, Syekh Muqri, Syekh Ibrahim Huzaimi, Syekh Manshur, Syekh Abd Syakur, dan Syekh Musthafa.
Alkisah, diceritakan pernah suatu ketika dalam perjalanan Mbah Munawwir dari Makkah menuju Madinah, ia bertemu dengan orang tua yang tak dikenalnya, lalu mengajaknya berjabat tangan. Ketika itu, ia minta doa agar menjadi seorang yang benar-benar hafiz Alquran. Lalu dijawab orang itu: ”Insya Allah”. Menurut muridnya, K.H. Arwani Amin, orang tua tersebut ialah Nabiyallah Khidir a.s. (Al-Albaa’ Anjuma, Testimoni para Penghafal Alquran, hal. 190).
Punya Metode Tersendiri
Dalam upaya supaya hafalannya tetap terjaga di Makkah, K.H. Munawwir punya mode tersendiri. Metode tersebut terdiri dari tiga tahapan sebagai berikut; 1) Pada tiga tahun pertama, ia mengkhatamkan sekali Alquran selama tujuh hari tujuh malam; 2) Tiga tahun selanjutnya, ia mengkhatamkan Alquran dalam waktu tiga hari tiga malam; 3) Tiga tahun terakhir, ia hanya butuh waktu sehari semalam untuk mengkhatamkan Alquran.
Konon, muridnya, K.H. Nur Munawir Kertosono, pernah bercerita bahwa setelah menempuh tiga tahapan tersebut, gurunya pernah mencoba mengkhatamkan Alquran tanpa henti selama 40 hari, sehingga membuat mulutnya berdarah. Dengan motede ini, hafalan K.H. Munawwir menjadi mutqin (kuat) seperti “kaset” yang bisa diputar kapanpun ia mau (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 24).
Beliau tetap mewiridkan Alquran tiap bakda asar dan bakda subuh. Kendatipun sudah hafal, K.H. Munawwir seringkali tetap menggunakan mushaf. Wirid ini tetap ia jaga meski dalam keadaan safar, baik ketika berjalan kaki maupun saat berkendara (Balqis Iskandar, Menjadi Kekasih Al-Qur’an, hal. 38).
Pulang dari Makkah dan Berdakwah dari Kauman ke Krapyak
Setelah menuntut ilmu selama 21 tahun (1909 M.) di Makkah dan Madinah, Mbah Munawwir pulang kembali ke tanah air. Ia menjejakkan kaki kembali ke tanah kelahirannya, Kauman, untuk mengajarkan apa yang selama ini telah ia dapatkan. Di Kauman, ia menyelenggarakan majelis pengajian kecil-kecilan di surau/musala di daerah tersebut. Pengajian yang diasuhnya itu mendapat antusias dan semangat yang tinggi dari masyarakat sekitar, sehingga membuat pengajiannya berkembang pesat.
Ketenaran Mbah Munawwir sampai didengar oleh K.H. Said Cirebon. Sebelumnya, K.H. Said telah mendapat kabar akan kealiman dan kecerdasan K.H. Munawwir selama belajar di Makkah. Keduanya sering berkirim salam, surat, dan hadiah. Menariknya, mereka berdua belum pernah bertatap muka.
Baca juga: Mengenal Kiai Dahlan Khalil, Ahli Alquran dari Rejoso Jombang
Setelah pulang dari Makkah, Mbah Munawwir menyempatkan dirinya untuk matur ke kediaman K.H. Said sebelum ke kampung halamannya. Hal yang sama, juga dilakukan K.H. Said ke tempatnya K.H. Munawwir. Dalam kunjungannya tersebut, K.H. Said memberi saran kepadanya untuk berpindah tempat dakwah dari Kauman ke Krapyak, karena faktor tempat yang kurang strategis dan kecil (Al-Albaa’ Anjuma, Testimoni para Penghafal Alquran, hal. 191).
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya Mbah Munawwir pun setuju dengan saran tersebut. Ia berhijrah dari Kauman menuju Krapyak. Di sana, ia membeli sebidang tanah di sebelah selatan Keraton Yogyakarta, milik seorang penjaga gedung. Dari tanah inilah, Mbah Munawwir mulai merintis pondok yang diberi nama Pesantren Krapyak Yogyakarta di akhir tahun 1909 M. Kemudian pesantren tersebut mulai ditempati para santri pada tahun 1910 M. (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 25).
Pendidikan dan pengajaran pada masa Mbah Munawwir tetap menekankan pada bidang Alquran, sesuai dengan keahliannya. Meskipun, tetap dilakukan pengajaran lainnya seperti kitab kuning, fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain, tapi hanya sebagai pelengkap saja.
Baca juga: Riyadhah K.H. M. Munawwir Krapyak, dari Wirid Al-Qur’an hingga Bertemu Nabi Khidir
Metode pendidikan dan pengajaran Alquran pada masa itu langsung diasuh oleh Mbah Munawwir. Materi yang disampaikan kepada santri ada dua jenis; pertama, santri yang mengaji Alquran dengan cara membaca mushaf, disebut bin-nadzar; kedua, santri yang mengaji dengan cara menghafalkan mushaf, disebut bil-gaib (LPMQ, Para Penjaga Al-Qur’an, hal. 29).
Dalam pengajarannya, Mbah Munawwir memakai metode musyāfahah, yaitu santri membaca Alquran satu persatu di hadapannya. Jika terjadi kesalahan dalam membaca, ia langsung membenarkannya, kemudian santri langsung mengikuti. Jadi, antara keduanya saling menyaksikan secara langsung. Selain itu, Mbah Munawwir sering kali menyuruh santri senior untuk membenarkan bacaan santri baru dengan cara minta petunjuk kepada temannya yang lebih pandai di luar majelis. Hal ini dapat membawa manfaat bagi santri agar lebih cepat dan lancar di dalam belajar membaca Alquran.
Mencetak para Ulama Besar
Mulai sejak berdiri hingga sekarang, Pesantren Krapyak telah mencetak banyak alim ulama, baik yang berasal dari Jawa maupun luar Jawa, bahkan ada yang dari luar negeri seperti Singapura. Murid-murid Mbah Munawwir di antaranya Arwani Amin (Kudus), Zuhdi (Kertosono), Munawir, Abu Amar (Kroya), Muhyiddin (Bantul Yogyakarta), Hisyam (Kotagede Yogyakarta), Hasbullah (Wonokromo Yogyakarta), Anshor (Pepedan Bumiayu), H. Yusuf, H. Hifni (Bawean), H. Ghozali, dan H. Husein. (Singapura). Murid-muridnya tersebut merupakan guru-guru Alquran yang melanjutkan estafet dakwah Alquran K.H. Munawwir setelah mereka kembali ke daerah masing-masing.
Tercatat selama 33 tahun Mbah Munawwir mengajar banyak di antara muridnya yang membangun pondok pesantren Alquran yang berciri khas Jawa/Madura setelahnya. Di antara mereka seperti K.H, Arwani Amin (Kudus), K.H. Badawi (Kaliwungu, Semarang), K. Zuhdi (Nganjuk, Kertosono), K.H. Umar (Mangkuyudan, Solo), K.H. Umar (Kempek, Cirebon), K.H. Suhaimi (Benda, Bumiayu), K.H. Syatibi (Kyangkong, Kutoarjo). Maka tak mengherankan jika predikat “Mahaguru para Qurra’ Nusantara” disematkan kepadanya.
Salah seorang muridnya, K.H. Arwani Amin, menjadi satu-satunya murid yang mampu menguasai qiraat sab’ah dari dirinya. Bahkan sang guru pernah berpesan, “Kalau kamu tidak mengaji qiraat sab’ah kepadaku, maka mengajilah kepada Arwani Amin Kudus.” Dari K.H. Arwani inilah penyebaran qiraat sab’ah mulai dikenal dan meluas ke seantero pesantren di Nusantara (Agus Priyatno, Transformasi Manajemen Pesantren Penghafal Alquran di Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus, hal, 86).
Akhir Hayat
Mbah Munawwir wafat pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1360 H./06 Juli 1942 M. di rumahnya dalam Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Saat itu orang-orang tengah melaksanakan ibadah salat Jumat sehingga rombongan pembaca surah Yasin belum ada yang hadir. Beliau dimakamkan di sebelah Masjid Patok Negara Dongkelan Kauman, Yogyakarta.