Sahabat Umar bin Khattab ra. merupakan salah satu sahabat yang dianugerahi banyak keistimewaan, salah satunya adalah ketajaman akal dan kejernihan pikiran. Hal ini terbukti dari beberapa ayat Alquran yang turun menjustifikasi pandangan beliau. Pada saat menjabat sebagai khalifah, beliau juga berhasil melakukan berbagai terobosan dan inovasi dalam berbagai aspek, termasuk yang berkaitan dengan wacana hukum Islam.
Inovasi yang beliau lakukan dalam wacana hukum Islam dinilai cukup kontroversial, terutama menyangkut masalah kontradiksi antara nas Alquran dan maslahat. Pasalnya, ada beberapa pandangan dan kebijakan beliau yang dianggap murni berpedoman pada maslahat alih-alih berpijak pada nas Alquran. Akibatnya, belakangan ini banyak pemikir-pemikir Islam yang menjadikan pandangan dan kebijakan Umar bin Khattab ra. sebagai acuan untuk mendahulukan maslahat atas nas ketika terjadi pertentangan.
Baca Juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)
Dalam tulisan kali ini, penulis tidak akan membahas lebih lanjut seputar problematika paradoksal antara nas dan maslahat. Akan tetapi, tulisan ini akan berusaha mengelaborasi beberapa pandangan Umar bin Khattab yang diklaim mengabaikan bunyi teks Alquran oleh sebagian kalangan.
Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menegaskan bahwa anggapan sebagian kalangan terkait hasil ijtihad Umar bin Khattab yang dinilai mengabaikan nas Alquran adalah sebuah kesalahan besar. Alih-alih meninggalkan nas, hal tersebut justru menunjukkan ketajaman pemikiran dan kedalaman ilmu yang beliau miliki. Dengan demikian, beliau tidak hanya terpaku pada makna leterlek ayat, lebih dari itu beliau mampu menyingkap makna dan hikmah dari ayat Alquran, sehingga mampu memadukannya dengan konteks kehidupan. (Dhawabit al-Mashlahat, 142)
Di bawah ini beberapa contoh hasil ijtihad sahabat Umar bin Khattab yang dinilai mengedepankan maslahat dan mengabaikan bunyi teks. Namun jika ditinjau lebih dalam, ternyata keputusan-keputusan kontroversial tersebut menjadi bukti kejeniusan dan progresivitas dari Umar bin Khattab.
Baca Juga: Surah at-Taubah Ayat 60: Delapan Golongan yang Berhak Menerima Zakat
Menghapus bagian mualaf dari daftar penerima harta zakat
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang ketentuan operasionalnya sudah ditegaskan dalam Alquran dan Hadis. Pihak-pihak yang berhak menerima harta zakat ada delapan golongan, sebagaima firman Allah Swt Q.S. Altaubah [9]: 60, Allah Swt berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ [التوبة: 60]
Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
Salah satu kelompok yang berhak menerima harta zakat adalah وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ. Setidaknya mereka terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, orang-orang kaum kafir yang disinyalir memiliki kecenderungan terhadap Islam, sehingga perlu diberikan perhatian khusus agar semakin tertarik dengan Islam. Kedua, orang mualaf yang imannya masih lemah sehingga perlu diberikan perhatian khusus agar imannya kuat. (Al-Tafsir al-Munir, Juz 10, 270).
Pada masa Rasulullah Saw. dan kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq ra., ketentuan mengenai zakat bagi mualaf sepenuhnya diterapkan. Akan tetapi, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a, mereka tidak diberikan. Bahkan diriwayatkan pada suatu ketika ada orang non muslim yang minta bagiannya dari harta zakat, tetapi permintaan itu tidak dipenuhi oleh Sayyidina Umar. (Tafsir al-Maraghi, Juz 10, 144)
Tindakan Umar bin Khattab ra. ini tidak bisa dipahami sebagai pengabaian terhadap ayat Alquran. Pasalnya, aturan mengenai bagian zakat untuk mualaf dilandasi oleh illat (alasan) hukum berupa lemahnya kekuatan Islam, sehingga masih memerlukan massa dan personil. Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, umat Islam sudah kuat sehingga tidak perlu mencari-cari tambahan massa untuk memperkuat barisan.
Baca Juga: Rahasia Huruf Jer Lam dan Fii Dalam Penafsiran Golongan Mustahiq Zakat: Surah At-Taubah Ayat 60
Keputusan yang diambil oleh sahabat Umar bin Khattab untuk meniadakan bagian mualaf dalam harta zakat termasuk dalam Ijtihad bi tahqiq al-manath. Ijtihad tersebut dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk menerapkan hukum Islam yang sudah mapan dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, ijtihad model ini sudah tiak lagi berkutat dalam aspek linguistik teks ayat atau Hadis. Akan tetapi, kajiannya fokus pada realita yang menjadi lokus penerapan hukum syariat. (Al-Muwafaqat, Juz 5, 125)
Dengan memerhatikan kondisi sosial masyarakat muslim yang sudah kuat secara teologis dan politik, maka Umar bin Khattab memutuskan untuk tidak lagi memberikan harta zakat kepada kaum mualaf. Alih-alih mengabaikan nas, keputusan tersebut menunjukkan tingkat pemahamaan beliau terhadap suatu ayat serta hikmah dibalik keputusan dalam ayat tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan hukum yang dicetuskan oleh Umar bin Khattab terkait peniadaan bagian mualaf dalam harta zakat bukan berarti mengabaikan ayat. Justru hal tersebut menunjukkan kedalaman dan progresivitas beliau dalam memahami dan mengamalkan sebuah teks.