Kosmologi berasal dari kata kosmos yang berarti alam semesta, sehingga kosmologi adalah ilmu yang mempelajari asal-usul dan perkembangan alam semesta, adapun salah satu teori besar yang sering dibahas adalah Teori Big Bang.
Dalam buku berjudul Kosmologi karya Fabian H. Chandra (hlm. 82), menyebutkan bahwa pada tahun 1931, seorang astrofisikawan dan pendeta asal Belgia bernama Georges Lemaitre, ia mencetuskan gagasan bahwa alam semesta bermula dari satu titik rapat, lalu berkembang menjadi seperti sekarang.
Gagasan Big Bang mendapatkan sambutan luas, terutama setelah Edwin Hubble mengemukakan bahwa alam semesta mengembang. Para ilmuwan Big Bangist kemudian mulai mempelajari bagaimana alam semesta berkembang sejak awal. Big Bang bukanlah ledakan seperti bom, melainkan proses di mana ruang dan materi mengembang, seperti balon yang ditiup.
Perluasan ini terjadi di seluruh ruang, bukan hanya pada satu titik. Menariknya, konsep awal penciptaan alam semesta telah disinggung lebih dahulu dalam Alquran, yakni dalam surah al-Anbiya’ ayat 30. Ayat tersebut memuat isyarat yang sejalan dengan Teori Big Bang yang baru dikembangkan dalam sains modern.
Baca Juga: Mencari Titik Temu Sains dan Alquran
Penafsiran Surah Al-Anbiya’ Ayat 30
أَوَلَمْ يَرَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ ٱلْمَآءِ كُلَّ شَىْءٍ حَىٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan riwayat dari ‘Athiyyah al-‘Aufi berkata, “Dahulu, alam ini bersatu, tidak menurunkan hujan, lalu hujan pun turun, tidak menumbuhkan tanaman, lalu tumbuhlah tanaman.” Disebutkan pula riwayat Isma’il bin Abi Khalid, “Aku bertanya pada Abu Shalih al-Hanafi tentang firman Allah ‘أَنَّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَٰهُمَا’, Abu Shalih menjawab, “Dahulu langit itu satu, kemudian dipisahkan menjadi tujuh lapis langit, bumi dulunya satu yang kemudian dipisahkan menjadi tujuh lapis bumi.”
Sa’id bin Jubair berkata, “Bahkan, dahulu langit dan bumi saling bersatu padu. Lalu, ketika langit diangkat dan bumi dihamparkan, maka itulah pemisahan keduanya yang disebut Allah dalam firman-Nya.” Al-Hasan dan Qatadah menyebutkan bahwa langit dan bumi dahulu menyatu, keduanya dipisahkan dengan udara. (Alu Syaikh, Lubatut Tafsir Min Ibni Katsir Jilid 5, 2003, hlm. 447–448)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, al-Hasan, Atha’, adh-Dhahhak dan Qatadah mengatakan, “Yakni, bahwa itu dulunya sesuatu yang menyatu saling menempel, lalu Allah memisahkan antara keduanya dengan udara.” Dikatakan pula oleh Ka’b, “Allah menciptakan langit dan bumi sebagiannya di atas sebagian lainnya, kemudian menciptakan angin di tengahnya sehingga langit dan bumi terpisah, Allah menjadikan langit maupun bumi menjadi tujuh.” (Al-Qurthubi, Al Jami’ li Ahkam Al Qur’an, Juz 11, 1993, 283)
Menurut al-Qurthubi sendiri dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al Qur’an (Juz 11, 284), dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran berdasarkan kesaksian dan bukti yang tampak. Karena itu Allah juga mengabarkan ini di selain ayat ini untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya, dan juga tentang pembangkitan kembali serta pembalasan amal perbuatan.
Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran
Dalam Tafsir Al-Misbah (Jilid 8, 442 – 443), Quraish Shihab menafsirkan kata “رتقا” ratqan dari segi bahasa berarti terpadu, sedang kata “فتقناهما” fataqnahuma dari kata “فتق” fataqa yang berarti terbelah atau terpisah. Para ulama berbeda pendapat mengenai ayat ini, ada yang memahaminya dalam arti langit dan bumi merupakan satu gumpalan yang terpadu, kemudian Allah membelah langit dan bumi dengan menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan di bumi.
Ada juga yang berpendapat bahwa Allah memisahkan dengan cara mengangkat langit ke atas dan membiarkan bumi tetap berada ditempatnya, keduanya terpisah karena udara. Menurut Thabathaba’i, terulangnya berkali-kali kehidupan dan kematian yang terlihat menunjukkan bahwa suatu ketika langit dan bumi pernah merupakan kesatuan (gumpalan), kemudian atas kehendak Allah Swt, keduanya dipisahkan.
Penutup
Ayat ini dipahami oleh sementara ilmuwan sebagai salah satu mukjizat Alquran yang mengungkap peristiwa penciptaan, banyak teori ilmiah yang dikemukakan oleh para pakar dengan bukti yang cukup kuat, salah satunya Teori Big Bang. Meskipun tidak dapat diklaim bahwa Alquran secara langsung mendukung teori ilmiah tersebut, tidak ada salahnya jika teori tersebut memperkaya pemahaman dalam menafsirkan firman Allah Swt.
Baca Juga: Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Alquran memanglah sumber ilmu yang melahirkan berbagai disiplin ilmu lainnya. Banyak konsep dalam Alquran yang seiring berjalannya waktu terbukti selaras dengan temuan ilmiah, menunjukkan bahwa wahyu Allah Swt dapat menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun korelasi antara sains dan Alquran menunjukkan bahwa ilmu yang terkandung dalam Alquran tidak hanya relevan dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam pemahaman ilmiah.