BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaMengenal Qira’at Syadzadzah dan Kedudukannya sebagai Hujjah dalam Kajian Romlah Widayati

Mengenal Qira’at Syadzadzah dan Kedudukannya sebagai Hujjah dalam Kajian Romlah Widayati

Ilmu Qira’at merupakan salah satu cabang ulumul Qur’an yang memiliki kedudukan penting sebagai hujjah dalam penafsiran Al-Qur’an dan memberi hukum. Kedudukan pentingnya ini kemudian menjadi perhatian tersendiri bagi kalangan ulama dan sarjana Al-Qur’an, sebagaimana yang ditekuni oleh Romlah Widayati. Romlah Widayati mengkaji secara spesifik tentang Qira’aat Syadzdzah, yaitu qira’at yang tidak sesuai dengan kaidah qira’at yang dipegang mayoritas muslim.

Kajian ini tertuang dalam bukunya Implikasi Qira’at Syadzdzah terhadap Istinbath Hukum. Buku Romlah Widayati tersebut tidak hanya berfokus pada qira’at syadzdzah, tetapi juga membahas tema qira’at secara umum, yang dijadikannya sebagai pengantar.

Secara spesifik, buku ini merupakan kajian tokoh, yakni pemikiran Abu Hayyan Al-Andalusi dalam Tafsir Al-Bahrul Muhith. Namun, karena qira’at syadzdza menjadi tema besar buku ini, sehingga tulisan ini hanya akan fokus memaparkan tema tersebut secara umum dari kajian Romlah Widayati.

Romlah Widayati dan Qira’at Syadzdzah

Romlah Widayati, lahir 28 Desember 1962 di Klaten, merupakan dosen Ilmu Qira’at Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Jenjang S1-nya diperoleh di fakultas Syari’ah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta (1988). Jenjang S2 (1999) dan S3-nya (2009) diperoleh di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan spesifikasi kajian Ulumul Qur’an.

Beliau aktif menghasilkan tulisan, baik dalam bentuk artikel jurnal maupun buku. Misalnya, Keutamaan Menghafal Al-Qur’an (buku, 2006), Kumpulan Ayat-ayat Munasabat Diniyyat yang ditulis bersama Ahsin Sakho Muhammad (buku, 2014), Taqwa dalam perpesktif Al-Qur’an (jurnal, 2005), Hak dan Kewajiban Perempuan dalam Keluarga (jurnal, 2003), Implikasi Qira’aat Syadzdzah terhadap Istinbath Hukum (buku, 2015), dan lainnya.

Spesifik pada karya Implikasi Qira’at Syadzdzah terhadap Istinbath Hukum. Buku ini berasal dari kerja disertasi Romlah Widayati, yang berjudul “Qira’at Syadzdzah dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith: Analisis Penafsiran Ayat-Ayat Hukum”. Dalam pengantarnya, Ahsin Sakhor Muhammad di antaranya mengatakan bahwa “buku ini bisa mewakili komunitas Ilmu Qira’at di Indonesia sehingga bisa meramaikan atmosfir Ilmu Qira’at dan ikut berperan dalam khazanah Ilmu kequr’anan”.

Baca Juga: Badr al-Din az-Zarkasyi, dari Pembuat Hiasan hingga Penulis Kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an

Dalam pengertian Romlah Widayati, qira’at syadzdzah yaitu jenis qira’at yang tidak memenuhi kriteria kebasahan qira’at yang ditetapkan mayoritas ulama, baik satu maupun lebih kriteria. Dengan kata lain, seluruh qira’at yang tidak mutawatir dan tidak masyhur dapat dikategorikan sebagai qira’at syadzdzah. Jika mengacu pada 14 qira’at terkenal, 10 di antaranya yang termasuk mutawatir, dan 4 di antaranya merupakan qira’aat syadzdzah.

Romlah Widayati mengklasifikasi qira’at syadzdzah menjadi tiga: (1) Qira’at yang sesuai rasm mushaf ‘Utsmani dan tata bahasa, tetapi tidak memiliki sanad. (2) Qira’at yang sesuai rasm mushaf ‘Utsmani dan tata bahasa Arab, tetapi tidak shahih sanadnya. (3) Qira’at yang shahih sanadnya dan sesuai tata bahasa Arab, tetapi tidak sesuai rasm mushaf ‘Utsmani.

Ber-hujjah Berdasarkan Qira’at Syadzdzah

Mengenai kedudukan qira’at syadzdzah sebagai hujjah atau dalil (petunjuk), yang kemudian memiliki kekuatan dalam menafsirkan Al-Qur’an dan pengambilan hukum, ada dua diskusi yang dikemukakan Romlah Widayati: alasan-alasan, dan pendapat para ulama fiqh.

Mengenai alasan-alasan, Romlah Widayati mengatakan bahwa qira’at syadzdzah sebenarnya telah ada di era Nabi Muhammad SAW, bahkan diakomodasi oleh Nabi sendiri. Di antara qira’at syadzdah, ada yang memiliki dasar periwayatan yang shahih serta dasar kebahasaan yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, ulama bahasa membolehkan penggunaan qira’at syadzdzah untuk memperkuat argumentasi kebahasaan, terutama dalam rangka memahami ayat Al-Qur’an.

Dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an, terutama yang menerapkan metode bi al-ma’tsur, adakalanya qira’at syadzdzah ditemukan pada penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan hadis. Ini sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri, misalnya, ketika beliau menafsirkan kata Al-Zhulm (QS. Al-An’am: 82) yang ditafsirinya dengan merujuk kata Syirk (QS. Luqman: 13). Contoh lainnya, kata al-quwwah (QS. Al-Anfal: 69) ditafsirkan dengan Al-Ramyu dalam hadis Nabi.

Dengan demikian, penjelasan di atas menempatkan kedudukan qira’at syadzdzah dari sisi historis dan pandangan ulama bahasa sangatlah tinggi. Sehingga, qira’at syadzdzah, paling tidak, dapat menjadi bagian dari metode tafsir bi Al-Ma’tsur.

Sementara mengenai pendapat ulama fiqh, Romlah Widayati mengatakan bahwa ada ulama yang membolehkan dan yang lainnya melarang menggunakan qira’at syadzdzah sebagai hujjah. Perbedaan ini berdasarkan status qira’at syadzdzah yang dinilai bukan Al-Qur’an.

Ulama yang membolehkan, dipegang oleh kelompok Hanafiyyah, mayoritas Hanabilah, dan mayoritas Syafi’iyah. Menurut Romlah Widayati bahwa para ulama tersebut menempatkan qira’at syadzdzah sama dengan khabar ahad yang diriwayatkan oleh sahabat yang sudah diketahui kualitas dirinya, seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b, dan lainnya.

Baca Juga: Mengenal Yahya ibn Syarf an-Nawawi, Penulis Kitab al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an

Ulama yang melarang, dipegang oleh Imam Malik, salah satu pendapat Imam Syaf’i dan sebagian pengikutnya, sebagian pengikut Hambali, dan Ibnu Hazm. Menurut Romlah Widayati bahwa para ulama tersebut menempatkan qira’at syadzdzah tidak sesuai, bahkan menyalahi, rasm Mushaf ‘Utsmani, sehingga tidak dapat diakui kequr’anannya.

Sampai di sini, paparan di atas memberi pandangan bahwa qira’at syadzdzah lebih dapat digunakan sebagai hujjah dalam menafsirkan Al-Qur’an daripada pengambilan hukum. Dengan demikian, qira’at syadzdzah ini sebenarnya diskusi qira’at Al-Qur’an yang belum selesai. Baik nantinya bersifat pengembangan pada konteks penafsiran Al-Qur’an, maupun bersifat menetapkan sikap/pilihan pada konteks pengambilan hukum. [] Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...