QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

QS. Al-Isra’ (17) Ayat 36: Taklid yang Diharamkan!

Taklid dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku seseorang yang mengikuti suatu perintah atau menerima pendapat dari orang lain tanpa memiliki pemahaman yang didasari dengan dalil atau landasan hukum yang benar. Perilaku ini dapat menimbulkan dampak negatif, mulai dari konflik keluarga hingga masyarakat luas.

Fenomena tersebut terjadi karena sikap taklid terhadap sesuatu tanpa ber-tabayyun terlebih dahulu terhadap kebenarannya. Sebagaimana yang disinggung dalam Q.S. Alisra’ [17]: 36;

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan ditanya tentangnya.

Baca Juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Larangan taklid terhadap sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya

Dalam QS. Al-Isra’ [17]: 36 dijelaskan mengenai larangan taklid terhadap sesuatu yang tidak memiliki rujukan atau dalil, karena sikap taklid akan meniadakan keberadaan potensi akal, serta umat islam harus sadar bahwa penglihatan, pendengaran, dan hati akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Dalam Tafsir Al-Misbah (Vol. 7, 86-87) dijelaskan bahwa, saat seseorang berada diposisi untuk mengambil suatu sikap, baik itu menyatakan atau membantah sesuatu jika tidak didasari dengan pengetahuan, maka ia tidak diperbolehkan untuk melakukannya. Jangan pernah malu untuk berkata “tidak tahu” jika memang tidak mengetahuinya, sebab semua itu akan dimintai pertanggungjawaban.

Dijelaskan bahwa ayat ini memiliki pesan “janganlah mengikuti suatu apapun yang tidak ketahui tentangnya”. Yaitu, larangan berkata tentang apa yang tidak diketahui, larangan mengaku tahu apa tidak diketahui, larangan mengaku mendengar apa yang tidak didengar. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan alat-alat pengetahuan. Masing-masing dari ketiga alat pengetahuan itu akan ditanyai mengenai bagaimana pemilik menggunakannya semasa ia masih di dunia.

Sedangkan dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Jilid 7, 257) dijelaskan bahwa ayat di atas mengandung perintah agar hati dan akal tetap lurus di atas manhaj Islam, agar tidak ada lagi ruang tumbuhnya khayalan, ilusi dan khurafat dalam dunia akidah (ideologi), perintah agar bersifat klarifikatif dalam beramal dan menerima informasi.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 36-37

Selain itu, dalam ayat tersebut mengandung larangan bagi umat Islam dalam mengikuti sesuatu yang belum diketahui secara pasti kebenarannya, baik orangnya maupun ilmunya. Karena menurut Sayyid Qutb, suatu amanah akan dimintai pertanggungjawabannya  atas setiap manusia dan akan ditanyakan juga terhadap anggota tubuhnya, seperti pancaindra, akal, dan hati yang keseluruhannnya telah dianugerahkan oleh Allah Swt. (Sayyid Qutb, 2003, hal. 257)

Sependapat dengan Az-Zuhaili (Tafsir Al-Munir, Jilid 8, 91). Mengenai ayat tersebut Az-Zuhaili mengatakan bahwa dalam ayat tersebut mengandung beberapa larangan, di antaranya; larangan mengambil suatu keputusan berdasarkan apa yang tidak diketahui secara benar dan tidak bersandar pada dalil, larangan taklid, larangan beramal mengikuti hawa nafsu, larangan membuat kesaksian palsu, larangan berkata-kata bohong atau dusta, larangan menuduh menggunakan tuduhan paslu, larangan menghakimi seseorang berdasarkan prasangka (dzan), larangan memalsukan informasi, dan larangan berbicara tanpa landasan ilmu. Karena pemiliknya akan ditanyai mengenai pendengaran, penglihatan, dan hati kelak di hari kiamat, serta kelak semua mediator akan ditanya oleh Tuhan tentang pemiliknya.

Baca Juga: Isyarat Larangan Taklid Buta: Tafsir Al-Baqarah Ayat 170

Pendapat yang serupa dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam (Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, Jilid 5, 372-373) ia mengatakan bahwa dalam ayat tersebut mengandung beberapa larangan yang telah ditetapkan oleh Allah, seperti; larangan menuduh seseorang jika tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, larangan memberikan kesaksian palsu, larangan berkata-kata dusta, larangan mengatakan sesuatu berdasarkan prasangka, perkiraan, dan khalayan. Karena setiap hamba akan ditanya pada hari kiamat tentang tiga nikmat (pendengaran, penglihatan, dan hati) untuk apa semua dipergunakan.

Dari beberapa penafsiran di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam pemaknaan atas beberapa larangan di atas memiliki pendapat yang sama. Namun dalam memaknai pendengaran, penglihatan, dan hati keempat mufassir memiliki pandangan yang berbeda. M. Quraish Shihab memaknainya sebagai alat berpengetahuan, tidak jauh berbeda dengan yang dikatakan Az-Zuhaili yang dimaknai sebagai mediator, Sayyid Qutb memaknainya sebagai amanat yang telah diberikan Allah kepada setiap manusia, dan Ibnu Katsir mengartikannya sebagai nikmat.

Jika taklid menjadi kebiasaan, bagaimana bisa umat Islam menjawab tantangan dari kemajuan zaman yang melahirkan perubahan ke arah lebih baik. Taklid mengakibatkan kebekuan berfikir yang berimplikasi pada kebekuan beragama dan pudarnya sinar agama. Kehidupan sosial, pemikiran, dan kebutuhan manusia ikut berubah sesuai dengan kemajuan zaman.

Jika sudah tidak ada kesadaran umat dalam mencari ilmu dan pengetahuan, bagaimana bisa umat mempertahankan agama Islam dan mewujudkan keberkahan agama ini. Perlu diketahui bahwa kemajuan dan perubahan itu tidak lantas didapat dengan sikap yang hanya ikut-ikutan terhadap suatu keputusan tanpa berdasarkan ilmu. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menghadapi suatu pilihan hendaknya mendahulukan akal, mengesampingkan sikap taklid dan fanatik, serta perlu ber-tabayyun akan sesuatu yang belum diketahui kebenarannya agar diperoleh satu pilihan berdasarkan fakta dan kebenaran.

Wallahu a’lam.