BerandaTafsir TematikRagam Istilah Pemimpin dalam Alquran

Ragam Istilah Pemimpin dalam Alquran

Dalam telaah Alquran, istilah pemimpin tercermin melalui beberapa istilah. Kata “Khalifah” misalnya, hadir dalam enam ayat Alquran, di antaranya surah al-Baqarah ayat 30, az-Zumar ayat 26, al-An’am ayat 165, Yunus ayat 73, an-Naml ayat 62, dan al-Mujadilah [58]: 7. Demikian pula, istilah “Ūlī Al-‘Amri” muncul dalam dua ayat, yaitu surah an-Nisa’ ayat 59 dan 83. Sementara itu, “Imām” hadir dalam surah al-Baqarah ayat 124, sedangkan “Mālik” dalam surah al-Baqarah ayat 247.

Berikut adalah pandangan para mufasir tentang makna beberapa istilah yang diartikan ‘sama’, yaitu pemimpin. Berdasar penjelasan mereka, dapat dipahami bahwa makna istilah-istilah yang disamakan itu mempunyai implikasi yang berbeda.

Baca Juga: Al-Qawiyyu al-Amin Sebagai Idealitas Kepemimpinan

Khalifah dalam Alquran

Dalam surah Yunus ayat 73, Allah menjelaskan bahwa manusia dijadikan sebagai “kholaif” di bumi, bentuk jamak dari “khalifah” atau pengganti. Ash-Shawka>ni> menjelaskan bahwa ini menunjukkan Allah memberi manusia peran sebagai pengelola bumi, terutama setelah generasi sebelumnya dihancurkan karena kesalahan mereka. Ash-Shawka>ni>  juga menekankan bahwa konsep khalifah berlaku untuk ayat-ayat lain dalam Alquran yang telah disebutkan sebelumnya. (ash-Shawkānī, 2008, hlm. 175)

Sependapat dengan ash-Shawkani, Ibn Kath>ir menjelaskan khalifah di surah al-Baqarah ayat 30, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” yang menunjukkan bahwa peran sebagai khalifah adalah untuk menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi. Ibn Kathir menegaskan bahwa pemahaman yang benar tentang khalifah adalah sebagai pengganti yang mengelola bumi dengan amanah dari Allah. (Ibn Kathir, 2009, hlm. 45)

Dua perspektif ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi ini, mengingatkan kita untuk bertindak dengan bijaksana dalam menjaga bumi ini dan mewariskannya kepada generasi berikutnya dengan lebih baik.

Ulī al-Amr dalam Alquran

 Kemudian istilah pemimpin yang kedua adalah ulī al-amr. Dalam Tafsir al-Qurṭubī, ulī al-amr, atau para pemimpin, diambil dari surah an-Nisa ayat 59. Kewajiban seorang pemimpin adalah berhukum adil dan menunaikan amanat. Menurut al-Qurt}ubī, ulī al-amr juga bisa merujuk kepada ahli Alquran dan pakar ilmu pengetahuan, seperti yang disampaikan oleh Jabir Ibn Abdullah dan Mujahid.

Mereka melihat ulī al-amr sebagai para ahli ilmu agama dan pengetahuan Alquran. al-Qurt}ubī menambah definisi dalam surah an-Nisa ayat 83, menyatakan bahwa ulī al-amr adalah para ulama dan ahli fikih. Dengan demikian, ulī al-amr mengajarkan pentingnya memiliki pemimpin yang adil dan amanah serta kewajiban umat untuk mematuhi otoritas Allah. (al-Qurṭubī, 2007, hlm. 687 Vol.5)

Dalam tafsirnya, Imam aṭ-Ṭabarī menjelaskan bahwa ulī al-amr pada surah al-Baqarah ayat 124 bisa diartikan sebagai para pemimpin. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka adalah para pemimpin. aṭ-Ṭabarī sendiri berpendapat bahwa ulī al-amr mengacu kepada para pemimpin dan penguasa, berdasarkan hadits sahih dari Rasulullah saw. yang memerintahkan taat kepada mereka asalkan perintah tersebut membawa kemaslahatan (Fath al-Bārī 8/254). (aṭ-Ṭabarī, 2007, hlm. 467)

Penjelasan lebih lanjut mengenai ulī al-amr pada ayat 83 di surah an-Nisa tidak disampaikan secara detail oleh aṭ-Ṭabarī, mungkin karena penjelasan sebelumnya sudah cukup.

Baca Juga: Perintah Memilih Pemimpin Muslim, Apakah Bentuk Diskriminasi Terhadap Non-Muslim?

Imām dalam Alquran

Selanjutnya istilah pemimpin yang ketiga diambil dari surah al-Baqarah ayat 124 yang berkenaan dengan istilah imām. Dalam Tafsir al-Munīr karya Wahbah Zuhaili terhadap surah al-Baqarah ayat 124, dijelaskan bahwa Allah memberikan balasan terbaik kepada Nabi Ibrahim atas kesetiaannya. Allah berfirman kepadanya, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu rasul dan imam bagi seluruh manusia; kau pimpin mereka dalam agama mereka dan mereka menirumu dalam perkara-perkara ini, serta orang-orang saleh mengikuti jejakmu.”

Menurut az-Zuhaili hal ini menunjukkan bahwa Ibrahim diberi peran sebagai teladan dan pemimpin spiritual bagi seluruh umat manusia. Tugasnya adalah untuk menyampaikan ajaran tauhid dan menyeru manusia untuk meninggalkan penyembahan berhala. Ibrahim bahkan memohon agar keturunannya juga diberikan peran yang sama untuk membawa kebaikan dalam perilaku, agama, dan akhlak mereka.

Namun, Allah memberi penegasan bahwa janji-Nya tentang kepemimpinan dan kenabian ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim dan menganiaya diri mereka sendiri. Seorang imam harus menjadi teladan bagi umat dalam menjaga agama dan membawa mereka menuju kebenaran. Jika seorang imam sendiri terlibat dalam penyelewengan, bagaimana mungkin dia dapat memimpin orang lain dengan benar?

Lebih lanjut dalam ayat ini, Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam tafsirnya mengenai istilah pemimpin khususnya imam. Bahwa menjadi seorang imam harus menekankan pentingnya integritas, keadilan, dan keteladanan dalam kepemimpinan agama. Seorang imam harus menghindari kelaliman dan selalu berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi umatnya.(Az-Zuhaili, 2013, hlm. 241)

Baca Juga: Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran

Mālik dalam Alquran

Selanjutnya istilah pemimpin yang keempat diambil dari Q.S. al-Baqarah ayat 247 yang berkenaan dengan kata mālik . Dalam Tafsir Al-Mishbah karya Quraish Shihab terhadap surah al-Baqarah ayat 247, Quraish shihab menjelaskan bahwa Nabi menyampaikan wahyu Ilahi atas permintaan mereka dengan menguatkan penyampaian menggunakan kata “sesungguhnya”. Nabi menjelaskan bahwa Allah telah mengutus Thalut sebagai raja, bukan penunjukan dirinya. Lafaz mālik sini diinterpretasikan oleh Quraish Shihab sebagai raja.

Lebih lanjut, Quraish shihab menjelaskan bahwa mereka meragukan wewenangnya (pemimpin). Ayat ini menegaskan bahwa wewenang memerintah tidak bergantung pada keturunan, melainkan pada pengetahuan dan kesehatan jasmani. Pemilihan pemimpin harus didasarkan pada sifat-sifat dan kualifikasi yang mendukung tugas yang akan diemban. (Shihab, 2012, hlm. 533) Wallah a’lam.

*Artikel ini hasil kerja sama antara tafsiralquran.id dan prodi IAT UIN Sunan Ampel Surabaya

Aji Ahmad Amrozi
Aji Ahmad Amrozi
Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya. Bisa disapa lewat @ajialakadarnya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...