Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan terkait asbab an-nuzul dan pemaknaan dari umat-umat beragama. Lalu, bagaimana ragam tafsir Surat Al-Baqarah ayat 62 dari tafsir klasik hingga kontemporer? Sebelum masuk ke penafsirannya, terlebih dahulu penulis jelaskan terkait munasabah pada ayat tersebut.
Munasabah ayat
Dalam ayat sebelumnya (Surat Al-Baqarah ayat 61), Allah memberikan keterangan tentang kesalahan-kesalahan orang Yahudi. Sehingga mereka mendapatkan kemurkaan, kehinaan, dan kemiskinan dari Tuhan. Allah menjelasakan dalam ayat 62, bahwa umat beragama lain pada masanya, bisa mendapatkan pahala seperti yang diperoleh umat mukmin, jika mereka beriman dan bertobat (Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, 121)
Dari keterangan tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa Surat Al-Baqarah ayat 62 berkaitan dengan ayat sebelumnya, yang menggambarkan golongan umat Yahudi yang durhaka dan dihinakan, ketika mereka hendak bertaubat maka akan diberikan kebahagiaan. Ini menjadi jawaban dan kemurahan Allah terhadap makhluk-Nya.
Baca juga: Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Ragam Makna Umat Beragama
Pendapat mufasir klasik
Keimanan orang-orang Yahudi menurut at-Thabari, yaitu mereka yang teguh keimanannya terhadap Taurat dan ajaran Musa as. Dan sampai datangnya Isa as, ia harus mengimani Isa as. Ketika tidak beriman, maka ia termasuk orang yang celaka. Sementara keimanan orang Nasrani yaitu mereka yang teguh dengan Injil dan ajaran Isa as dan ketika datang kenabian Muhammad saw. mereka lantas mengimaninya. Ketika tidak, mereka bakal celaka (Jami’ al-Bayan, Juz I, 232-233).
Ibnu Jarir at-Thabari, dalam Jami’ al-Bayan, Juz I, 231 menafsirkan مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ secara ringkasnya yaitu mereka yang membenarkan serta mengikrarkan adanya hari kebangkitan setelah kematian di hari akhir, mengerjakan amal saleh dan taat kepada Allah, maka baginya adalah pahala atas perbuatannya di sisi Allah.
Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 284) berpendapat, umat-umat yang lalu apabila berbuat baik dan taat maka baginya adalah pahala yang baik. Kaidah yang ditetapkan sampai hari kiamat, adalah setiap orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, kebahagian abadi berhak baginya. Masa depan yang mereka hadapi tanpa rasa ketakutan dan masa yang lalu tidak menjadi kesedihan.
Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?
Seperti dimaktub dalam Surat Yunus ayat 62 yaitu, “Ingatlah, Sesungguhnya kekasih-kekasih Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Ukuran keimanan orang Yahdui dan Nasrani, dalam pandangan Ibnu Katsir yaitu ketika mereka mengimani ajaran Nabinya masing-masing. Namun ketika datang ajaran Nabi Muhammad saw. lalu mereka tidak mengimaninya, makan mereka termasuk orang yang binasa (Tafsir al-Qur’an al-Azim, Juz I, 285)
Pendapat mufasir kontemporer
Menurut Rasyid Ridha (Tafsir al-Manar, Jilid 1, 243), bahwa agama itu sama jika suatu agama itu memiliki tiga hal. Pertama, beriman kepada Allah. Kedua, beriman kepada hari Akhir. Ketiga beramal Shaleh. Ridha melanjutkan, kriteria yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 62 dan termasuk Al-Maidah ayat 69 diperuntukkan bagi golongan/kaum yang dakwah Nabi Muhammad belum sampai kepada mereka.
Keselamatan golongan ini disyaratkan hanya iman kepada Allah dan hari kiamat saja. Namun ketika dalam kondisi dakwah Islam sampai pada mereka, dan bisa menjumpainya, mau tidak mau harus mengimani ajaran tersebut.
Hamka menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa keempat golongan tersebut terkumpul dalam satu keimanan kepada Allah dan hari akhir, diikuti dengan melakukan kebajikan. Dengan begitu, mereka akan mendapatkan ganjaran di sisi Tuhannya. (Tafsir al-Azhar Juz I, 191)
Dalam pandangan Hamka, ayat ini tidak dinasakh dengan ayat 85 dari QS Ali Imran sebagaimana pendapat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang mereka terima dari Ibnu Abbas. Hamka berpendapat ketika ayat ini dinasakh maka akan timbul fanatik dan sikap eksklusif. Tetapi ayat ini dipahami saling melengkapi sehingga agama Islam tetap membuka pintu dakwah dan menjadi agama yang fitrah dan murni. (Tafsir al-Azhar,196)
Adapun syarat yang diperuntukkannya, dalam pandangan Hamka ada dua, yaitu iman kepada Allah dan hari pembalasan dan kedua beramal saleh yang berfaidah dan bermanfaat untuk diri sendiri serta orang lain.
Baca juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab
Berkaitan dengan syarat pertama yaitu keimanan, Thaba’thabai menjelaskan tentang pengulangan kata “beriman” dalam ayat tersebut. Pengulangan ini membuktikan bahwa; kata iman pada kata kedua yaitu “man âmana” (barangsiapa yang beriman) menunjukkan pensifatan iman dengan arti yang sebenar-benarnya, “iman sejati”.
Berbeda dengan kata iman pertama pada kata “innalladzîna âmanû” (sesungguhnya orang-orang yang beriman) yang menunjukkan arti iman secara dzahir saja, iman yang belum teruji. (Tafsir al-Mizan, jil: 1, 192)
Sementara menurut Quraish Shihab, persyaratan beriman kepada Allah dan hari kemudian, bukan berarti hanya dua itu saja yang dituntut dari mereka, tetapi dua rukun tersebut menjadi istilah yang biasa digunakan oleh al-Qur’an dan sunnah untuk pemaknaan iman yang benar dan mencakup semua rukunnya (Tafsir al-Misbah, 208)
Kementerian Agama (al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 1, 121) menerangkan bahwa ayat tersebut menjelaskan tiap-tiap umat pada masa itu yang benar-benar berpegang pada ajaran para nabi mereka serta beramal saleh akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan maghfirah-Nya selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya.
Namun ketika sudah datang ajaran Nabi Muhammad, semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya yakni dengan menganut Islam. Hal ini apabila ia menginginkan keselamatan, kebahagiaan, dan pahala di sisi Allah.
Baca juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran
Sementara hal yang berbeda dapat ditemukan dalam penafsiran Abdul Moqsith Ghazali (Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, 248). Ia nampaknya tidak sependapat dengan kebanyakan ulama tafsir seperti at-Thabari, Ibnu Katsir, terkait ukuran keimanan golongan-golongan umat beragama seperti yang telah disebutkan di atas.
Penafsiran sebagaimana di atas, menurut Moqsith mengasumsikan bahwa setiap kedatangan nabi baru akan menghapus ajaran nabi yang lama, yang berarti mereka saling bertentangan. Menurutnya, perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nasrani bukan pada prinsip pokoknya, melainkan syariat yang diembannya. Maka dari itu, ajaran yang dibawa Nabi Muhammad merupakan hasil modifikasi dari ajaran sebelumnya.
Moqsith menyimpulkan, ayat tersebut tidak menerangkan kewajiban orang Yahudi, Nasrani, dan Sabiin agar beriman kepada Nabi Muhammad. Karena pernyataan beriman kepada Muhammad saw merupakan sebuah penafsiran bukan pernyataan al-Qur’an itu sendiri.
Dengan demikian, Islam tidak hanya mengakui ajaran agama dan umat agama lain, namun menurut al-Qur’an, golongan non-Muslim tetap akan diselamatkan Allah sejauh mereka menjalankan ajaran agamanya secara sungguh-sungguh dan melakukan amal saleh sebagaimana yang ditetapkan dalam kitab suci masing-masing. (Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, 249)
Ragam pendapat dari para mufasir tidak sepatutnya kita jadikan perpecahan dan klaim kebenaran. Karena kebenaran al-Qur’an mutlak milik Allah dan Rasul-Nya. Sementara tafsir adalah hasil ijtihad dari para mufasir sebagai reader (pembaca) yang patut diapresiasi. Wallahu a’lam[]