BerandaTafsir TematikRambu-Rambu Ketaatan Terhadap Pemimpin: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 59

Rambu-Rambu Ketaatan Terhadap Pemimpin: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 59

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup secara berkelompok. Kehidupan berkelompok ini–baik bagi suku primitif ataupun masyarakat modern–secara tidak langsung menuntut mereka untuk mencari dan menemukan sosok pemimpin. Karena tanpa kehadiran dan ketaatan terhadap pemimpin, kehidupan masyarakat tidak akan stabil dan berpotensi mengalami perselisihan.

Sosok pemimpin adalah seorang yang dengan segala kemampuannya mampu mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan memperbaiki pikiran, perasaan dan tindakan masyarakat yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik. Kehadirannya diharapkan dapat menjadikan kehidupan masyarakat lebih stabil, makmur, damai, dan aman sentosa.

Urgensi sosok pemimpin

Pemimpin adalah pilar utama kehidupan masyarakat. Jika suatu masyarakat dipimpin oleh pemimpin yang berkompeten, maka kemungkinan besar masyarakat tersebut mampu menghadapi berbagai persoalan kehidupan mereka dengan baik, begitu pula sebaliknya. Tanpa kehadiran dan ketaatan terhadap pemimpin, masyarakat akan menjadi kacau balau bahkan mungkin berakibat pada kehancuran.

Agama Islam sangat menyadari pentingnya kehadiran sosok pemimpin sebagai pilar utama masyarakat, baik yang berskala kecil maupun besar. Nabi Muhammad Saw bersabda:

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ

Jika tiga orang berada dalam perjalanan, maka siapkan mereka mengangkat seorang dari mereka sebagai pemimpin.”  (HR Abu Dawud)

Al-Khattabi menuturkan, perintah Rasulullah ini bertujuan agar kelompok masyarakat bersatu, tidak bercerai berai, dan agar tidak terjadi perbedaan yang dapat memecah belah mereka. Sekalipun ada problematika tersebut di masyarakat, kehadiran sosok pemimpin diharapkan dapat mengatasi dan menyelesaikannya.

Baca Juga: Inilah Cara Memberikan Nasihat Kepada Pemimpin Menurut Al-Quran

Sedangkan imam asy-Syaukani menjelaskan bahwa ungkapan hadis tersebut mengisyaratkan kewajiban mengangkat pemimpin bagi setiap kelompok masyarakat muslim, baik berskala kecil ataupun besar. Sebab seorang pemimpin dapat menjadi pengatur, pendorong dan penengah kelompok masyarakat yang dipimpinnya ke arah situasi serta kondisi yang lebih baik.

Tafsir QS. Nisa’ [4]: 59

Mayoritas ulama menyepakati kewajiban mengangkat pemimpin demi stabilitas masyarakat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai sejauh mana otoritas pemimpin terhadap masyarakat, bagaimana bentuk kepemimpinan semestinya, dan sejauh mana ruang lingkup ketaatan terhadap pemimpin tersebut bagi masyarakat.

Jika umat Islam merujuk kepada Al-Qur’an, sebenarnya terdapat rambu-rambu ketaatan terhadap pemimpin, yakni QS. Nisa’ [4]: 59 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ ٥٩

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Nisa’ [4]: 59)

Ayat di atas memerintahkan orang mukmin agar menaati putusan hukum dari siapa pun yang berwewenang menetapkan hukum. Secara berurut dinyatakan-Nya; Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dalam perintah-perintah-Nya yang tercantum dalam Al-Q ur’an dan taatilah rasul-Nya, yakni Muhammad Saw dalam segala macam perintahnya, baik perintah melakukan sesuatu, maupun perintah untuk tidak melakukannya yang tercantum dalam sunnahnya yang sahih.

Menurut Quraish Shihab, pada ayat tersebut Allah juga memerintahkan orang-orang mukmin untuk mengindahkan dan menaati perintah ulil amri, yakni orang yang berwewenang menangani urusan-urusan mereka, selama perintah itu tidak bertentangan dengan perintah Allah Swt atau perintah Rasul-Nya (Tafsir Al-Misbah [2]: 483).

Baca Juga: Tafsir Surat At-Taubah Ayat 122: Pencari Ilmu Wajib Membangun Expertise

Jika orang-orang mukmin berbeda pendapat tentang sesuatu karena mereka tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam Al-Qur’an dan tidak juga petunjuk Rasul dalam sunnah yang sahih, maka permasalahan itu harus mereka kembalikan kepada nilai-nilai universal firman Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an, serta nilai-nilai universal tuntunan Rasul Saw dalam sunah-nya.

Pada ayat ini, terdapat perbedaan signifikan antara ketaatan terhadap Allah Swt dan rasul-Nya dengan ketaatan terhadap pemimpin. Ketaatan pertama bersifat mutlak-absolute, artinya ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya dilakukan tanpa syarat apapun. Karena perintah Allah dan rasul tidak mungkin salah atau keliru. Sedangkan ketaatan kedua bersifat mutlak-kondisional, yakni selama pemimpin tidak menyeleweng dari syariat Allah dan peraturan yang berlaku.

Adapun yang dimaksud dari pemimpin di sini adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan, seperti para penguasa/pemerintah, alim ulama, dan orang yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok, profesi dan golongan.

Perlu dicatat bahwa kata al-amr berbentuk makrifat atau difinite. Ini menjadikan banyak ulama membatasi wewenang pemilik kekuasaan hanya terbatas pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, bukan persoalan akidah atau keagamaan murni. Selanjutnya, karena Allah memerintahkan umat Islam taat kepada mereka, maka itu berarti bahwa ketaatan tersebut bersumber dari ajaran agama, dan siapa yang tidak mematuhinya akan mendapatkan dosa (Tafsir Al-Misbah [2]: 484).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kehadiran sosok pemimpin di tengah masyarakat sangatlah penting. Oleh karenanya umat Islam berkewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin dan wajib taat kepadannya. Ketaatan terhadap pemimpin ini bersifat mutlak-kondisional, artinya mutlak namun bersyarat, yakni selama perintah pemimpin tersebut tidak melanggar syariat dan konstitusi. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...