Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan rajah sebagai suratan (gambaran, tanda, dan sebagainya) yang dipakai sebagai azimat (untuk penolak penyakit dan sebagainya). Azimat sendiri merupakan barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan digunakan sebagai pelindung pemiliknya, penangkal penyakit, dan lain sebagainya.
Dalam arti yang sedikit berbeda, Senata Adi Prasetia dalam tulisannya berjudul Performative Analysis of Rajah Syekh Subakir in Tawing Village, Trenggalek Perspective of Living Qur’an yang menukil dari Ali Nurdin menjelaskan bahwa rajah merupakan tulisan aksara Arab yang ditulis secara terpisah yang dipadukan dengan serpihan ayat Alquran.
Beberapa sumber yang penulis baca, ada yang menyamakan rajah dengan azimat sebagai objek yang berisi tulisan tertentu dari zikir atau ayat Alquran yang ditulis secara terpisah dengan teknik tertentu. Penyamaan ini boleh jadi disebabkan adanya perbedaan sudut pandang pada satu objek antara diksi rajah dengan azimat. Rajah lebih menekankan pada teknis penulisan. Sedangkan azimat lebih menyorot pada ‘kekuatan’ yang dikandung.
Dalam kajian Alquran, rajah sering kali dikaitkan dengan fenomena Alquran yang hidup atau Living Qur’an. Aspek yang ditekankan ada pada aktivitas penerimaan (resepsi)-nya, yang menurut Ahmad Rafiq sebagaimana juga dikutip oleh Senata Adi dalam Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan para Ulama, Simak Penjelasannya, disebut memiliki fungsi performatif atau praktis.
Sandaran praktiknya, seperti dijelaskan Al-Nawawiy dalam Al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, adalah riwayat dari Ibn Mas‘ud r.a,
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الآيَتَانِ مِنْ آخِرِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ مَنْ قَرَأَ بِهِمَا فِيْ لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ
Rasulullah saw. berkata: “Dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah yang barang siapa membacanya (sebelum tidur) maka akan mencukupinya.”
Menurut sebagian ulama, makna kata kafa dalam riwayat tersebut yang secara literal berarti mencukupi adalah menolak dari hal-hal yang tidak ia sukai.
Baca juga: Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan Para Ulama, Simak Penjelasannya
Terlepas dari unsur sosial dan antropik yang mendasari pembacaan fenomena rajah, penulis memandang adanya peluang pembacaan fenomena yang sama menggunakan perspektif ilmu rasm, ilmu yang memberikan perhatian khusus terhadap teknis penulisan setiap huruf dalam Alquran, tepatnya pada garis batang huruf tanpa menyertakan titik dan tanda baca harakat.
Peluang pembacaan ini dikarenakan kesamaan unsur yang ada pada fenomena rajah dan substansi kajian ilmu rasm. Rajah, dalam hal ini, dapat diartikan sebagai penulisan ayat Alquran secara terpisah, huruf per huruf. Dengan demikian, ilmu rasm, yang berisi kaidah penulisannya, akan menjadi piranti pembacaan yang sangat tepat.
Kemungkinan peluang ini penulis dapatkan ketika penulis beberapa kali mendapatkan ijazah (dengan arti izin dari seorang guru terkait suatu amalan atau ilmu, bukan dengan arti surat tanda tamat belajar) untuk menulis rajah atau azimat yang terdiri dari ayat Alquran. Ketika menjumpai kata yang memiliki perbedaan penulisan dalam ilmu rasm, timbullah pertanyaan, “Model manakah yang harus penulis ikuti?”
Baca juga: Ayat Alquran Disisipkan ke dalam Mantra: Fenomena Unik Masyarakat Banjar
Sebagai contoh, Ayat Kursi (Al-Baqarah [2]: 255) memiliki dua kata al-samawat (berbentuk jam‘ al-mu’annats al-salim). Dalam ilmu rasm, kata tersebut ditulis tanpa menggunakan huruf alif setelah huruf mim dan waw. Sebagai gantinya, harakat yang digunakan adalah fathah berdiri. Padahal, beberapa mushaf yang belum mengikuti kaidah-kaidah ilmu rasm menulis kata tersebut dengan menggunakan huruf alif, sesuai model imla’i.
Dalam penulisan rajah, kedua model tersebut tentu saja akan menghasilkan perbedaan tulisan. Jika mengikuti kaidah ilmu rasm (model usmani), kata al-samawat akan ditulis menjadi, ‘ا ل س م و ت’. Sedangkan jika mengikuti model imla’i, kata tersebut akan ditulis menjadi, ‘ا ل س م ا و ا ت’.
Dalam hal ini, perbedaan tulisan akibat perbedaan model yang diikuti bukan menjadi permasalahan utama karena ilmu rasm ditempatkan sebagai piranti pembacaan. Lagi pula, penggunaan kaidah-kaidah ilmu rasm dalam penulisan masih diperdebatkan kewajibannya, sehingga ada peluang diperbolehkan ketika mengikuti pendapat yang tidak mewajibkan.
Baca juga: Pengamalan Ayat Kursi: Era Nabi Muhammad hingga Kontemporer
Masalah utamanya terletak pada pertanyaan apakah ada implikasi tertentu dari perbedaan penulisan tersebut terhadap fenomena penulisan rajah. Berdasar pengalaman yang penulis alami, pertanyaan tersebut sempat menimbulkan keraguan dalam diri seorang penulis rajah atas apa yang ia tulis. Karena jika merujuk pada ulasan di awal tulisan, rajah dipandang memiliki fungsi performatif dan praktis.
Sederhananya, penulis rajah dapat meragukan rajah yang ia tulis sendiri, benar atau tidakkah rajah yang ia tulis, manjur atau tidakkah rajah yang ia tulis nanti, dan lain sebagainya. Masih dari beberapa sumber yang penulis baca, rajah atau azimat memiliki tata cara penulisannya sendiri, seperti harus menghadap ke mana; ditulis di waktu apa; penulis dalam keadaan suci; dan lain sebagainya. Akan tetapi, tak satu pun yang menyinggung masalah rasm. Apa karena masalah rasm ini memang tidak menjadi pertimbangan dalam penulisan rajah? Wallahu a‘lam bi al-shawab.