Dalam karyanya Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam, al-Qaradhawi mengulas satu bab khusus yang membahas tentang pilar-pilar Islam dalam upaya melakukan reformasi lingkungan (raka’iz al-Islam li ri’ayah al-bi’ah). Khususnya dalam tulisan ini akan dibahas gagasannya dalam membentuk manusia ber-mindset eko-teologis.
Nilai-nilai penting dalam pembahasan ini diharapkan mampu menjadi referensi yang kontributif bagi upaya membangun kesadaran umat Islam dalam merespon isu-isu lingkungan yang dewasa ini semakin sering didengungkan dengan melihat realita alam yang semakin rusak.
Menjaga keberlangsungan peradaban manusia merupakan tujuan utama dalam konteks reformasi lingkungan, sebab ditundukkannya alam oleh Tuhan memiliki maksud untuk memberikan manusia kemudahan dalam menjaga keberlangsungan hidupnya di dunia. Lihat al-Jatsiyah [45]: 13:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.
Ada beberapa prinsip fundamental yang diberikan oleh Islam dan dapat dijadikan pegangan dalam upaya melakukan reformasi lingkungan:
1. Konsep syukur dalam bingkai eko-teologis
Syukur menjadi salah satu konsep dalam Islam yang menekankan adanya rasa terimakasih atas kenikmatan yang telah diberikan Tuhan. Dalam Alquran, ayat tentang syukur yang paling masyhur dikemukakan adalah Q.S Ibrahim [14]: 7:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
Namun konsep syukur ini dalam konteks eko-teologi tidak boleh hanya dicukupkan dengan ungkapan ekspresif semata, namun harus lebih luas yakni dengan menjaga kenikmatan yang telah diberikan (muhafadzah ‘ala al-ni’mah).
Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran
Dalam konteks penyadaran umat Islam, pemahaman ini akan memberikan implikasi nyata bagi umat Islam agar tidak hanya mencukupkan diri dengan berucap “alhamdulillah”. Akan tetapi lebih dari itu yakni menekankan pada umat Islam untuk mengaktualisasikan rasa syukur dengan menjaga nikmat yang disyukuri. Dalam konteks eko-teologis, rasa syukur tidak cukup hanya dihadirkan tatkala melihat pemandangan yang indah saat melakukan wisata, namun juga diaktualisasikan dengan tidak mengotori lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.
2. Hifdz al-‘aql bi Tanhidh al-‘Aql (Menjaga Akal dengan Mengasahnya)
Dalam mengkonstruksi konsep hifdz al-‘aql-nya, Qaradawi tidak hanya memperhatikan aspek proteksional sebagaimana yang digagas para pendahulunya yakni dengan memberikan contoh larangan meminum khamr yang dapat menghilangkan kemampuan akal (tajnib al-nahy). Namun, ia juga menekankan bahwa hifdz al-‘aql juga harus dilakukan dengan mengasah kemampuan akal itu sendiri (tanhidh bi al-‘aql).
Dalam upaya mengasah kemampuan akal, ia menekankan akan pentingnya menuntut ilmu baik itu yang sifatnya wajib ‘ain maupun kifayah. Sebab baginya, umat Islam sebagai ummatan wasathan tidak boleh menjadi beban (penonton) bagi selainnya (dalam lingkup masyarakat), sebab tidak menguasai keilmuan yang dibutuhkan dalam memajukan peradaban masyarakat dan hanya mempelajari ilmu yang sifatnya wajib ‘ain.
Apa yang digagas oleh Qaradawi menjadi salah satu gagasan yang sangat penting untuk disampaikan kepada masyarakat. Jika pemahaman yang diberikan diperluas dalam konteks eko-teologis, maka umat Islam—khususnya di Indonesia sebagai basis umat Islam terbesar—haruslah mampu menjadi pemeran utama dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang terjadi.
Dalam konteks kehidupan kontemporer saat ini, umat Islam harus mampu melahirkan ahli-ahli dalam bidang-bidang keilmuan yang berpengaruh bagi peradaban (al-‘ilm al-madani) dan khususnya yang mampu memberikan inovasi dan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang lahir di dunia kontemporer termasuk di dalamnya masalah lingkungan.
3. Tarbiyah al-Aulad (Memelihara Generasi Penerus)
Dalam menjelaskan konsep ini, Qaradawi menekankan akan pentingnya dua hal yang harus diperhatikan yakni pertama, bahwa anak-anak atau generasi muda masihlah tergolong sebagai insan yang lemah dan masih sangat memerlukan bimbingan dan pengawasan.
Kedua, bahwa anak-anak atau generasi muda adalah penerus peradaban, jika mereka diberikan bimbingan, pengawasan serta pendidikan yang baik maka akan baik pula masa depan peradaban manusia dan juga itu berlaku sebaliknya jika bimbingan, pengawasan dan pendidikan yang diberikan salah.
Baca Juga: Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100
Dalam konteks eko-teologis, konsep tarbiyah yang dibawa oleh Qaradawi harus dispesifikan dengan memperjelas arah pendidikan yang akan diberikan kepada generasi muda. Generasi muda haruslah dikenalkan sejak dini tentang masalah-masalah yang melanda kehidupan kontemporer sehingga nantinya mereka memiliki pandangan yang jelas terkait hal-hal yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang.
Di sini, peran orang tua sangatlah dibutuhkan, sebab orang tua yang tidak memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang melanda dunia kontemporer dan cenderung melihat pendidikan dari sisi materialismenya saja hanya akan mengarahkan generasi muda pada kehidupan yang pragmatis.
Dalam konteks eko-teologis, pemberian pendidikan lingkungan sejak dini merupakan salah satu cara menumbuhkan kepekaan generasi muda akan masalah lingkungan. Mengajarkan mereka dengan prinsip utama ajaran Islam yang menjunjung tinggi pembangunan etika sebagai tujuan utama. Etika yang berlandaskan atas rasa kasih sayang, tidak hanya kepada sesama manusia namun juga semesta alam.
Ketiga poin pembahasan tersebut sekaligus menjadi respon atas beberapa fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di tengah fenomena cuaca ekstrem saat ini. Sebagaimana dikatakan bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati”, maka salah satu cara mencegah kerusakan alam yang lebih parah di masa depan adalah dengan membentuk mindset peduli lingkungan sejak dini. Wallahu a’lam.