BerandaTafsir TematikRespon Al-Qur’an Terhadap Toxic Masculinity dalam Berumah Tangga

Respon Al-Qur’an Terhadap Toxic Masculinity dalam Berumah Tangga

Sudah masyhur terjadi, tentang adanya anggapan bahwa laki-laki lebih superior dari pada perempuan. Salah satu ciri yang dimunculkan misalnya laki-laki memiliki kesan yang lebih gagah dan kuat, sedangkan perempuan sebaliknya. Sehingga anggapan-anggapan ini terus dipegang dan dipertahankan sebagai suatu identitas yang membedakan dua jenis gender tersebut. Toxic masculinity, tentang anggapan sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki. Karena itu, perlu kita mempelajari bagaimana respon Al-Qur’an terhadap toxic masculinity dalam berumah tangga.

Nasaruddin Umar juga pernah menjelaskan tentang golongan misoginis yang terlalu mengagung-agungkan kehebatan laki-laki dibandingkan perempuan. Demikian bahwa laki-laki memiliki segala kelebihan yang jauh lebih hebat daripada perempuan. Sehingga identitas kelaki-lakian merupakan sebuah keharusan yang patut dipatenkan.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, penentuan identitas laki-laki dan perempuan kini mengalami konversi. Sebagai contoh, jika zaman dulu laki-laki tidak pernah skincare-an (perawatan kulit), maka zaman sekarang tidak menjadi satu hal yang tabu atau aneh untuk dilakukan.

Baca juga: Kewajiban Merawat Bumi dan Larangan Merusaknya dalam Al-Quran

Hanya saja, pada kelompok-kelompok tertentu, terjadinya pembaharuan identitas kelaki-lakian ini masih belum dapat diterima dengan baik. Persepsi demikian disebut dengan toxic masculinity. Dilansir dari sehatq.com toxic masculinity adalah anggapan sempit terkait peran gender dan sifat laki-laki.

Kepercayaan ini seakan ‘menuntut’ laki-laki untuk memiliki sifat yang berhubungan dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan tidak boleh menunjukkan emosi. Legitimasi ini seolah memberi penegasan batasan laki-laki, namun juga dapat mendiskriminasi mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut.

Toxic masculinity hampir terjadi pada berbagai bidang kehidupan tidak terkecuali dalam berumah tangga. Jika seorang suami memiliki persepsi yang sempit tentang maskulinitas akan menganggap bahwa kegiatan seperti memasak, menyapu rumah, dan mengasuh anak adalah tugas perempuan. Sehingga ia enggan melakukannya.

Persepsi seperti inilah yang sejatinya ditakutkan dari adanya toxic masculinity. Apalagi dalam kehidupan keluarga yang semestinya saling bekerja sama, namun karena adanya pandangan yang sempit terhadap maskulinitas membuat seorang suami begitu anti terhadap pekerjaan istrinya.

Terkait hal ini, dalam Islam dijelaskan tentang pembagian identitas laki-laki dan perempuan bukan ditunjukkan dengan tidak diperbolehkannya pekerjaan perempuan dikerjakan oleh laki-laki. Memang, pada aspek-aspek tertentu seorang laki-laki diharamkan menyerupai perempuan misal dalam berpakaian. Namun bukan berarti jika semua pekerjaan perempuan tidak boleh dikerjakan laki-laki.

Hanya saja tren maskulinitas laki-laki yang ‘gagah’ nampaknya telah membudaya. Bahkan jika ada suami yang melakukan pekerjaan rumah akan mendapat julukan suami takut istri di rumah. Tidak etis bukan? Lalu bagaimana sesungguhnya al-Qur’an melihat fenomena toxic masculinity dalam berumah tangga ini?

Respon Al-Qur’an Terhadap Toxic Masculinity

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut.

۞وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ ….

Terjemah: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut…” (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

Terkait dengan nafkah dalam ayat tersebut, Syaikh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut berbicara tentang istri berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dari suami, baik dia telah menyusui maupun belum pernah menyusui. Nafkah dan pakaian adalah imbalan tamkiin (suami dapat menggauli istri).

Apabila istri sibuk dengan menyusui maka tamkiin pun terganggu. Mungkin akan muncul sangkaan bahwa kewajiban nafkah atas suami menjadi gugur. Namun ayat ini telah membantah sangkan tersebut. Meski istri tidak dapat melayani suami pada masa menyusui, maka kewajiban nafkah tidaklah gugur. Sebab menyusui adalah kesibukan untuk kebaikan suami.

Hal ini sama dengan seandainya istri melakukan suatu perjalanan demi keperluan suami dan atas izinnya, maka sesungguhnya kewajiban nafkah suami atas istrinya juga tidaklah gugur. Kewajiban suami menafkahi istrinya ini juga sebagai penyeimbang kewajiban istri yang menyusui anaknya.

Baca juga: Mengapa Bid’ah Selalu Berkonotasi Negatif? Begini Penggunaannya dalam Al-Qur’an

Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa seorang ayah berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang.

Hamka kembali menegaskan bahwa membela istri dan mencukupkan belanjanya, terlebih-lebih di dalam saat pengasuhan anak, adalah kewajiban mutlak bagi seorang suami. Namun dalam pemberian nafkah pun juga berdasarkan atas kesanggupan suami.

Sayyid Quthub juga menyatakan, sebagai timbal balik dari kewajiban menyusui, seorang istri berhak mendapat nafkah (makan dan minum), dan pakaian secara patut dan baik, sehingga istri dapat menyusui anaknya secara optimal, dan kesehatan tetap terjaga.

Beberapa mufassir di atas menngaris bawahi bahwa nafkah merupakan kewajiban mutlak suami yang meliputi memberi makan, minum, dan pakaian sebagaimana dalam ayat di atas. Pemberian nafkah pun dilakukan dengan cara yang baik, terlebih ketika istri sedang menyusui. Tidak ada keterangan sedikit pun dalam ayat di atas tentang kewajiban istri memasakkan atau mencuci baju suami.

Baca juga: Mengenal Yahya ibn Syarf an-Nawawi, Penulis Kitab al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an

Hanya saja, sebagai imbalan atas nafkah suami, istri berkewajiban melayani suaminya dalam persoalan seksualitas. Ahmad Sarwat dalam bukunya “Istri Bukan Pembantu” menjelaskan bahwa Islam tidak memposisikan istri layaknya pembantu, tugas-tugas rumah tangga sejatinya bukan dipikulkan pada pundak istri melainkan pada suami.

Maka dapat disimpulkan bahwa makna pemberian nafkah oleh suami bukan hanya memberi uang melainkan juga memasak dan mencucikan pakaian untuk istrinya terlebih ketika istri sedang melahirkan dan menyusui. Secara tidak langsung perintah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 233 ini menepis egoisme dari pandangan toxic masculinity.

Seorang suami sebagai laki-laki sejatinya tidak ada larangan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, bahkan hal itu merupakan kewajiban yang harus dilakukan untuk istrinya. Sehingga paradigma dari toxic masculinity tentang laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah akan mengurangi sifat maskulinnya adalah keliru. Sebab al-Qur’an telah secara jelas menepisnya melalui perintah kewajiban suami menafkahi istrinya di atas. Wallahu A’lam.

Saibatul Hamdi
Saibatul Hamdi
Minat Kajian Studi Islam dan Pendidikan Islam
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU