BerandaUlumul QuranRetorika Bahasa, Siasat Nabi Ibrahim a.s. Menghindari Dusta

Retorika Bahasa, Siasat Nabi Ibrahim a.s. Menghindari Dusta

Terdapat sebuah relasi implikatif antara Al-Qur’an dengan bahasa Arab. Hal ini terlihat misalnya pada salah satu implementasi dari fungsi Al-Qur’an sebagai al-huda (petunjuk). Sudah semestinya, suatu petunjuk adalah berupa hal yang dapat dipahami oleh audiens. Demikian juga Al-Qur’an yang turun dalam konteks sosial bangsa Arab yang sarat akan kemapanan sastra. Maka tak heran jika Al-Qur’an juga memuat sastra yang beberapa langkah jauh lebih maju dari yang telah ada.

Kehebatan Al-Qur’an dalam menyampaikan kisah-kisah tak lepas dari aspek gaya bahasa yang memiliki sirr (rahasia) makna tersendiri. Misalnya pada kisah Nabi Ibrahim a.s. tentang penolakan terhadap ajakan kaumnya untuk merayakan hari besar mereka (QS. Ash-Shaffat [37]: 83-90). Selain itu, juga kisah tentang pengelakan atas tuduhan penghancuran berhala (QS. Al-Anbiya’ [21]: 51-70). Dari kedua kisah ini, muncul persoalan tentang perkataan Nabi Ibrahim yang tak sesuai dengan realita yang ada. Suatu riwayat dari Abu Hurairah menyatakan;

لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام إِلَّا ثَلَاثَ كَذَبَاتٍ ثِنْتَيْنِ مِنْهُنَّ فِي ذَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَوْلُهُ { إِنِّي سَقِيمٌ } وَقَوْلُهُ { بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا } وَقَالَ بَيْنَا هُوَ ذَاتَ يَوْمٍ وَسَارَةُ إِذْ أَتَى عَلَى جَبَّارٍ مِنْ الْجَبَابِرَةِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ هَا هُنَا رَجُلًا مَعَهُ امْرَأَةٌ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ فَسَأَلَهُ عَنْهَا فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قَالَ أُخْتِي فَأَتَتْ سَارَةُ قَالَ يَا سَارَةُ لَيْسَ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ مُؤْمِنٌ غَيْرِي وَغَيْرَكِ وَإِنَّ هَذَا سَأَلَنِي فَأَخْبَرْتُهُ أَنَّكِ أُخْتِي فَلَا تُكَذِّبِينِي

“Nabi Ibrahim a.s. tidak pernah berbohong kecuali tiga kali. Dua di antaranya adalah dalam masalah dzat Allah ‘azza wajalla, yaitu ucapannya “inni saqiim (sesungguhnya aku ini sedang sakit) dan “bal fa’alahu kabiiruhum haadzaa” (akan tetapi patung yang besar inilah yang melakukannya). Beliau bersabda: “Dan ketika pada suatu hari dia sedang bersama dengan Sarah, istrinya, saat beliau datang kepada seorang raja yang zhalim. Lalu raja tersebut diberi informasi bahwa akan ada seorang laki-laki bersama seorang wanita yang paling cantik. Maka diutuslah seseorang menemui Ibrahim, lalu utusan itu bertanya kepadanya; “Siapakah wanita ini?”. Ibrahim menjawab; “Dia saudara perempuanku”. Lalu Sarah datang, maka Ibrahim berkata: “Wahai Sarah, tidak ada orang beriman di muka bumi ini kecuali aku dan kamu dan orang ini bertanya kepadaku lalu aku beritahu bahwa kamu adalah saudara perempuanku maka janganlah kamu mendustakan aku”. (HR. Bukhari).

Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Lantas, bagaimana bisa Sang Kekasih Allah (khalilullah) dikatakan telah berdusta?

Terlalu dini rasanya untuk menyimpulkan demikian. Pasalnya, menjustifikasi Nabi Ibrahim a.s. telah berdusta berarti menciderai ke-ishmah-annya (keterjagaan para nabi dari berbuat dosa). Terlebih di antara sifat wajib nabi/rasul adalah shiddiq (jujur) dan amanah (dapat dipercaya). Namun sifat fathanah (cerdas) juga tak terlupa. Perkataan Nabi Ibrahim a.s. yang tak sesuai realita tak lain adalah sebuah siasat cerdas menghindari dusta, demi tujuan mulia, menyeru meng-Esa-an Allah.

Bagaimana dengan redaksi kadzib dalam hadis di atas?

Ibnu ‘Athiyyah (w. 546 H.) ketika menafsirkan QS. Al-Shaffat[37]: 89 dalam al-Muharrar al-Wajiz mencoba mengklarifikasi kata kadzib dalam hadis ini. Bahwa redaksi kadzib dalam hadis dimaknai dengan kebohongan dalam perspektif lawan bicara. Perkataan “Saya sakit” dalam QS. Al-Shaffat [37]: 89 misalnya. Para mufassir saling berbeda pendapat dalam memaknai kata ini. Namun mayoritas sepakat bahwa Nabi Ibrahim a.s. tidak berdusta, hanya menerapkan seni berbahasa.

Hal demikian ternyata dapat dibenarkan dalam sudut pandang sastra. Menurut Al-Qurthubi (w. 671 H.) dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, uslub ini dalam ilmu balaghah biasa disebut dengan fann al-tauriyah dan fann al-ta’ridh.

Tauriyah berarti menyebut suatu kata yang memiliki dua makna, yaitu makna dekat dan jelas serta makna jauh dan samar. Makna jauh inilah yang dikehendaki oleh pembicara. Sedangkan ta’ridh (sindiran) berarti ucapan yang disampaikan dan dimaksudkan untuk menunjukkan suatu makna lain yang dipahami dari konteks kalimatnya.

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Siasat serupa dalam kisah Imam Syafi’i

Siasat serupa juga pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i saat terjadi mihnah khalq al-Qur’an (perselisihan tentang isu penciptaan Al-Qur’an) pada sekitar tahun 833-849 M. Pemerintahan Abbasiyyah kala itu dipimpin oleh Khalifah Al-Ma’mun dengan dominasi teologi Mu’tazilah yang sangat teguh menilai Al-Qur’an sebagai makhluk (bukan qadiim).

Konon, suatu hari sang khalifah hendak menguji akidah para tokoh-tokoh Islam. Mereka yang sepaham dengan Mu’tazilah akan aman. Sebaliknya, siapa yang menentang akan menerima siksaan dan hukuman berat. Imam Syafi’i menghadapi ujian tersebut dengan menjawab;

“Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an. Keempat ini adalah makhluk” (sambil mengiringi perkataannya dengan mengangkat keempat jarinya).

Artinya, pengakuan makhluk yang dimaksud ditujukan pada keempat jari Imam Syafi’i sendiri, bukan pada keempat kitab. Hal ini yang menjadikan beliau selamat dari fitnah mihnah. Berbeda dengan muridnya, Imam Ahmad bin Hanbal -tanpa mengurangi rasa hormat- yang menjawab dengan tanpa sentuhan retorika (balaghah), sehingga bernasib berbeda. Dalam hal ini, pemahaman terhadap penggunaan makna haqiqi (hakikat) dan majazi (kiasan) adalah kunci.

Konsep makna hakiki dan majazi lazim ditemui dalam syair-syair berbahasa Arab. Dalam Al-Qur’an, konsep ini justru menjadi satu dari beragam sisi kemukjizatannya. Keberadaan makna majazi telah membuka peluang bagi para mufassir dalam mewarnai khazanah penafsiran. Lebih jauh tentang pandangan para mufasir dalam memaknai perkataan retorik Nabi Ibrahim a.s., insyaallah akan penulis sambung pada tulisan berikutnya. wa al-shawaab lillah.

Baca juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Moh. Jamalul Lail
Moh. Jamalul Lail
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang, bisa disapa di @jamal_lail22
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...