Sejarah Kalimat ‘Hasbalah’: Peneguh Semangat Orang Islam

sejarah kalimat hasbalah
sejarah kalimat hasbalah

Dalam tradisi Islam, ada satu ungkapan zikir yang dikenal dengan istilah kalimat hasbalah. Bunyi lengkap kalimat tersebut yaitu hasbunallah wa ni’ma al-wakil. Jika ditelusuri asal kalimat ini dalam Alquran, kita bisa menemukannya dalam surah Ali Imran ayat 173. Artikel ini mengulas bagaimana sejarah kalimat hasbalah melalui ayat tersebut dan keterangan para mufasir.

الَّذِينَ قالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزادَهُمْ إِيماناً وَقالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ ‌وَنِعْمَ ‌الْوَكِيلُ

“Orang-orang yang berkata kepada mereka manusia bahwa sesungguhnya segolongan orang (Quraisy)  telah mengumpulkan pasukan untuk kalian oleh karenanya takutlah kepada mereka, maka bertambahlah iman mereka dan mereka katakan cukuplah Allah bagi kami dan Dialah al-Wakil yang terbaik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 173)

Baca Juga: Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26

Al-Tabari menyebut bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli takwil terkait kapan kalimat hasbalah, hasbunallah wa ni’ma al-Wakil, dalam ayat di atas diturunkan. Pendapat pertama menyebut bahwa ayat di atas turun setelah perang Uhud ketika Nabi dan para sahabat yang telah mengalami kekalahan justru masih berusaha mengejar Abu Sufyan.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas dan Qatadah. Mengetahui hal tersebut Abu Sufyan mengutus seorang untuk mengabarkan bahwa ia telah mengumpulkan pasukan jika Nabi datang, namun beliau beserta para sahabat tidak gentar sedikitpun akan peringatan tersebut dengan mengatakan hasbunallah wa ni’ma al-Wakil.

Pendapat kedua menyebut bahwa ayat di atas terkait dengan kejadian di Badar al-Sughra, tempat di mana perdagangan lintas daerah berkumpul di situ. Kaum Musyrikin Makkah mewanti-wanti kaum Muslim agar tidak turut keluar dalam perdagangan tersebut karena mereka telah mengumpulkan pasukan. Akan tetapi kaum Muslim pada saat itu tetap berani dan dengan aman menjalankan perdagangan.

Pendapat kedua ini dikuatkan dengan ayat setelahnya yang menyebut bahwa kaum Muslim kembali dengan nikmat dari Allah dan keutamaan tidak terkena marabahaya. Kalimat yang kemudian dimaknai oleh sebagian mufasir, termasuk al-Razi, bahwa mereka kembali dengan keuntungan perdagangan dari Badar al-Sughra.

Adapun al-Tabari lebih condong pada pendapat pertama. Menurut beliau pendapat pertama lebih kuat karena pada ayat sebelumnya diterangkan bahwa orang-orang yang menyatakan hasbunallah wa ni’ma al-Wakil adalah mereka yang telah ditimpa luka. Keterangan dalam ayat tersebut menurut beliau adalah kabar perihal kondisi kaum Muslim pasca kalah di Uhud. Beliau katakan bahwa ayat ini tidak terkait dengan peristiwa Badar al-Sughra karena dalam peristiwa tersebut kaum Muslim sama sekali tidak mendapatkan serangan apalagi terluka.

Terlepas dari kapan tepatnya pasukan Muslim mengucapkan kalimat hasbalah tersebut yang pasti mereka tidak mungkin mengucapkannya secara spontan tanpa pengajaran dari Nabi Muhammad saw. Dalam salah satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya terdapat keterangan cara Nabi Muhammad saw mengajarkan kalimat hasbalah.

كَيْفَ أَنْعَمُ وَقَدِ الْتَقَمَ صَاحِبُ الْقَرْنِ الْقَرْنَ، وَحَنَى جَبْهَتَهُ، وَأَصْغَى سَمْعَهُ يَنْظُرُ  مَتَى يُؤْمَرُ ” قَالَ الْمُسْلِمُونَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا نَقُولُ؟ قَالَ: ” قُولُوا: ‌حَسْبُنَا ‌اللهُ ‌وَنِعْمَ ‌الْوَكِيلُ عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا

Bagaimana bisa aku bersenang-senang sementara pemegang sangkakala telah menempelkan mulut pada sangkakalanya, dahinya telah menunduk, telinganya mendengarkan kapanpun ia diperintahkan. Kaum Muslim bertanya, “wahai Rasulullah lalu apa yang mesti kami ucapkan?” Beliau bersabda, “katakanlah, ‘cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik al-Wakil, kepada Allah kami bertwakkal.” 

Riwayat di atas disebutkan berasal dari Abu Sa’id al-Khudry dan Ibn Abbas ketika beliau memaknai ayat 7 surat al-Muddassir. Oleh karenanya Muhammad Izzat Darwazah juga mengutip riwayat di atas saat menafsirkan al-Muddassir, surat yang menurut beliau dalam tartib nuzuli adalah surat keempat yang turun setelah al-Muzammil dan sebelum al-Fatihah.

Lantas apakah dapat disimpulkan bahwa kalimat hasbalah telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw sejak beliau masih di Makkah, di awal dakwah beliau? Tentu tidak sesederhana itu, hal ini karena Abu Sa’id al-Khudry merupakan sahabat dari kalangan Anshor sementara Ibn Abbas baru lahir tiga tahun sebelum Hijrah. Jadi kecil kemungkinannya kalimat hasbalah ada di awal dakwah Nabi Muhammad saw. jika dilihat dari sumber periwayatnya.

Jika dilihat dari periwayatnya kemungkinan besar kalimat hasbalah ini ada ketika periode Madinah. Kemudian kalimat ini menjadi wasilah bagi kaum Muslim untuk tetap teguh menghadapi kaum yang telah menindas mereka. Bahkan dalam keadaan terluka setelah perang, ketika musuh jauh lebih banyak dan kuat, kalimat ini menjadi peneguh hati bagi kaum Mukmin.

Baca Juga: Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah

Makna al-Wakil

Bagaimana kalimat sederhana dapat menjadi peneguh untuk perjuangan yang mempertaruhkan nyawa. Hal ini tentu tidak lepas dari makna yang terkandung dalam kata al-Wakil yang merupakan salah satu dari asma al-husna.

Al-Tabari menyebutkan bahwa menurut kalam Arab kata al-Wakil ialah sosok yang menjadi sandaran untuk melaksanakan segala urusan. Ketika kaum Muslim mendapati bahwa al-wakil juga termasuk asma al-husna, mereka pun menyandarkan dan menyerahkan urusan mereka, bertawakkal kepada-Nya.

Tidak jauh dari al-Tabari, Al-Wakil menurut Ibn Asyur adalah yang melaksanakan urusan dari yang mewakilkan. Menurut beliau pelaksanaan urusan tersebut juga dapat berbeda dalam berbagai konteks. Misalkan untuk menghilangkan ancaman dan marabahaya maka al-wakil adalah penolong. Adapun dalam urusan dunia maka al-wakil adalah yang menanggung dan memenuhi, demikian juga dalam urusan harta. Oleh karenanya Ibn Asyur menyimpulkan bahwa al-Wakil adalah isim yang terkumpul di dalamnya makna Pengawal dan Penjaga dalam berbagai hal yang dibutuhkan manusia. Kata ini mengikat sekaligus umum dalam berbagai konteks yang dibutuhkan.

Al-Zamakhsyari menyebut dalam tafsir surah al-An’am bahwa al-Wakil Dialah Raja Pemilik segala sesuatu, baik anugerah maupun waktu dan yang mengawal segala amal. Al-Raghib al-Ashfihani menyebut bahwa wakil dapat dimaknai sebagai wali dapat pula dimaknai sebagai yang disandari.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2: Mengulik Makna Hamdalah dan Mengamalkannya

Dari sini kesadaran dan zikir bahwa Allah adalah al-Wakil dapat menjadi wasilah akan datangnya ketenangan dan keteguhan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Seperti para sahabat yang dapat menghadapi peperangan yang timpang jumlah pasukannya dengan tekad dan keyakinan dari kalimat tersebut. Begitu juga kita dan perang dalam diri yang kita hadapi setiap hari, semoga Allah memberi jalan. Wallahu’ a’lam.